Sistem zonasi yang diterapkan pada PPDB tahun ajaran 2019-2020 menuai kontroversi dalam pelaksanaannya. Â Permendikbud No 14 Tahun 2018 menerapkan aturan sistem zonasi sekolah dimana proses penerimaan siswa baru didasarkan dengan wilayah tempat tinggal siswa tersebut. Sistem ini sangat berbeda dengan sistem PPDB tahun-tahun sebelumnya yang mana penerimaan siswa didasarkan pada nilai Ujian Nasional (UN). Â
Penerapan sistem zonasi ini ditujukan agar tak ada sekolah-sekolah yang dianggap sekolah favorit dan non-favorit. Akan tetapi, dalam pelaksanannya banyak masyarakat yang kontra terhadap tujuan kemendikbud tersebut.
Kemendikbud bertanggung jawab menjamin akses pendidikan seluruh anak Indonesia. Sayangnya, dari tahun ke tahun angka partisipasi sekolah dari keluarga miskin masih rendah. Salah satu penyebabnya adalah opportunity cost yang terlalu besar, Â maksudnya ada pilihan lain yang lebih menguntungkan untuk diambil. Contohnya banyak yang lebih memilih untuk bekerja daripada bersekolah.Â
Oleh karena itu, pemerintah berusaha menekan cost sekecil mungkin. Upaya menggratiskan SPP saja tidak cukup, karena terdapat kebutuhan sekolah lainnya seperti alat tulis, seragam, dan ongkos. Kebijakan zonasi ditujukan untuk menekan biaya transportasi anak ke sekolah.Â
Dengan menjamin setiap anak mendapatkan sekolah yang dekat dari rumah, beban biaya untuk sekolah bisa berkurang. Selain itu, penerapan sistem zonasi ini diharapkan tidak ada lagi stigma sekolah yang lebih unggul.Â
Siswa-siswi yang memiliki capaian akademik yang tinggi bisa tersebar di sekolah sesuai zonasi. Sehingga dalam sekolah tersebut nantinya terdiri dari siswa yang memiliki capaian akademik yang beragam dan bisa bermanfaat satu sama lain.
Sedangkan mayoritas masyarakat beranggapan bahwa adanya sistem zonasi justru menurunkan iklim kompetisi siswa dan dapat menurunkan kualitas sekolah. Anak yang jarak rumahnya dekat dengan sekolah akan merasa aman-aman saja meskipun tidak belajar karena penerimaan siswa baru lebih mementingkan jarak daripada nilai.Â
Anak yang nilainya tinggi merasa dirugikan karena peluang untuk masuk ke sekolah favorit menjadi lebih kecil. Mereka beranggapan bahwa untuk apa dilaksanakannya UN jika akhirnya yang menentukan sekolah adalah jarak rumah.Â
Selain itu, dengan adanya sistem zonasi ini otomatis siswa yang memiliki kecerdasan tinggi dan yang rendah akan bergabung menjadi satu. Hal in menyebabkan pembelajaran kurang efektif.Â
Jika siswa yang memiliki kecerdasan tinggi digabung dengan yang kecerdasannya rendah, maka akan terjadi kecenderungan anak yang cerdas menjadi jenuh (karena bosan dan kurang tantangan) dan anak yang kurang cerdas akan merasa putus asa karena merasa jauh tertinggal.
Sebenarnya tujuan awal dari sistem zonasi ini sudah baik, tetapi kondisi pendidikan di Indonesia masih belum siap akan hal itu. Hal ini disebabkan karena jumlah sekolah, kualitas, Â fasilitas, tenaga pendidik yang masih belum merata di setiap daerah di Indonesia.Â
Pemerintah hendaknya meratakan terlebih dahulu sekolah-sekolah yang ada di Indonesia barulah sistem zonasi dapat diterapkan dan berjalan dengan efektif.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H