Ideologi, menjadi suatu terminologi yang sangat melekat pada pustaka pikiran kita. Terminologi ini, seakan-akan telah menjadi acuan dalam menjalani kehidupan sehari-hari, bahkan telah menjadi acuan dalam menjalankan roda pemerintahan. Secara historis, ideologi telah menjadi salah satu dalang utama dalam konflik yang terjadi pada sepanjang sejarah umat manusia. Jika kita melihat kilas balik pada bagaimana ideologi terbentuk, manusia yang pada hakikatnya adalah makhluk sosial, dan bahkan Aristoteles dalam Politics (2023) menyebutkan bahwa manusia adalah Zoon Politicon atau binatang politik, yang secara naluriah akan terus berpikir untuk memecahkan berbagai permasalahan dalam lingkup pribadi maupun lingkungan sosialnya. Dalam dimensi bermasyarakat, manusia akan selalu berpikir agar kehidupan ini dapat berjalan sesuai dengan keinginannya. Berangkat dari keinginan ini, manusia melahirkan ide ide dan gagasan yang mendominasi suatu masyarakat politik-- beberapa dari ide dan gagasan ini hanya bertahan sementara-- dan diejawantahkan menjadi visi dari suatu kelompok masyarakat, inilah yang kita kenal sebagai ideologi (Djuyandi 2021). Jika dilihat secara kontekstual, paradigma ideologi ini bergeser, tidak hanya melekat pada sekelompok masyarakat yang tergabung sebagai warga negara saja, tetapi mulai merambah pada kelompok kepentingan seperti partai politik.Â
Ideologi pada hakikatnya, mengandung hal-hal yang sifatnya formal dan ideal, serta ideologi menawarkan hal tersebut untuk dipraktekan. Ideologi akan menawarkan bagaimana ekonomi dan politik dijalankan, dan bagaimana nilai nilai tentang kesejahteraan, pendidikan, kesehatan, ketenangan, kenyamanan masyarakat, serta keamanan akan didistribusikan. Maka dari itu, ideologi merupakan hal yang wajib untuk dimiliki oleh partai politik. Karena dengan itu, partai politik akan dengan mudah terlihat bentuknya. Dengan kata lain, arah partai politik dalam menjalankan fungsinya, apa yang akan disosialisasikan kepada masyarakat, sikap dan orientasi politik yang akan dibentuk, kategorisasi basis masyarakat yang akan menjadi perjuangan partai, serta nilai nilai perjuangan partai, akan terlihat dengan jelas (Prasetya 2011). Dengan dasar ideologi yang mencakup hal formal dan ideal tadi, akan menentukan pergerakan partai melalui program kebijakan partai, kemudian diejawantahkan menjadi program kerja nyata yang dirasakan oleh masyarakat. Hal ini seakan menunjukan bahwa partai politik telah menjadi arena dan sarana bagi masyarakat untuk menyalurkan hasrat ideologi nya, dengan akibat bahwa perhelatan dan pertikaian ideologi akan tak terhindarkan.Â
Melihat Kilas Balik Perhelatan Ideologi Bangsa
Jika kita melihat kilas balik sejarah bangsa, perhelatan ideologi begitu melekat dalam konstelasi politik Indonesia. Konstruksi mengenai macam macam ideologi telah berkembang begitu pesat, terutama pada pikiran para kaum intelektual. Setelah kemerdekaan, para tokoh bangsa yang sudah mengupayakan kemerdekaan perlu berpikir dengan keras bagaimana roda pemerintahan akan dijalankan, dan apa yang akan menjadi acuan secara praktikal. Para tokoh bangsa ini tidak mempunyai pengalaman, serta tidak memiliki acuan yang benar-benar cocok untuk diterapkan di Indonesia. Satu-satunya yang mereka punya hanyalah pustaka dari proses belajarnya--yang kebanyakan di luar negeri--sehingga sistem pemerintahan negara lain yang kemudian dapat dijadikan referensi. Feith and Castles (1988) menggambarkan masa-masa ini seperti "...periode berlayar di lautan yang belum terpetakan, meraba-raba doktrin, kebijakan, dan metode pemerintahan yang dapat digunakan untuk mengisi tabula rasa dari kemerdekaan baru". Para pemimpin bangsa saat itu, sangat antusias akan hal-hal yang menjadi perdebatan dalam diskursus ideologi, sehingga hubungan antara dimensi ide politik dan dimensi kekuasaan politik sangatlah erat.Â
Perhelatan ideologi ini secara bertahap, terjadi sebelum dan sesudah kemerdekaan. Mulai dari islam dan komunis pada tahun 1920-an, sampai muslim dan nasionalis sekuler pada tahun 1930-an. Namun secara garis besar, baik pra ataupun pasca kemerdekaan, perhelatan ideologi ini memunculkan tiga aliran besar yang mendominasi konstelasi politik Indonesia pada saat itu. Tiga aliran besar ini adalah nasionalisme radikal, komunis, dan islam, namun Feith and Castles (1988) menyebutkan bahwa ada dua aliran lainnya--yang tidak begitu mendominasi namun memiliki cukup pengaruh dalam konstelasi politik pada saat itu-- yaitu tradisionalisme jawa dan sosialisme demokrat. Kemudian aliran-aliran ideologi ini memiliki basis partainya masing masing, seperti PNI yang menganut aliran nasionalisme radikal, PKI yang menganut aliran komunis, Masyumi dan NU yang menganut aliran islam, PIR yang menganut aliran tradisionalisme Jawa, dan PSI yang menganut sosialisme demokrat. Secara historis, aliran ini bermuara dari campuran beberapa pengaruh, seperti pengaruh barat, pengaruh tradisi Jawa hindu, dan pengaruh tradisi Islam. Perdebatan dan perhelatan antara aliran ideologi ini mencapai puncaknya pada pemilu tahun 1955, dimana terdapat 4 partai utama yang menang. Diantaranya adalah partai nasionalisme radikal PNI yang merebut 22,3% suara, partai reformis islam Masyumi yang merebut 20,9% suara, partai islam lebih tradisional NU yang merebut 18,4% suara, serta partai komunis PKI yang merebut 16,4% suara (Feith and Castles 1988). Rentetan hal ini, seakan memperlihatkan kepada masyarakat Indonesia kontemporer, bahwa dalam sejarah bangsanya, telah terjadi perdebatan dan perhelatan yang sengit antar ideologi untuk menentukan bagaimana roda pemerintahan akan dijalankan.Â
Hilangnya Gairah Ideologis
Namun, pasca kejadian G30S, aliran politik kiri seakan hilang begitu saja pada konstelasi politik Indonesia, karena dianggap sebagai dalang pada peristiwa tersebut. Partai-partai yang tadinya beragam akan aliran ideologis, secara ekstrim berpindah haluan ke arah kanan. Pada periode ini, kontestasi, gairah, dan pertarungan politik seakan hilang. Semuanya berada pada satu kontrol kekuatan besar dan sentral, demokrasi seakan menjadi semu, serta otoritarianisme adalah kata yang tepat untuk menggambarkan keadaan konstelasi politik pada saat itu. Bourchier and Hadiz (2014) menggambarkan kondisi pada saat itu sebagai suatu paham organisme, dimana situasi politik hanya menekankan pada keteraturan, hirarki, dan harmoni. Pada rezim orde baru ini, tidak ada lagi perhelatan ideologi yang menggairahkan intelektualitas, semuanya seakan patuh-patuh saja pada penguasa. Partai yang beragam hanyalah semu dan formalitas belaka, sedangkan partai penguasa dengan begitu kencangnya mendominasi kondisi politik pada saat itu. Selanjutnya, mundurnya rezim otoriter Soeharto pada Mei 1998, menciptakan angin segar untuk demokrasi Indonesia. Partai-partai bermunculan dan menjamur dalam konstelasi politik Indonesia, seakan terbebas dari otoritarianisme yang membelenggu selama 32 tahun lamanya.Â
Pragmatisme dan Koalisi Pelangi
Namun yang kemudian muncul sebagai pertanyaan fundamental adalah, apakah partai ini akan lebih beragam secara ideologi seperti era orde lama? Namun sayangnya, partai politik pasca reformasi masih terasa hambar. Kondisi partai politik pasca reformasi, hanya didominasi oleh kartel kartel partai yang dicirikan oleh keinginan bersama untuk berkuasa. Akibatnya, partai partai bersedia untuk membentuk koalisi pelangi (Aspinall 2018). Dengan kata lain, partai partai ini bersedia untuk berkoalisi berdasarkan kepentingan elektoral, alih-alih berkoalisi berdasarkan kesamaan orientasi dan ideologi. Aspinall Dkk (2018) telah melakukan survey terkait ideologi partai kepada anggota partai-partai pasca reformasi, hasilnya adalah anggota partai cenderung mengidentifikasikan partai mereka pada tengah dan kanan. Selain itu, partai politik pasca reformasi hanya dapat dibedakan dengan seberapa pancasilais mereka dan seberapa agamis mereka (Nurjaman 2009). Tidak ada perbedaan signifikan lainnya, penawaran kebijakan pun bersifat sangat fleksibel, menyesuaikan dengan basis suara terbanyak secara elektoral.Â
Dengan ini, perhelatan ideologi pada ranah partai politik menjadi sangat hambar. Masyarakat akan cenderung kesusahan untuk membedakan dan menetapkan pilihannya di bilik suara, karena penawaran kebijakan yang serupa. Selain itu, hal ini juga akan berdampak pada pragmatisme pemilih, seperti kecenderungan memilih karena manfaat ekonomi langsung, janji materil, atau kedekatan personal dengan kandidat. Koalisi pelangi yang marak terjadi pada partai-partai politik pasca reformasi dapat dijelaskan dengan satu terminologi, yaitu pragmatisme. Pragmatisme ini, dalam konteks politik, dapat diasumsikan menjadi cara mudah untuk meraih status, kedudukan, dan jabatan dalam pemerintahan. Politik tidak lagi dipandang sebagai idealisme dalam memperjuangkan ideologi dan aspirasi masyarakat, tetapi sayangnya hanya menjadi arena untuk mencapai tujuan yang menguntungkan (Ekowati 2019). Tidak peduli dari aliran mana mereka menawarkan kebijakan, selama itu menguntungkan secara elektoral, akan dengan gencar mereka tawarkan. Bias ideologi dan homogennya penawaran kebijakan, seakan menjadikan kondisi ideal dalam konstelasi politik, hanya terjadi di buku-buku teori politik dan pada pikiran para ahli saja. Kondisi ini dapat sangat jelas dilihat ketika ajang kontestasi politik terjadi, karena pada saat ini realitas politik pragmatis yang mengambil alih kemudi.Â
Keterlibatan Kaum Oligark
Peran sekelompok orang yang berusaha untuk mempertahankan kekuasaan dan kekayaannya menjadi sentral disini, karena mereka akan menjadikan pemilu sebagai arena pelanggeng kekuasaan, dan partai politik menjadi kendaraannya. Kelas kelas borjuasi ini selalu menjadi cecunguk dalam mewujudkan pemerintahan yang ideal, dan entitas ini dikenal dengan istilah oligark serta oligarki. Secara definitif, terminologi oligark dan oligarki ini menjadi dua hal yang berbeda. Jeffrey Winters (2011) dalam bukunya Oligarki telah menjelaskan bahwa oligark merujuk pada para aktor yang memiliki dan mengendalikan sejumlah besar sumber daya material yang dapat dimanfaatkan untuk mempertahankan atau memperkuat kekayaan pribadi serta posisi sosial eksklusif mereka. Sedangkan oligarki merujuk pada politik pertahanan kekayaan oleh pelaku yang memiliki kekayaan material. Dengan kata lain, oligark merujuk pada pelaku atau aktornya, dan oligarki merujuk pada perilakunya. Partai partai politik, terutama partai partai yang digadang menjadi harapan pasca reformasi, justru daya hidup dan pengaruhnya hanya bergantung pada bagaimana kolaborasinya dengan kekuatan-kekuatan oligarkis (Rainditya, 2022).Â
Aliansi antara kaum oligark dan partai politik seakan menjadi predator bagi proses ideal pemerintahan yang berjalan. Ranah politik elektoral menjadi salah satu saluran para oligark untuk mempertahankan kekayaan. Oligark dapat memilih untuk mendukung, membiayai, atau bahkan terlibat langsung sebagai elit politik. Sungguh pragmatis ketika kelompok oligark selalu mengupayakan keadaan kesenjangan material dan politik secara ekstrem. Jika para kandidat politik dipilih karena adanya proses elektoral melalui partai politik, maka partai politik itu sendiri akan menjadi medium kaum oligark yang strategis, karena hanya dengan itu, sentralisasi kekuasaan serta kekayaan dapat dilakukan dengan mudah dan sah. Logika sederhananya, para kaum oligark ini atau kaum borjuasi ini dapat dengan mudah mendukung, membiayai, atau terlibat langsung dalam proses politik, hal ini juga dapat dilihat dari perspektif bahwa biaya politik sangatlah mahal. Ketika sudah terpilih, para kandidat politik ini mempunyai kecenderungan untuk merumuskan kebijakan yang memihak pada kaum oligark, karena mereka telah didukung dan dibiayai oleh mereka, dan tidak menutup kemungkinan untuk kaum oligark itu sendiri yang menjadi kandidat politik.Â
Penutup
Rentetan fenomena ini, seakan memperlihatkan kita akan adanya degradasi ideologi dari periode ke periode. Tidak ada lagi pilihan yang jelas pasca reformasi, partai politik seakan tidak memiliki keberpihakan yang jelas terhadap publik, serta tidak ada lagi peta jalan yang terang untuk mencapai keadaan yang lebih baik, orientasi partai politik hanyalah menang secara elektoral. Hal ini, menjadi pengejawantahan dari degradasi ideologi, dan terlihat jelas ketika konstelasi politik dihiasi dengan pragmatisme dan koalisi pelangi. Kondisi ini, tidak lepas perannya dari kaum oligark dan percobaan oligarki. Karena ketiadaan ideologi yang jelas, partai politik dijadikan medium strategis oleh para oligark untuk mempertahankan dan meningkatkan kekayaan, serta status sosialnya yang eksklusif. Sehingga, proses perumusan kebijakan, akan cenderung menguntungkan kaum oligark saja. Keadaan degradasi ideologi ini, seakan menjadi gajah dalam ruangan yang tidak disadari oleh masyarakat Indonesia, padahal imbasnya begitu besar dalam konstelasi politik kita.Â
Daftar Pustaka
Aristoteles. (2023). Politics. Indoliterasi.
Aspinall, E., et al. (2018). Mapping the Indonesian Political Spectrum. New Mandala. https://www.newmandala.org/mapping-indonesian-political-spectrum/
Bourchier, D., & Hadiz, V. (2014). Indonesian politics and society: A reader. Routledge.
Djuyandi, Y. (2021). Pengantar Ilmu Politik. PT. RajaGrafindo Persada-Rajawali Pers.
Ekowati, E. Y. (2019). Pragmatisme Politik: Antara Koalisi, Pencalonan, dan Calon Tunggal Dalam Pilkada. Jurnal Transformative, 5(1), 16-37. https://core.ac.uk/download/pdf/230239078.pdf
Feith, H., & Castles, L. (1988). Pemikiran Politik Indonesia 1945-1965. LP3ES.
Nurjaman, A. (2009). Peta Baru Ideologi Partai Politik Indonesia. Bestari, (42), 243916. https://www.neliti.com/publications/243916/peta-baru-ideologi-partai-politik-indonesia
Prasetya, I. Y. (2011). Pergeseran peran ideologi dalam partai politik. Jurnal Ilmu Politik dan Ilmu Pemerintahan, 1(1), 30-40. http://fisip.umrah.ac.id/wp-content/uploads/2012/03/JURNAL-ILMU-PEMERINTAHAN-BARU-KOREKSI-last_36_46.pdf
Rainditya, D. (2022). Partai Politik dan Harapan Kosong Pemilu 2024. Indoprogress.Com. https://indoprogress.com/2022/09/partai-politik-dan-harapan-kosong-pemilu-2024/
Winters, J. (2011). Oligarki. PT Gramedia Pustaka Utama.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI