“Kenapa Superman celana dalamnya merah??” Tanyamu, menirukan preman-preman kampung yang sering mabuk di pos kamling dekat rumahmu.
“Kenapa tuh??” Tanyaku, sembari menyeruput kopi.
“Karena nggak pake pembalut,” Tawamu diikuti tawa mas-mas warung kopi yang terdengar aneh.
Setelah empat cangkir habis, kamu mengajakku ke rumahmu. Aku suka ketika manjamu kambuh. Aku melihat dirimu apa adanya. Saat kamu tak sungkan menggandeng tanganku. Saat kamu menghiraukangodaan mas-mas warung kopi dan genk-genk motor yang nongkrong di ujung gang rumahmu. Aku suka kamu. Bahkan saat kamu tak memikirkan soal itu. Aku juga suka saat sisi romantismu muncul.
“Aku suka saat kamu mengelus rambutku,” Katamu, dalam perjalanan ke rumahmu.
“Aku suka saat kamu menggandeng tanganku,” Balasku.
“Aku suka saat kamu mengelus punggung tanganku dengan ibu jarimu,” Katamu, menatapku.
“Aku suka saat kamu menciumku,” Jawabku, membalas tatapanmu.
“Mau??” Katamu, menantangku. Senyum kita bertemu. Senyum malu tapi mau.
Rumahmu juga rumahku, katamu. Meskipun kamu tinggal sendiri, kamu tak pernah lupa mengabari keluargamu yang menolak hubungan kita. Kamu adalah manusia paling kuat yang pernah kutemui. Aku bahagia memilikimu. Tidak pernah ada kebohongan diantara kita. Idealisme kita sama, mencintai dengan sadar tanpa curiga dan kecemburuan. Kita sama-sama tak mau kedua hal itu jadi racun hubungan kita. Rasa cemburu bukanlah tanda kecintaan. Rasa cemburu adalah tanda ketidakpercayaan.
Hari itu, tepat pukul tiga kamu menarik tanganku, membawaku ke dalam kamarmu. Kamu menggodaku sebelum pintu terbuka. Kamu membawaku masuk bersama imaji dalam kepala. Saat itu, kita tidak bisa bohong, dunia benar-benar milik kita berdua. Kamu melepas bajuku tepat ketika pintu kamar tertutup, bersama ciuman yang terburu, kamu membantuku membuka jeansku. Dalam sekejap kita sudah telanjang. Kita saling menatap, mengagumi masing-masing, lalu bersama merebahkan tubuh di kasur kamarmu.