Mohon tunggu...
Zahid Rabbani
Zahid Rabbani Mohon Tunggu... -

Mujahid Pena

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Langit Temaram Suram

29 Juli 2013   09:52 Diperbarui: 24 Juni 2015   09:53 79
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ku buka jendela kamarku pagi ini. Di sela-sela dedaun pohon kuini yang menengadah ke arahku, kusaksikan gelut gereja, pipit, dan kolibri. "Ah... Pagi yang indah", batinku. Walau langit tak sempurna cerah, tapi cantiknya mega biru masih menyembul, melatarbelakangi awan keemasan nan megah.

Tapi tetap saja hatiku belum lepas, hatiku tak puas. Mengingat kemarin aku kembali kehilangan saudaraku. Tidak hanya satu, atau dua... Tapi ratusan kasihku telah syahid di tanah Nabi Yusuf dan Musa. Entah siapa lagi kasihku yang namanya akan tergurat dalam nisan hari ini.

Aku sungguh tidak ikhlas. Menyaksikan kasihku menjadi korban kebinatangan dari segerombolan jasad-jasad boneka Amerika. Ah... Lagi-lagi Amerika...

Ya... Sudah tiga pekan ini saudaraku dihabisi. Darah mereka sengaja dicecerkan untuk menyenangkan hati sang petinggi. Penguasa yang mencuri... Tidak... Sang penguasa itu tidak mencuri... tapi merampok konstitusi dan memperkosa demokrasi. Ia mempertontonkan kebiadabannya sebagai hiburan para tuan, yang menyokongnya dari belakang dengan senjata dan uang.

Ah... Semua ini telah membuatku lupa bagaimana cara bersabar, melihat kasihku dipanggang di bara peperangan yang berkobar. Bahkan lembar cerita suriah masih belum ditutup, sedangkan kisah baru sudah dibuka dan sudah terlalu jauh dimainkan. Dan saudaraku disini juga sungguh tidak piawai memainkan peran. Mereka yang dituntut untuk berdoa dan bersiap-siaga malah tertawa, berleha, dan tidur nyaman.

Aku gemetar... Aku gamang... Sampai khusyukku hilang karena hati terus mengumpat para munafik yang memfitnah, membunuh, dan menebar kebencian. Aku ingin pulang, pulang ke medan juang untuk membersamai mereka yang istiqomah dalam lelah melawan tirani kedzaliman. Sungguh, Iri rasanya pada mereka yang tersenyum puas ketika peluru-peluru tajam menembus dada dan otak mereka. Walau jasad mereka diinjak dan dilecehkan, tapi mereka telah menang!

Ah...Ternyata pagi ini masih suram. Semoga esok sudah tamat cerita duka dari kasihku di negeri-negeri seberang. Atau mungkin aku harus kesana menebus hutang janjiku berjumpa senapan yang mengerang dan kilatan pedang.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun