Dulu keberhasilan seseorang untuk masa depan diukur dari tingkat kecerdasan. Padahal dulu kecerdasan hanya ditinjau dari aspek intelektual. Padahal di otak kita terdapat beberapa kecerdasan yaitu kecerdasan intelektual (IQ), kecerdasan emosional (EQ), dan kecerdasan spiritual (SQ). Di Indonesia pengembangan kecerdasan anak untuk menuju tingkat keberhasilan atau kesuksesan dalam berhasil itu ditinjau dari intelektual. Contohnya dalam sistem pendidikan Indonesia menekankan tingkat kecerdasan dinilai dari segi matematika (logika) dan bahasa. Dalam praktek anak akan mengalami kenaikan kelas dinilai dari aspek tersebut. Padahal ini adalah satu pemikirin kecerdasan yang masih tradisional. Hal ini juga diungkapkan oleh pakar perkembangan dan pemerhati anak, Seto Mulyadi. Setelah adanya kekeliruan di pendidikan Indonesia dalam peningkatan kecerdasan anak. Padahal sekolah - sekolah swasta telah menjamur dimulai dari sekolah kanak-kanak atau Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) sampai tingkat yang tertinggi perguruan tinggi. Dengan semakin menjamurnya sekolah-sekolah seharusnya tingkat pendidikan Indonesia semakin professional, tapi kenyataannya masih tetap dalam pendidikan pengembangan yang tradisional. Dengan adanya kekeliruan tentang kecerdasan yang hanya mencakup dua aspek yaitu matematika (logika) dan bahasa. Sebaiknya selain dari aspek tersebut harus juga meliputi beberapa aspek yang lain yaitu kinetis, musical, visual-spatial, interpersonal, dan naturalis. Jenis-jenis kecerdasan tersebut disebut dengan kecerdasan jamak (multiple intelligences) yang diperkanalkan oleh Howard Gardner tahun 1983. Menurut Gardner sebaiknya harus memperhatikan orang-orang yang memiliki talenta (gift) di dalam kecerdasan seseorang. Misalnya arsitek, musikus, ahli alam, designer, penari, terapis, dan lain-lain.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H