Kota telah berhenti bernyanyi,
dicurinya tawa dari saku kanan ke saku kiri.
Tak ada lagi keriangan anak-anak kecil di taman-taman kota.
Taman sejuta kata, tempat orang-orang
merenungi hari-hari akhir sebelum kematiannya,
meninggalkan nasib pada lampu dan bangku-bangkunya.
Si bapak sibuk dengan cara lama,
mencari suara untuk naik takhta,
lupa membangun kota dan perdaban.
Kota kita telah kehilangan nyawa,
ditariknya bibir-bibir itu ke dalam
kubangan penuh intrik dan tawa sinis.
Hilangnya kuasa rakyat pada penguasa
yang mengaku tak mampu membeli sebatang rokok
tapi saku celana terus saja sobek.
Kota telah berubah,
dan sajak-sajak pelipur lara
telah bersemayam pada dinding warna-warni penuh luka.
Membangun kota atau bahkan negara,
bukan berarti membangun fisiknya.
Tapi membangun pikiran manusia yang ada di dalamnya.
Aku tidak mencintai apa-apa dari kota ini,
aku hanya sibuk menyayangi kata-kata.
Meninggalkan kenangan di tiap lampu jalan.
Lalu kota telah berhenti bernyanyi,
hanya ada tukang becak, pedagang asongan,
dan manusia-manusia gila penghuni balai kota.
Selamat malam, kota yang asing di pikiranku,
tempat pengasingan paling sedih.
Tempat dimana aku kehilangan diriku sendiri.
Semarang, 29 Juli 2017
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H