Zahid Zufar At Thaariq, S.Pd, M.Pd
zahidthoriq123@gmail.com
"Zaman dulu murid merasa berat bangun di pagi hari, memakai seragam sekolah terasa tegang di hati.
Karena anak itu tahu sesaat lagi dia akan masuk ruang kelas yang menakuti.
Zaman dulu setiap kesalahan dikenai hukuman setiap pertanyaan dipermalukan.
Relevansi dari ajaran semakin membingungkan, dari hari ke hari ia semakin ketinggalan.
Bukan hanya anak loh yang ketakutan ibu guru pun tak bisa nafas mengejar pembelajaran materi ajar serasa kereta tanpa batas kecepatan beban birokrasi membuat guru seperti tahanan.
Tetapi, di dalam hati setiap anak ada mimpi yang tersembunyi keinginan untuk belajar tanpa dihakimi.
Kepercayaan yang kuat bahwa dia punya kompetensi. Keinginan untuk dilihat sebagai manusia mandiri.
Dan setiap guru punya firasat di dalam hati bahwa mereka bahwa mungkin metode kuno sudah tidak relevan lagi.
Bahwa pembelajar sepanjang hayat tidak mungkin bisa diproduksi dengan kekakuan dengan penghafalan dan standarisasi.
Baik anak maupun guru harus diberikan ruang untuk berkreasi berinovasi bahkan untuk berjuang.
Ruang kelas menjadi panggung dan juga peluang untuk menemukan jati diri setiap orang.
Pada hari ini kita semua bergabung untuk melihat apa yang terjadi kalau murid dan guru diberikan panggung untuk membuktikan bahwa kreativitas dan kolaborasi sama pentingnya dengan berhitung karena ini lah resep yang membuat mimpi setiap anak melambung.
Bapak dan ibu proses transformasi membutuhkan sabar. Hampir lima tahun kami sibuk menanam akar baru sekarang bunga perubahan terlihat mekar di tangan anda semua saya titipkan merdeka belajar."
(Puisi yang disampaikan oleh Mendikbudristek Nadiem Makarim dengan Komisi X DPR saat rapat terakhir sebelum purnatugas yang penulis kutip dari https://www.cnnindonesia.com/nasional/20240911180545-32-1143525/nadiem-pamit-sambil-baca-puisi-di-dpr-titip-program-merdeka-belajar)
Di atas telah disaksikan sebuah puisi yang dibacakan secara langsung oleh Nadiem Makarim selaku Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Mendikbudristek) dihadapan Komisi X DPR RI. Puisi tersebut menggambarkan perubahan paradigma belajar-mengajar di bawah kepemimpinannya selama 5 tahun belakangan ini. Kurikulum Merdeka hadir ditengah muatan-muatan atau hiruk pikuk perpolitikan Indonesia yang terjadi 5 tahun akhir-akhir ini. Setidaknya, menurut hemat penulis, Kurikulum Merdeka merupakan kebijakan pendidikan terbaik yang telah dikeluarkan pemerintah selaku pemberi otoritas atau kewenangan terkait.Â
Hal ini sejalan, jika diasosiasikan dengan teori belajar, dengan konstruktivisme yang menekankan pada pembentukan proses belajar yang bermakna bagi peserta didik sebagai subjek belajar. Degeng (1998) menyatakannya sebagai proses pembelajaran yang bersifat kesemrawutan, di mana siswa sebagai subjek belajar berperan aktif dalam proses belajarnya mereka sendiri dengan guru sebagai fasilitator di dalamnya. Terlepas dari berbagai kontra yang dihasilkan dari berbagai pihak yang bernaung di dalamnya, menjadi sebuah pertanyaan bagi kita secara serius untuk mempertanyakan terkait "Bagaimana Kelanjutan dari Kurikulum Merdeka pasca 5 tahun ini?". Tentunya secara prinsipil, kurikulum yang baik harus berjalan secara berkesinambungan (sustainable) dan memiliki relevansi dengan perkembangan zaman yang dialami oleh peserta didik selaku subjek belajar utamanya.
Awal Mula: Pro dan Kontra
Kurikulum Merdeka secara resmi berlaku pada sekitar Februari 2022, namun proses pengembangannya tidak terlepas dari berbagai untaian perjalanan historis di belakangnya. Perubahan paradigma secara politis ini berawal dari dihapuskannya Ujian Nasional (UN) pada awal 2020 sebagai standar kelulusan sekolah dasar maupun menengah yang telah ditetapkan selama kurang lebih 15 tahun lamanya. Penghapusan tersebut menuai pro dan kontra di dalamnya. Terutama bagi kaum behavioris, sangat kontra dengan penghapusan UN karena menganggap proses belajar sejatinya hanyalah sebatas mengerjakan soal lalu menilainya. Kemudian setelah penghapusan UN, diikuti juga dengan berbagai program-program berikutnya yang dianggap oleh kaum behavioris sangat memberatkan.
Menurut pandangan penulis, sudah biasa jika dalam perubahan terjadi pro dan kontra di dalamnya. Sejalan dengan pendapat Ibrahim (1988) bahwa dalam perubahan terdapat respon berupa penerimaan atau penolakan. Namun setidaknya perubahan program-program yang terjadi menjelang transisi menuju Kurikulum Merdeka, utamanya penghapusan UN sebagai evaluasi hasil belajar satu-satunya saat itu, telah menyelaraskan dengan harapan banyak ahli pendidikan, terutama ahli teknologi pendidikan, yang telah membicarakan mengenai kekurangan UN sejak lama, baik melalui koran, media elektronik, maupun seminar atau diskusi perkuliahan.Â
Bahkan oleh Toenlioe (2010), disebutkan bahwa UN adalah sistem evaluasi yang tidak pedagogis. Hal ini karena kurikulum sebelumnya cenderung sangat behavioristik, di mana otoritas sepenuhnya distandarisasi oleh pemerintah, terutama dalam penyusunan RPP, Silabus hingga bentuk evaluasinya, sehingga guru tidak memiliki kewenangan penuh dalam mengatur pembelajarannya di kelas. Maka orientasi sebagai guru kebanyakan hanyalah sebatas menuruti apa maunya kurikulum, bukan tentang bagaimana agar siswa selaku subjek belajar bisa terfasilitasi proses pemaknaan belajarnya. Jelas ini sangat bertentangan dengan konteks pembelajaran abad 21 yang menekankan capaian (1) berpikir kritis, (2) komunikasi, (3) kolaborasi dan (4) kreativitas.
Nampaknya, menurut hemat penulis, inilah yang menyebabkan pendidikan di Indonesia selama ini sulit untuk berkembang. Karena, menurut Sukmadinata (2019) maupun Wahyudin (2020), selama ini kurikulum dikembangkan berdasarkan orientasi kepentingan yang bersifat politis, yang mengakibatkan perubahan kurikulum yang sering terjadi seiring dengan pergantian pemerintahan atau kepentingan tertentu. Hal ini menyebabkan pendidikan kehilangan arah yang konsisten dan berkelanjutan (inkonsistensi). Seharusnya, kurikulum dirancang untuk mendukung pembelajaran dan pengembangan peserta didik, namun sering kali lebih dipengaruhi oleh kebijakan yang tidak selalu sesuai dengan kebutuhan pendidikan.
Maka, tepatlah rasanya Kurikulum Merdeka hadir di tengah kepentingan-kepentingan politik yang berkembang melalui Peraturan Mendikbudristek No. 12 Tahun 2024. Karena kurikulum ini berorientasi pada perkembangan peserta didik secara penuh. Terlihat dari pernyataan Nadiem Makarim selaku Mendikbudristek sebagai berikut.
"Apa itu artinya merdeka belajar? Sekolah, guru dan muridnya punya kebebasan untuk berinovasi, kebebasan untuk belajar dengan mandiri dan kreatif." (Pernyataan Nadiem Makarim dalam Siaran Kabar Siang di TvOne)
Oleh karenanya, perlu untuk mendiskusikan atau membicarakan terkait bagaimana agar pelaksanaan Kurikulum Merdeka ini bisa berlanjut ke depannya. Terlepas dari pro dan kontra yang ada di dalamnya, bila kita bayangkan perubahan kurikulum kembali rasanya akan sangat disayangkan karena bijinya telah dibenih hingga menjadi akar. Pertanyaannya "bagaimana agar akar itu bertumbuh menjadi batang, sehingga muaranya menjadi pohon yang utuh?".
Mungkinkah Menuju Kurikulum Adaptif?
Sebelum lebih lanjut membahas topik ini, penulis akan menjelaskan terlebih dahulu terkait model-model pengembangan kurikulum. Menurut Toenlioe (2017) setidaknya ada tiga model pengembangan kurikulum, yaitu (1) model atas ke bawah (top-down), (2) model bawah ke atas (bottom-up) dan (3) model campuran. Model top-down menekankan pengembangan kurikulum yang datang dari lapisan birokrasi teratas (dalam hal ini pemerintah). Model bottom-up sebaliknya dari top-down, di mana pengembangan kurikulum datang dari lapisan paling bawah (dalam hal ini guru sebagai praktisi lapangannya). Model campuran adalah sinergi diantara top-down maupun bottom-up.
Jika dianalisis, maka Kurikulum Merdeka cenderung menggunakan model campuran dalam pengembangannya. Pemerintah selaku otoritas teratas memberikan panduan dalam pelaksanaannya kepada guru, sementara guru diberikan wewenang penuh dalam proses pengelolaan belajar-mengajarnya. Tidak seperti kurikulum sebelumnya yang segalanya harus diatur birokrasi teratas. Meskipun penulis menyadari, terkadang dalam praktiknya tidak demikian, karena kebanyakan guru masih harus dikejar secara administratif oleh pengawasnya. Hal ini menciptakan ketegangan antara tujuan ideal Kurikulum Merdeka dengan realitas praktiknya di sekolah.
Maka keberlanjutan dari Kurikulum Merdeka seyogyanya harus berkembang tidak hanya dari pola administrasinya semata, melainkan juga mulai memperhatikan sudut pandang siswa sebagai pelaku belajar utamanya. Penulis sempat menyusun Tesis dengan judul "Karakteristik Siswa dan Guru dalam Pembelajaran Adaptif di SMP Wahid Hasyim" pada akhir tahun 2023 silam (Thaariq, 2023). Melalui Tesis tersebut, penulis menyatakan perlu untuk memperhatikan penerapan pembelajaran adaptif (adaptive learning) secara penuh dari berbagai aspek komponennya, baik desain, strategi, model maupun metode pembelajarannya. Untuk menyusunnya, perlu pemahaman yang kuat yang melandasinya mengenai analisis-analisis pembelajaran yang berorientasi pada kondisi dalam taksonomi variabel yang terdiri dari (1) tujuan dan karakteristik mata pelajaran, (2) kendala dan karakteristik mata pelajaran dan (3) karakteristik siswa (Degeng, 1989; Reigeluth & Merrill, 1979). Oleh Thaariq (2023), "tujuan dan karakteristik mata pelajaran" dan "kendala dan karakteristik mata pelajaran" disebutnya sebagai karakteristik guru.
Secara tinjauan pengertian, kurikulum dan pembelajaran merupakan dua istilah yang berbeda, namun saling terkait satu sama lain. Kurikulum cenderung berbicara mengenai pedoman atau rancangan keseluruhan mengenai apa saja yang diajarkan atau dibelajarkan dalam pembelajaran. Sedangkan pembelajaran berbicara mengenai proses belajar-mengajar, sehingga terdapat interaksi antara guru dengan siswa di dalamnya. Maka menjadi sebuah pertanyaan terkait apakah pembelajaran adaptif bisa menjadi kurikulum adaptif?
Adaptif berarti menyesuaikan diri dengan keadaan. Keadaan itu bisa bermacam-macam konteks, baik lingkungan maupun kondisi zamannya. Oleh karena itu bila dikaitkan kurikulum adaptif sebagai pedoman atau rancangan dalam pembelajaran yang adaptif, maka kurikulum tersebut haruslah mampu beradaptasi dengan sendirinya sesuai dengan perubahan-perubahan, baik lingkungan maupun kondisinya. Dengan demikian, instrumennya pun juga cenderung fleksibel disesuaikan keadaan. Keadaan ini dikaitkan dengan kondisi dalam taksonomi variabel tersebut sebagai instrumen kebutuhan utamanya. Dengan artian, kurikulum ini berkembang bergantung pada hasil analisis karakteristik siswa maupun guru sebagai pelaku pembelajarannya.
Untuk memahaminya, penulis coba analogikan dalam sebuah rekaan. Seorang guru hendak mengajar kepada siswa yang tentunya memiliki karakteristik beragam di dalamnya. Pada umumnya, guru lain memilih mengajar sesuai dengan apa yang dia bisa tanpa menghiraukan keberagaman tersebut. Tapi guru ini cenderung berbeda. Ia mulai meriset dahulu siapa siswanya lalu bagaimana ciri khas yang dimilikinya. Nantinya setelah dianalisis, ia kaitkan dengan kebutuhan mata pelajaran yang diampunya agar model pembelajaran yang dikembangkannya bisa tepat sasaran ke siswanya. Ilustrasi itulah yang disebut sebagai pembelajaran adaptif. Artinya proses pembelajarannya bergantung pada kondisi. Bisa jadi model project-based learning itu adaptif, namun bisa jadi tidak. Kalau tidak, maka perlu mencari model-model yang lain yang lebih tepat. Maka, bila ilustrasi tersebut dibuatkan semacam pedoman atau rancangan pembelajaran secara keseluruhannya disebut sebagai kurikulum adaptif.
Nampaknya pembahasan dari penulis begitu berat untuk dilaksanakan mengingat sudah terbiasanya kebanyakan kita selaku pendidik dalam struktur kehidupan yang "diatur" atau "diperintah" secara bersamaan. Tapi perlahan namun pasti, perubahan itu pasti akan terjadi, baik mikro maupun makro, baik cepat atau lambat. Pertanyaan "mungkinkah kurikulum adaptif dilaksanakan?" tergantung dari refleksi pembaca hari ini dan akan terjawab sendiri di kemudian hari. Semoga pendidikan kita semakin jaya!
Referensi
Degeng, I. N. S. (1989). Ilmu Pengajaran Taksonomi Variabel. Depdikbud Ditjendikti.
Degeng, I. N. S. (1998). Mencari Paradigma Baru Pemecahan Masalah Belajar dari Keteraturan Menuju Kesemrawutan. Makalah disajikan dalam Pidato Pengukuhan Guru Besar IKIP Malang.
Ibrahim. (1988). Inovasi Pendidikan. Depdikbud Ditjendikti.
Reigeluth, C. M., & Merrill, M. D. (1979). Classes of Instructional Variables. Educational Technology, 19(3), 5--24.
Sukmadinata, N. S. (2019). Pengembangan Kurikulum: Teori dan Praktik. Remaja Rosdakarya.
Thaariq, Z. Z. A. (2023). Karakteristik Siswa dan Guru dalam Pembelajaran Adaptif di SMP Wahid Hasyim [Thesis]. Universitas Negeri Malang.
Toenlioe, A. J. E. (2010, Februari 11). UN, Sistem Evaluasi yang Tidak Pedagogis. Kompas.
Toenlioe, A. J. E. (2017). Pengembangan Kurikulum: Teori, Catatan Kritis dan Panduan. PT Refika Aditama.
Wahyudin, D. (2020). Politik Kurikulum. PT Remaja Rosdakarya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H