Mohon tunggu...
Zahari Afifa
Zahari Afifa Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Mahasiswi Ilmu Komunikasi UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Tahun 2011-2012 . follow me @ifhanda :)

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Ruang Pejalan Kaki yang Terenggut Oleh PKL

7 Oktober 2012   05:16 Diperbarui: 24 Juni 2015   23:09 570
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_202933" align="aligncenter" width="404" caption="Komplek kraton-Dokumen Pribadi"][/caption]

Kota Yogyakarta merupakan pusat pertumbuhan daerah, yang salah satunya dapat dilihat dari tingginya konsentrasi penduduk dan tingkat migrasi dan sosial budaya masyarakatnya. Dalam ruang lingkup regional Jateng, Kota Yogyakarta berada di jalur lintas selatan sehingga menguntungkan dalam upaya promosi potensi dan perkembangan wilayah. Kota Yogyakarta merupakan ibu kota Propinsi DIY, terbagi menjadi 14 kecamatan dan 45 kelurahan dengan luas 32,50 Km2, dengan 4 pusat koridor jalan yaitu koridor Jalan Mangkubumi, Malioboro, Keraton dan Panggung Krapyak. Koridor Jalan Malioboro merupakan salah satu koridor jalan penunjang kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat Yogyakarta yang ditandai dengan mobilitas dan aktifitas yang cukup tinggi. Hal ini dapat dilihat dengan adanya bermacam-macam aktifitas atau kegiatan yang ada di koridor Jalan Malioboro mulai dari perkantoran, perdagangan dan jasa, wisata serta sosial budaya. Peningkatan aktifitas ekonomi ini ditandai dengan munculnya aktifitas-aktifitas perdagangan yang ada disepanjang koridor Jalan Malioboro sebagai tempat para pengunjung menghabiskan malam. [caption id="attachment_202935" align="aligncenter" width="404" caption="Kawasan Malioboro & Nol Kilometter - dokumen pribadi"]

1349586738530846420
1349586738530846420
[/caption]

Malioboro yang telah dipadati oleh ruko-ruko bekas Pecinan dan kegiatan sepanjang malam banyak mengundang pengunjung. Tetapi perilaku pedagang Kaki Lima (PKL) selalu saja menjadi masalah bagi kota-kota yang sedang berkembang apalagi bagi kota-kota besar yang sudah mempunyai predikat metropolitan. Kuatnya magnet bisnis kota-kota besar seperti Yogyakarta ini mampu memindahkan penduduk dari desa berurbanisasi ke kota dalam rangka beralih profesi dari petani menjadi pedagang kecil-kecilan. Permasalahan tersebut timbul dikarenakan pedagang kaki lima di Kota Yogyakarta umumnya menggunakan fasilitas umum antara lain trotoar, di atas parit pada ruas-ruas jalan utama, di depan pertokoan pada pusat kawasan perdagangan, dan di lingkungan pasar-pasar tradisional. Pedagang kaki lima ini melakukan kegiatan usahanya dengan menggunakan gerobak, lapak, dan bangunan semi permanen. Berbagai upaya telah dilakukan pemerintah, namun hasilnya belum memuaskan, bahkan ada kecenderungan penyebaran semakin meluas dan jumlahnya semakin bertambah. Meningkatnya jumlah pedagang kaki lima ini tidak terlepas dari berbagai faktor yang mendukung antara lain terbatasnya lapangan kerja baru, krisis ekonomi yang berkepanjangan berdampak pada pemutusan hubungan kerja, urbanisasi semakin meningkat, keterbatasan kemampuan untuk memiliki tempat usaha yang tetap, penegakan hukum yang masih lemah serta belum dilaksanakannya operasi penertiban secara kontiniu dan konsisten. Pedagang kaki lima selalu menjadi perdebatan antara pro dan konta karena keberadaannya yang selalu menempati ruang terbuka publik kota (jalan, trotoar, bahu jalan, taman dll). Terutama yang memiliki aksesibilitas yang tinggi seperti di sepanjang Jalan Adisucipto, Samping Kraton Yogyakarta, Titik 0 kilometter, dll. Yang hampir disemua trotoar tersebut di penuhi Pedagang Kaki Lima, sehingga pengguna jalan kaki harus turun ke badan Jalan. Padahal itu sangat berbahaya sekali untuk pejalan kaki.

[caption id="attachment_202936" align="aligncenter" width="404" caption="kawasan jalan Laksda Adisucipto - dokumen pribadi"]

1349586869895211440
1349586869895211440
[/caption]

Tidak hanya itu, PKL pun menyebabkan kesemerawutan kota, mengurangi keindahan kota, menyebabkan kekumuhan kota, dan tentu nya sangat mengganggu kenyamanan lalu lintas utama nya pejalan kaki. Di sepanjang Jalan Laksda Adisucipto contoh nya, kalau kita melewat jalan tersebut akan terkesan sekali kesemerawutan jalan yang terdapat banyak Pedagang Kaki Lima di sepanjang Trotoar. Dan terkesan kumuh karena banyak nya Baliho-balihan atau spanduk media massa. Dulu Yogyakarta merupakan ikon kota Budaya, tetapi sekarang lebih kental aspek bisnisnya, terutama Pedagang Kaki Lima. Lantas bagaimana kah nasib para pejalan kaki?. Seolah-olah pemerintah tidak bisa berbuat apa-apa menghadapi para Pedagang Kaki Lima. Harapan besar untuk saya, supaya pejalan kaki bisa sangat nyaman berjalan dengan trotoar yang lebar. Meskipun sebenarnya hiruk pikuk dan kesemerawutan di sepanjang Jalan di Yogyakarta, kota yang maju tidak hanya dinilai dari semakin banyaknya kendaraan bermotor yang berlalu lalang di jalan raya, melainkan kota yang masyarakatnya merasa aman saat berjalan kaki di luar rumah.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun