Beberapa waktu terakhir, ramai diberitakan bahwa Pemerintah melalui Menteri Kelautan dan Perikanan melegalkan cantrang sebagai alat tangkap ikan yang sah. Berbagai reaksi dan komen nyinyir pun bermunculan. Saya pribadi termasuk yang nyinyir dengan kebijakan tersebut.
Saya sangat menyayangkan keluarnya kebijakan tersebut bukan tanpa alasan, yang sudah pasti pelegalan cantrang telah merusak konstruksi kebijakan yang sudah dibangun oleh menteri sebelumnya. Cantrang tidak ramah lingkungan dan merusak ekosistem sumberdaya laut.
Pelegalan cantrang oleh menteri kebinet Presiden Jokowi edisi kedua ini seakan menguatkan dugaan bahwa kini Jokowi tidak lagi mau berpihak pada rakyat kecil dan lebih mendukung kepentingan para investor dan kaum pemodal.
Bukankah di awal kampanye dan awal-awal masa pemerintahannya, Jokowi menebarkan angin surga Indonesia poros maritim dunia, kekayaan laut harus dijaga dari segala upaya pencurian asing dan perusakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Lalu di mana itu sekarang? Mengapa sudah tidak lagi terdengar dan malah kini tidak lagi populer? Ada apa?
Dalam waktu dekat, secara hitam di atas putih Kementerian Perikanan dan Perikanan akan menerbitkan revisi Keputusan Menteri Nomor 86 Tahun 2016 dan Permen KP No. 71/2016 tentang Produktivitas Kapal Penangkap Ikan yang salah satu isinya adalah meresmikan dibolehkannya penggunaan cantrang sebagai alat penangkapan ikan.
Sebelumnya alat ini dilarang karena dinilai dapat merusak ekosistem perikanan dan juga tidak berpihak pada nelayan kecil yang melaut menggunakan perahu berkapasitas kecil berukuran di bawah 10 gross ton.
Hal yang mengemuka dari kebijakan ini adalah adanya kekhawatiran munculnya praktik penangkapan ikan ilegal, tak terlaporkan, dan tak sesuai aturan.
Belum lagi dengan adanya wacana pemerintah yang berencana akan  membolehkan beroperasinya kapal penangkap ikan berukuran di atas 200 gross ton. Benar-benar sudah tidak berpihak pada nelayan kecil yang kesehariannya menggantungkan pada hasil melaut.
Sebenarnya gejala ini dapat dibaca ketika dalam pengumuman nama-nama menteri yang akan membantu Jokowi dalam pemerintahan periode kedua, nama mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti tidak lagi masuk dalam daftar nama yang dipanggil untuk dipercaya kembali mnjadi menteri pembantu Jokowi.
Kesimpulan saya adalah, Jokowi enggan mempercayai Susi karena kebijakan-kebijakan Susi dianggap menghambat masuknya investasi asing ke Indonesia. Juga karena Susi dinilai sering bersebrangan dengan Menko Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan, orang terdekat Jokowi.
Di titik ini, saya merasa sedikit kecewa dengan Jokowi yang melupakan doktrin poros maritim dunia yang digagasnya sendiri hanya karena faktor investasi.
Masih ada sekitar empat tahun sisa pemerintahan untuk memaksimalkan kejayaan maritim Indonesia jika memang masih memiliki komitmen serta keseriusan untuk memajukan sektor kelautan dan menaikkan taraf hidup masyarakat pesisir, nelayan-nelayan kecil yang memang hidup dan matinya bergantung pada laut.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H