Mohon tunggu...
Zahid Habir
Zahid Habir Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Pesaing di Masa Depan, Kisah Habibie-Ainun yang Fenomenal

20 Mei 2016   11:42 Diperbarui: 20 Mei 2016   11:48 35
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tentu masih teringat dengan segar di masyarakat tentang film Habibi & Ainun yang dirilis sekitar akhir tahun 2012 kemarin. Ya, film besutan sutradara Hanung Bramantyo tersebut memang menyita perhatian berjuta pasang mata di Indonesia. Film ini dinikmati masyarakat lintas generasi, mulai dari remaja hingga usia senja tak luput dari animo film drama yang dibalut nuansa politik era reformasi tersebut. Dikutip dari berbagai sumber, film tersebut ditonton kurang lebih 4.5 juta penonton di Indonesia. Angka tersebut belum termasuk penonton film Habibie & Ainun yang berada di luar Indonesia seperti Malaysia dan Singapura.

Menurut saya pribadi, sisi menarik dari film ini adalah perjalanan seorang BJ Habibie yang dibalut kisah romantisnya bersama Ainun, dengan tetap menjaga sejarah konstelasi politik era reformasi yang beredar di masyarakat sebelumnya. Saya masih mengingat dengan jelas bagaimana pertemuan Habibie & Ainun dilukiskan dengan sangat romantis dalam setting klasik rumah era 60an dan gaya bertutur  ainun yang elok dan santun. “Gula jawa sudah berubah jadi gula pasir”, satu quotes dari pertemuan tersebut yang berhasil membangkitkan energi penonton di awal film. Lalu, perjuangan luar biasa mereka saat memutuskan hidup bersama di Jerman tentu menjadi motivasi tersendiri bagi para penonton, khususnya bagi mahasiswa-mahasiswa seperti saya yang juga ingin menuntut ilmu di luar negeri hehe.

Selanjutnya adalah bagaimana IPTN Bandung besutan BJ Habibie, dihentikan pengoperasiannya melalui nuansa yang sangat politis. Seorang anak bangsa yang berusaha membangun negeri, dihadang oleh pertarungan kepentingan, sehingga usahanya membangun negeri harus terhenti. Sebuah kisah luar biasa yang berhasil menarik simpati masyarakat Indonesia yang menonton film ini. Yang terakhir tentunya bagaimana seorang BJ Habibie, dengan ikhlas dan tanpa perlawanan menyerah saat sidang pertanggung jawabannya ditolak MPR, dan menemani sang isteri hingga akhir hayat, dengan penayangan saat-saat mengharukan dalam pemakaman Ibu Ainun.

Sebagai mahasiswa ilmu politik, kemudian saya sempat berpikir andai saja kala itu BJ Habibie masih memiliki energi dan sumber daya untuk mencalonkan diri sebagai Presiden, mungkin Oktober 2014 Jokowi sudah pulang naik kereta matarmaja jurusan Jakarta-Solo, kan Jokowi merakyat hehehe.

Sekitar tiga minggu lalu, tidak sengaja saya membaca sepenggal kisah dari seorang politisi Indonesia. Seorang pemimpin baru bernama Hary Tanoesoedibjo, mungkin akrab di telinga kita dengan sebutan HT. Dalam artikel tersebut, dikisahkan bahwa HT adalah seorang yang badung di salah satu Sekolah Menengah Ke Atas di Surabaya, dan memiliki kekasih bernama Liliana yang saat ini menjadi isteri beliau. Suatu hari, Liliana yang berbeda sekolah dengan HT terus diganggu oleh teman di sekolahnya. Kemudian, dengan keberanian dan sedikit saya katakan nekat, HT bersama keempat temannya mendatangi sekolah tersebut, hingga perkelahian pun tak bisa dihindarkan.

Beberapa waktu setelah kejadian itu, HT di drop out dari SMA Saint Louis Surabaya. Wowww, saya sangat terkejut mengetahui seorang Pendiri Partai dan pemilik media terbesar se-Asia tenggara sempat di drop-out dari sekolahnya, lebih terkejut lagi saat mengetahui bahwa ijazah SMA beliau adalah Ujian Persamaan atau Paket C. Namun, kemudian saya merasa sangat termotivasi oleh kisah tersebut saat mengetahui bahwa setelah di drop-out, beliau berubah 180 derajat menjadi sangat rajin dan disiplin, sehingga berhasil menadapatkan beasiswa pendidikan dan menjadi lulusan terbaik di Carleton University Canada. Disitu, dikisahkan pula bahwa Liliana setia menemani Hary dalam masa sulit setelah di drop-out, hingga memutuskan menikah pada tahun 1986, dan membangun rumah tangga di Kanada, sampai akhirnya kembali menetap di Indonesia.

Terdapat persamaan mendasar dari dua kisah di atas. Sama-sama mengandung motivasi luar biasa yang diiringi dengan kesetiaan pasangan masing-masing dalam sebuah perjuangan, dan sama-sama seorang professional yang mengabdikan diri pada bangsanya melalui politik.

Saya berpikir sejenak, hingga naluripenulis skenario saya mulai bermain dalam imajinasi hehe. Jika nanti Hary Tanoesoedibjo terpilih menjadi pemimpin negeri ini, dan jika masa depan ada seorang penulis yang tertarik untuk menggali lebih dalam kisah Hary Tanoesoedibjo & Liliana, dengan menangkap seluruh sisi dramatis dan perjuangan hidup mereka di masa lalu dan di hari yang akan datang. Bukan tidak mungkin bahwa kisah Hary Tanoesoedibjo & Lilliana akan menjadi pesaing kisah Habibie & Ainun yang fenomenal. Hal ini tidak berlebihan, jika melihat sosok Hary Tanoesoedibjo yang di usianya saat ini terlihat masih sangat tampan & Lilliana yang juga semakin menawan. Beberapa hal tersebut menurut saya adalah daya tarik  tersendiri dari kisah Hary Tanoesoedibjo & Lilliana jika saat nanti ada sineas perfilman yang tertarik melukiskan kisahnya.

Sekian sedikit pengutaraan imajinasi saya yang tidak bisa diredam hehehe, boleh-boleh saja ya namanya beropini, yang setuju atau tidak setuju boleh berkomentar di kanal komen. Sampai jumpa!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun