Mohon tunggu...
Zahid Zufar At Thaariq
Zahid Zufar At Thaariq Mohon Tunggu... Mahasiswa - Teknolog Pendidikan

SD Laboratorium UM (2005-2011) SMP Negeri 18 Malang (2011-2014) SMA "Islam" Malang (2014-2017) Jurusan Teknologi Pendidikan, Universitas Negeri Malang (2017-2021)

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Kemampuan Metakognitif dalam Era Artifisial

3 Februari 2025   01:22 Diperbarui: 3 Februari 2025   01:22 32
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Zahid Zufar At Thaariq, S.Pd, M.Pd

zahidthoriq123@gmail.com

Kecerdasan buatan (artificial intelligence) telah menonjol dalam masyarakat saat ini, sehingga memunculkan apa yang dapat disebut sebagai "Era Artifisial". Era ini menandai transisi kita ke dunia di mana mesin dan sistem komputer memiliki kemampuan untuk melakukan tugas-tugas yang biasanya membutuhkan kecerdasan manusia. Kecerdasan buatan mengubah berbagai industri dan aspek kehidupan kita melalui kemajuan dalam machine learning, natural language processing, dan robotika. Dari mobil tanpa pengemudi hingga asisten pribadi virtual, era artifisial memiliki potensi untuk membentuk kembali cara kita hidup, bekerja, dan berinteraksi. Era ini mewakili waktu transformatif dalam sejarah di mana kecerdasan buatan menjadi semakin terintegrasi ke dalam kehidupan kita sehari-hari. Dengan otomatisasi tugas, personalisasi pengalaman, dan pertimbangan etis yang menyertainya, ini membawa peluang dan tantangan. Saat kita menavigasi era baru ini, sangat penting untuk mencapai keseimbangan antara memanfaatkan potensi manfaat kecerdasan buatan dan mengatasi implikasi etika dan sosial untuk memastikan masa depan yang didukung oleh buatan yang bertanggung jawab dan inklusif.

Kecerdasan buatan telah merevolusi ruang kelas tradisional, memberikan pengalaman belajar yang terpersonalisasi kepada siswa dan guru dengan perantara pembelajaran yang inovatif. Era artifisial dalam pendidikan sudah tidak diragukan lagi telah menciptakan peluang baru bagi siswa dan guru dalam upayanya untuk selalu memperbarui ruang-ruang pembelajarannya. Dalam artikel ini akan dibahas terkait apa yang harus dilakukan menghadapi era artifisial.

Era Artifisial: Sebuah Bukti Maya yang Nyata

Selama ini, kita telah bergelut dengan era digital. Segala hal terasa berubah secara drastis, mulai dari yang awalnya masih menggunakan cara-cara manual dalam berbagai kegiatan, seketika diotomatiskan dengan kehadiran digitalisasi. Bankewitz dkk pada 2016 melalui artikel yang berjudul "Digitalization and Boards of Directors: A New Era of Corporate Governance?" mengungkapkan bahwa perkembangan digitalisasi telah mengubah paradigma dalam pengambilan keputusan. Menurut Yadav dkk dalam artikel yang berjudul "The existentialism of digitalization era in Human Resources" pada 2020, era digital menekankan untuk memprioritaskan pendekatan yang berpusat pada manusia saat memanfaatkan teknologi. Pendapat ini diperkuat oleh Hustad dkk pada 2017 dalam artikel yang berjudul "Knowledge management towards a digitalization era: systematic review of past research and future directions" yang menguraikan bahwa digitalisasi telah meningkatkan kolaborasi dan keterlibatan melalui platform dan jaringan sosial. Seseorang dapat berbagi pengetahuan dengan mudah, berkomunikasi dengan rekan kerja, dan bekerja bersama dalam proyek tanpa batasan geografis.

Pertanyaannya sekarang adalah "apakah ada kelanjutan dari era ini?". Di era digital, teknologi memainkan peran penting dalam menghubungkan orang-orang di seluruh dunia dan membentuk kembali industri seperti komunikasi, media, dan perdagangan. Teknologi ini membawa kenyamanan dan efisiensi yang luar biasa dalam kehidupan kita, namun masih terbatas dalam hal kemampuannya untuk benar-benar memahami kebutuhan dan preferensi manusia. Artikel dari Thaariq pada 2023 yang berjudul "Learner Characteristics based on Generational Differences" mengutip sebuah tulisan di website yang berjudul "Beta Generation: Welcome to the artificial generation", di mana disebutkan bahwa kelanjutan dari era digital adalah era artifisial. Maka, era ini akan menjawab keterbatasan-keterbatasan dari era digital sebelumnya dan akan melahirkan generasi baru yang dinamakan artificial natives (perkembangan dari digital natives). Bisa dikatakan, ini merupakan bentuk yang matang dari perkembangan teknologi secara keseluruhan. Konteks era ini sebenarnya telah dibicarakan sejak lama, namun baru menyebar secara masif pada 2023 ini ketika muncul berbagai aplikasi berbasis kecerdasan buatan yang mulai banyak dibicarakan maupun diberitakan.

Istilah "era artifisial" mengacu pada dampak signifikan dari kecerdasan buatan pada berbagai aspek kehidupan kita. Melalui kemajuan teknologi, kecerdasan buatan telah menjadi bagian integral dari masyarakat kita, mengubah cara kita hidup, bekerja, dan berkomunikasi. Era ini ditandai dengan menjamurnya perangkat pintar, sistem otomatis, dan algoritma dengan machine learning yang telah merevolusi industri dan membawa keuntungan sekaligus tantangan. Dengan era artifisial, bagaimanapun juga, mesin menjadi semakin mahir dalam menafsirkan dan merespons emosi, isyarat sosial, dan keinginan manusia. Pergeseran ini memiliki implikasi yang signifikan bagi industri seperti layanan pelanggan, perawatan kesehatan, dan bahkan seni kreatif, di mana kecerdasan buatan kini mampu menghasilkan musik, seni, dan sastra yang tidak dapat dibedakan dengan kreasi manusia.

Teknologi mutakhir ini memiliki potensi untuk merevolusi cara siswa belajar dengan memberikan pengalaman belajar yang dipersonalisasi dan adaptif. Kecerdasan buatan dapat menganalisis data dalam jumlah besar untuk mengidentifikasi gaya belajar, kekuatan, dan kelemahan masing-masing siswa, sehingga guru dapat menyesuaikan instruksi mereka untuk memenuhi kebutuhan unik setiap siswa. Teknologi ini juga meningkatkan keterlibatan dan motivasi, karena dapat menciptakan lingkungan belajar yang interaktif dan imersif.

Saat ini kita hidup dalam masa transisi dari era digital ke era artifisial, di mana teknologi menjadi semakin cerdas dan menyerupai manusia. Munculnya era artifisial telah mendorong kita untuk beradaptasi dan meningkatkan keterampilan agar tetap relevan di tengah persaingan pasar yang terus berubah. Karena teknologi ini terus berkembang, sangat penting bagi para pendidik untuk merangkul dan beradaptasi dengan perubahan yang terjadi, memastikan bahwa era artifisial membuka potensi penuhnya dalam memberdayakan siswa dan mempersiapkan mereka untuk menghadapi tantangan di masa depan. Pertanyaannya, bagaimanakah caranya?.

Taksonomi Pembelajaran dalam Perspektif Marzano

Selama ini, pola pembelajaran yang dirancang maupun dikembangkan oleh guru cenderung mengacu pada taksonomi Bloom. Melalui buku berjudul "Taxonomy of Educational Objectives" yang terbit pada 1956, Bloom mengatakan bahwa tujuan pendidikan dinyatakan secara luas sehingga tidak banyak yang dapat dilakukan untuk tujuan kurikuler atau evaluasi sampai tujuan tersebut didefinisikan secara lebih memadai. Sebagai hasil yang luas, mereka sangat berguna dalam menyarankan kebijakan umum untuk lembaga pendidikan tertentu, untuk sekelompok lembaga, atau untuk jenis program pendidikan. Domain tujuan pendidikan tersebut terdiri dari kognitif, afektif dan psikomotorik. Pembahasan domain kognitif (pengetahuan) menjadi konstruksi dominan dalam buku tersebut. Yang dimaksud dengan pengetahuan adalah bahwa siswa dapat memberikan bukti bahwa ia mengingat, baik dengan mengingat kembali atau dengan mengenali, suatu ide atau fenomena yang telah ia alami dalam proses pendidikan. Proses kognitif ini terdiri dari (1) mengingat (C1), (2) memahami (C2), (3) mengaplikasikan (C3), (4) menganalisis (C4), (5) mengevaluasi (C5), dan (6) mencipta (C6). Dengan demikian, orientasi dari taksonomi ini adalah hasil belajar yang dapat dilihat, didengar hingga dirasakan secara eksternal.

Taksonomi Bloom telah menuai banyak kritik, salah satunya oleh Kreitzer & Madaus pada tahun 1994 dalam artikel yang berjudul "Empirical investigations of the hierarchial structure of the taxonomy". Mereka mengkritik bahwa taksonomi ini cenderung menyederhanakan sifat pemikiran dan hubungannya dalam pembelajaran. Kemudian kritikan tersebut diperjelas oleh Robert Marzano dalam bukunya "The New Taxonomy of Educational Objectives" yang terbit pada 2007. Menurutnya, taksonomi ini memang memperluas konsepsi pembelajaran dari model yang sederhana, unidimensional, dan behavioris menjadi model yang multidimensional dan lebih konstruktivis. Namun, taksonomi ini mengasumsikan konstruk kesulitan yang cukup sederhana sebagai karakteristik yang memisahkan satu level dari level lainnya. Dengan artian, tingkat yang lebih tinggi melibatkan proses kognitif yang lebih sulit daripada tingkat yang lebih rendah. Sebagai contoh, siswa yang dibelajarkan dengan struktur Taksonomi Bloom secara konsisten tidak dapat mengenali pertanyaan-pertanyaan pada tingkat yang lebih tinggi dikarenakan cenderung lebih sulit daripada pertanyaan-pertanyaan pada tingkat yang lebih rendah dalam taksonomi tersebut.

Melalui buku tersebut, maka hadirlah konsep baru yang dikenal sebagai Taksonomi Marzano. Kerangka kerja ini menekankan peran metakognisi dan pemikiran secara strategis. Kerangka kerja Marzano berfokus pada tingkatan-tingkatan (levels) yang terdiri dari (1) pemanggilan kembali (retrieval), (2) pemahaman (comprehension), (3) analisis (analysis), (4) penggunaan pengetahuan (knowledge utilization), (5) sistem metakognitif (metacognition) dan (6) sistem diri (self-system thinking). Kerangka kerja ini memberikan penekanan yang kuat pada pengembangan kemampuan berpikir kritis dan pemecahan masalah. Taksonomi Marzano juga memasukkan unsur otonomi siswa, mendorong siswa untuk merefleksikan proses pembelajaran mereka dan menetapkan tujuan pembelajaran pribadi.

Tingkatan pemanggilan kembali (retrieval) adalah proses dalam sistem kognitif dan merupakan proses bawaan sebagai bagian dari "hard-wiring" neurologis setiap manusia. Hal ini umumnya dilakukan tanpa disadari oleh seseorang. Tingkatan pemahaman (comprehension) adalah proses yang menerjemahkan pengetahuan ke dalam bentuk yang sesuai untuk disimpan dalam memori permanen. Artinya, data yang disimpan dalam memori kerja melalui memori sensorik tidak disimpan dalam memori permanen persis seperti yang dialami. Tingkatan analisis (analysis) melibatkan perluasan pengetahuan yang beralasan. Sebagai fungsi dari penerapan proses analisis, seseorang menguraikan pengetahuan yang telah dipahami. Elaborasi ini jauh melampaui kesimpulan lokal yang dibuat ketika pengetahuan pada awalnya disimpan dalam memori kerja dalam format struktur mikro. Tingkatan penggunaan pengetahuan (knowledge utilization) adalah proses yang dilakukan individu ketika mereka ingin menyelesaikan tugas tertentu. Tugas-tugas tertentu adalah tempat di mana pengetahuan menjadi berguna bagi individu. Contoh sederhananya, seseorang yang mengaplikasikan ilmu akuntansi untuk pembukuan keuangan perusahaan. Tingkatan sistem metakognitif (metacognition) adalah proses yang bertanggung jawab untuk memantau, mengevaluasi, dan mengatur fungsi semua jenis pemikiran lainnya. Secara keseluruhan, fungsi-fungsi ini kadang-kadang disebut sebagai bertanggung jawab atas kontrol eksekutif. Tingkatan sistem diri (self-system utilization) terdiri dari susunan sikap, keyakinan, dan emosi yang saling terkait. Interaksi dari sikap, kepercayaan, dan emosi inilah yang menentukan motivasi dan perhatian. Sistem diri menentukan apakah seseorang akan terlibat atau tidak terlibat dalam tugas yang diberikan; sistem diri juga menentukan berapa banyak energi yang akan dibawa oleh seseorang ke dalam tugas tersebut.

Kesimpulannya, Taksonomi Bloom menawarkan struktur hirarkis yang memandu perkembangan pembelajaran dari pengetahuan dasar hingga pengembangan keterampilan yang lebih tinggi. Di sisi lain, Taksonomi Marzano berfokus pada metakognisi dan pemikiran strategis, mendorong siswa untuk merefleksikan proses pembelajaran mereka dan mengambil kepemilikan atas pendidikan mereka.

Kemampuan Metakognitif: Terlihat Nyata tapi Maya

Di era kecerdasan buatan, konsep metakognisi memiliki tingkat signifikansi yang baru. Metakognitif mengacu pada kemampuan kita untuk berpikir tentang pemikiran kita sendiri dan menyadari proses mental kita sendiri. Dengan kemajuan pesat dalam teknologi dan integrasi kecerdasan buatan ke dalam berbagai aspek kehidupan kita, memahami dan memanfaatkan metakognisi menjadi sangat penting. Sistem kecerdasan buatan sering kali tidak memiliki kapasitas untuk metakognisi, karena mereka hanya beroperasi berdasarkan algoritme yang telah diprogram sebelumnya. Namun, peran manusia di era kecerdasan buatan adalah untuk menyadari proses kognitif mereka sendiri, memanfaatkan kekuatan metakognisi untuk memastikan penggunaan kecerdasan buatan yang bertanggung jawab dan etis.

Istilah metakognitif, yang berasal dari bahasa Yunani "meta" yang berarti "di atas" dan "kognitif" yang mengacu pada proses mental, digunakan untuk menggambarkan tindakan merefleksikan kemampuan kognitif seseorang. Istilah ini juga dapat dipahami sebagai proses merenungkan dan menganalisis pola berpikir seseorang. Dalam publikasi tahun 1998 yang berjudul "Promoting general metacognitive awareness", Schraw menyatakan bahwa ada dua komponen utama dalam kerangka kerja metakognitif: pengetahuan kognitif dan regulasi kognitif. Khususnya, model metakognitif membedakan dirinya dari model ilmiah lainnya dengan memasukkan pengamatan dalam definisinya. Tidak seperti model ilmiah yang biasanya mempertahankan tingkat keterpisahan tertentu antara pengamat dan subjek penelitian, model metakognitif berusaha untuk mengintegrasikan pengamatan ke dalam model itu sendiri.

Menurut Johnson dalam artikelnya yang berjudul "Metacognition for artificial intelligence system safety -- An approach to safe and desired behavior" pada 2022, realisasi metakognitif menandai langkah penting dalam kemajuan evolusi kecerdasan buatan menuju pergeseran yang luar biasa di mana mesin dapat memonitor kinerjanya sendiri dan mulai mengidentifikasi serta mengoreksi kesalahannya sendiri. Seiring dengan kemajuan kecerdasan buatan dan semakin terintegrasi ke dalam kehidupan kita, penting bagi setiap individu untuk terus merefleksikan interaksi mereka dengan kecerdasan buatan dan menyempurnakan proses berpikir mereka. Strategi metakognitif seperti memantau, merencanakan, dan mengevaluasi proses kognitif secara mandiri dapat membantu mengoptimalkan penggunaan sistem kecerdasan buatan. Menyadari bagaimana kecerdasan buatan memengaruhi pemikiran kita dapat menghasilkan pengambilan keputusan yang lebih baik, peningkatan produktivitas, dan penggunaan teknologi yang lebih bertanggung jawab.

Pada tataran praktisnya, maka kita bisa melihat bukti terkait proses pembelajaran dengan metakognitif melalui acuan penelitian sebelumnya. Salah satu penelitiannya adalah Patonah pada 2014 yang berjudul "Elemen bernalar tujuan pada pembelajaran IPA melalui pendekatan metakognitif siswa SMP". Dalam penelitian tersebut mengungkapkan bahwa dengan memasukkan pendekatan metakognitif ke dalam pendidikan sains, siswa didorong untuk terlibat dalam pemikiran kritis dan menyusun strategi metode pemecahan masalah. Pelaksanaan implementasinya berdasarkan pendapat terkait elemen bernalar dari Paul dan Elder yang terdiri dari (1) pertanyaan terhadap masalah, (2) tujuan, (3) informasi, (4) konsep, (5) asumsi, (6) sudut pandang, (7) interpretasi dan menarik kesimpulan serta (8) implikasi atau akibat-akibat. Ini juga didukung kuat oleh pernyataan Nindiasari pada 2014 melalui artikel yang berjudul "Pendekatan metakognitif untuk meningkatkan kemampuan berpikir Reflektif Matematis Siswa SMA" bahwa pendekatan metakognitif memungkinkan siswa untuk terlibat dalam diskusi dengan teman sebayanya, yang membantu mereka mengembangkan kebiasaan mengajukan pertanyaan metakognitif dan merefleksikan serta mengorganisir pemikiran mereka.

Metakognitif di era artifisial adalah tentang memahami keterbatasan sistem kecerdasan buatan dan memanfaatkan strategi untuk mengoptimalkan interaksi manusia-mesin. Hal ini mencakup mengenali kapan input manusia diperlukan, menilai secara kritis algoritma kecerdasan buatan untuk mengetahui potensi bias, dan terus beradaptasi dan belajar dari pengalaman kecerdasan buatan. Kesadaran metakognitif adalah keterampilan penting dalam menavigasi lanskap kecerdasan buatan yang kompleks, memastikan bahwa kita mendayagunakan manfaatnya sambil tetap menyadari keterbatasannya. Dengan mengembangkan metakognisi di era kecerdasan buatan, kita dapat memastikan penggunaan kecerdasan buatan yang bertanggung jawab dan etis sembari memaksimalkan kemampuan kognitif kita sendiri.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun