Kita dituntut berbahasa Indonesia yang baik dan benar. Di era internet, beban itu ditambah lagi dengan perlunya menghasilkan konten berbahasa Indonesia yang baik, bermanfaat, dan jumlahnya lebih banyak. Anak laki-laki saya yang paling besar kini berusia 10 tahun. Dia sudah terbiasa menggunakan internet dan bisa menghabiskan waktu hingga berjam-jam menjelajahi dunia maya terutama pada hari libur sekolah. Saya lupa persisnya entah sejak kapan dia mengenal internet. Tapi yang masih saya ingat, dulu kalau ada istilah atau petunjuk berbahasa Inggris yang dia tidak pahami pasti akan langsung menanyakannya. Tapi belakangan, dia semakin jarang saja bertanya. Sekarang dia lebih sering menggunakan Google translate untuk mengatasi kendala bahasa. Internet boleh dibilang tidak ramah anak-anak. Bukan cuma karena begitu melimpahnya pornografi yang gampang diakses, tetapi internet juga menjadi kurang ramah anak-anak karena kontennya lebih banyak berbahasa asing. Menurut data Web Technology Survey, konten berbahasa Indonesia di internet jumlahnya hanya 0,4 persen saja. Dari angka tersebut, entah berapa banyak yang kontennya layak dan ditujukan buat anak-anak? Bisa jadi, karena terbilang minimnya konten berbahasa Indonesia, anak-anak kita lebih suka memanfaatkan internet untuk bermain game online dan hanya sesekali saja menggunakannya sebagai alat bantu mengerjakan tugas sekolah. Internet dan Konten Berbahasa Indonesia Saat ini sebanyak 56 persen konten internet tersedia dalam bahasa Inggris. Padahal, sebanyak 45 persen pengguna internet ada di Asia dan hanya 13 persen saja yang berada di Amerika Utara. Di negara kita, masih sedikitnya konten berbahasa Indonesia barangkali bisa dipahami karena penetrasi internet yang masih terbatas. Sebuah perkiraan optimistis menyebutkan pengguna internet di Indonesia jumlahnya mencapai 60 juta. Meski terus mengalami peningkatan signifikan, tetapi dari angka tersebut separuhnya mengakses internet dari telepon seluler (ponsel). Tentu saja ponsel kurang enak jika harus dipergunakan menulis konten yang panjang-panjang. Di sisi lain, inovasi berbagai layanan web yang begitu cepat juga berpengaruh pada preferensi masyarakat ketika menggunakan internet. Misalnya, popularitas blog begitu cepat pudar karena digeser situs jejaring sosial macam Facebook dan Twitter. Penelitian mutakhir yang dilakukan IPSOS menyebutkan, dari total 20 persen penduduk Indonesia yang menggunakan internet sebanyak 83 persennya aktif di media sosial. Hal ini dikonfirmasi data Socialbakers: Indonesia merupakan negara dengan pengguna Facebook terbanyak keempat di dunia, yaitu berjumlah 39 juta pengguna (September, 2012). Sementara itu, menurut data Semiocast (Juli, 2012) Indonesia berada di urutan kelima dunia dengan pengguna Twitter mendekati angka 30 juta. Jakarta merupakan kota teraktif dalam "berkicau", mengalahkan kota-kota di dunia seperti Tokyo, London, dan New York. Selama ini blog merupakan platform yang pas untuk menuangkan tulisan cukup panjang dan mendalam. Sementara itu, di Facebook dan Twitter orang hanya perlu menulis dalam jumlah karakter terbatas. Secara tidak langsung, bisa jadi keterbatasan karakter tersebut -- diawali popularitas pesan singkat (SMS) dan dilanjutkan di media sosial-- yang merangsang "kreativitas" sebagian orang dengan berbahasa Indonesia yang sekenanya (baca: alay!). Ringkasnya, penetrasi internet yang masih terbatas dan berpadu dengan kuatnya dominasi situs jejaring sosial, memang kurang sejalan dengan urgensi memperbanyak konten berbahasa Indonesia di internet. Orang kini lebih banyak berbagi (share) ketimbang menghasilkan (produce) konten. Produktivitas dan Konsistensi Mengungkapkan gagasan dalam bentuk tulisan memang tidak gampang. Apalagi jika ditambah lagi dengan syarat-syarat yang ketat dan dituntut menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar. Tak heran, jika niat pemerintah yang berencana mewajibkan publikasi jurnal ilmiah sebagai syarat kelulusan mulai jenjang sarjana ditolak dimana-mana. Di negara-negara maju dengan penetrasi internet yang tinggi setiap orang seperti berlomba menghasilkan konten yang baru dan orisinal. Bukan saja di kalangan muda, tapi juga di kalangan manula. Saya jadi teringat The Becker-Posner Blog. Dua profesor gaek berada di balik blog yang hadir sejak 2004 ini. Mereka merilis artikel baru setiap minggunya hampir tanpa jeda. Becker yang kini berusia 81 tahun adalah penerima hadiah Nobel ekonomi tahun 1992. Dalam hal produktivitas, kita sebagai pengguna bahasa Indonesia, memang tertinggal dari banyak pengguna bahasa lain di dunia. Sebagai contoh, jumlah artikel yang dipublikasikan di situs Wikipedia yang sering jadi rujukan, jumlahnya kalah banyak dibanding artikel dalam bahasa Belanda, Jepang, Ukraina, dan Vietnam. Padahal pengguna bahasa-bahasa tersebut jumlahnya jauh lebih sedikit. Andai di negara kita lebih banyak lagi blogger seperti Becker dan Posner yang begitu produktif dan konsisten menulis bahkan di usia senja mereka, tentu saja konten berbahasa Indonesia di internet akan melimpah. Keragaman Bahasa Kita dituntut berbahasa Indonesia yang baik dan benar. Di era internet, beban itu ditambah lagi dengan perlunya menghasilkan konten berbahasa Indonesia yang baik, bermanfaat, dan jumlahnya lebih banyak. Pengguna internet di negara kita akan terus berlipat jumlahnya. Pengakses internet akan tercerahkan jika terdapat lebih banyak konten yang mudah dipahami dan terhidang dalam bahasanya sendiri. Mendorong anak-anak untuk belajar bahasa asing sejak dini bukan tanpa efek samping. Memang mereka dapat segera tersambung dengan lumbung pengetahuan dunia, tapi lama-lama bahasa Indonesia bisa tersisih dan urgensi menghasilkan konten dalam bahasa nasional menjadi tercecer di belakang. Tapi kekuatan apa yang akan mendorong kita berbahasa lebih baik dan menghasilkan konten berbahasa Indonesia lebih banyak? Small is the new big. Inilah mantra internet yang kini berlaku di mana-mana. Yang kecil-kecil, jika dikumpulkan pada akhirnya akan menjadi sebuah kekuatan besar. Semangat berbagi telah menjadikan internet seperti yang kita saksikan hari ini. Jika kita mau berbagi, sekecil apapun itu, pasti akan ada orang yang mengambil manfaat darinya. Dan begitu pula sebaliknya. Konten berbahasa Indonesia akan lekas bertambah jumlahnya jika masing-masing kita memberikan kontribusi yang sepintas tampak seperti serpihan-serpihan kecil namun akan menjadi samudera pengetahuan (social knowledge) nyaris tanpa ujung ketika sudah tersedia secara bebas di internet. Internet akan memberikan manfaat yang besar bagi anak-anak jika sebagian kita sebagai orang tuanya juga secara sadar mau menghasilkan konten untuk mereka. Bangga memiliki bahasa Indonesia, memang sudah sepantasnya dibarengi kebanggaan untuk menggunakan, melestarikan, memperkaya dan juga menyebarkannya. Yang tak kalah penting, perbedaan dan keragaman bahasa harus pula tercermin di internet. Karena itu, Bahasa Indonesia sebagai identitas bangsa perlu kita kibarkan sama-sama di dunia yang relatif baru tersebut. Gambar: sxc.hu
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H