Mohon tunggu...
Zaenul Arifin
Zaenul Arifin Mohon Tunggu... Guru - Praktisi Pendidikan Sains

saya ada karena saya berkarya

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Menjadi Guru Kompeten Berbasis Komunitas Praktisi

13 Februari 2022   08:34 Diperbarui: 13 Februari 2022   08:38 934
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Upaya peningkatan mutu guru telah ditempuh pemerintah melalui berbagai jalan panjang. Undang Undang  Nomor 14 Tahun 2005 tentang  Guru dan Dosen yang mengamanatkan peningkatan kompetensi guru melalui sertifikasi guru seperti tidak berdaya, hanya mampu meningkatkan sedikat angka kesejahteraan guru tanpa di barengi peningkatan mutu guru  yang signifikan.  Model pelatihan, workshop yang cenderung top down tidak memberikan efek yang signifikan juga terhadap peningkatan mutu pendidikan secara umum. Setiap mengikuti workshop atau pelatihan guru seperti berlau dan mengalir saat itu saja saat pelatihan tidak ada tindak lanjut dan sebatas menyelesaikan tugas. Lalu bagaimana sih cara menjadi guru yang berkompeten yang efektif dan efisien?.

Kompetensi Guru

Banyak dari seseorang yang bercita-cita menjadi guru, calon guru, bahkan guru sendiri masih bertanya-tanya, bagaimana untuk menjadi guru yang baik dan berkompeten. Menurut kamus besar bahasa indonesia menjelaskan bahwa guru adalah seseorang yang pekerjaanya (mata pencahariannya, profesinya) mengajar. Bukan hanya mengajar di sekolah akan tetapi di madrasah, pesantren, bahkan bimbingan-bimbingan sekaligus, yang pada intinya adalah proses penerimaan ilmu dari guru kepada murid. Menurut Undang undang Guru dan Dosen, status guru menjadi tenaga professional atau profesi.

Peribahasa guru kencing berdiri, murid kencing berlari atau jawodosok guru, digugu lan ditiru memberikan maksud luhur bahwa guru adalah sosok yang mampu memberikan teladan bagi muridnya. Imam ghazali menjelaskan bahwa guru adalah orang tua kedua bagi para muridnya. Sebagai orang tua, selayaknya guru harus selalu memberi tauladan yang baik. Dari penjelasan diatas kesimpulannya adalah ketika kita ingin untuk menjadi guru yang baik adalah bisa menjadi suri tauladan, uswah, dan panutan bagi para siswa-siswinya.

Lalu apakah cukup jika hanya mengandalkan menjadi suri tauladan yang baik untuk bisa menjadi guru yang berkompeten? Jawabannya tidak. Samasekali tidak, bahkan guru yang tanpa bayaranpun juga harus memiliki kompetensi untuk mengajar para muridnya. Lalu apa saja yang harus kita lakukan agar kita berkompeten dalam mengajar?.  Pertama,  guru harus memiliki kompetensi pedagogik yaitu mempunyai pemahaman untuk mengaktualisasikan semua potensi yang dimiliki. Kedua, guru harus memiliki kompetensi social, yaitu guru harus mepunyai kecakapan berkomunikasi kepada muridnya, orang tua wali dan masyarakat sekitar. Ketiga kompetensi kepribadian, yaitu faktor yang mendasari perilaku guru baik secara biologis, psikologis, dan sosiologis. Dan yang terakhir adalah kompetensi profesional, yaitu guru harus bisa menjadi profesional dibidang yang akan ia ajarkan kepada siswanya. Profesional berarti memahami secara mendalam dan luas, menguasai setiap materi kurikulum mata pelajaran.

Menurut penulis, kompetensi yang perlu dikembangkan oleh guru adalah kompetensi global yaitu bisa mengikuti alur perkembangan zaman, trend atau model pembelajaran ditingkat daerah local atau global. Kedua, kompetensi digital, yaitu kompetensi guru untuk mengadopsi dan menguasai perkembangan digitalisasi pendidikan. ketiga kompetensi moral yaitu dalam proses pendidikan, guru tidak hanya sekedar memberi ilmu dari pelajaran sekolah, akan tetapi juga menanamkan nilai kepada siswa untuk membentuk nilai nilai pada diri siswa dan mampu memberikan arahan, masukan, saran, agar siswa bisa menjadi lebih baik bukan hanya pada bidang pelajaran, akan tetapi juga lebih baik pada bidang norma, perilaku, dan akhlak.

Merdeka belajar

Guru Indonesia yang tercinta, tugas Anda adalah yang termulia sekaligus tersulit. Anda ditugasi untuk membentuk masa depan bangsa, tetapi lebih sering diberi aturan dibandingkan dengan pertolongan. Anda ingin membantu murid yang mengalami ketertinggalan di kelas, tetapi waktu Anda habis mengerjakan tugas administratif tanpa manfaat yang jelas. Anda tahu betul bahwa potensi anak tidak dapat diukur dari hasil ujian, tetapi terpaksa mengejar angka karena didesak berbagai pemangku kepentingan. Anda ingin mengajak murid keluar kelas untuk belajar dari dunia sekitarnya, tetapi kurikulum yang begitu padat menutup petualangan. Anda frustasi karena Anda tahu bahwa di dunia nyata kemampuan berkarya dan berkolaborasi akan menentukan kesuksesan anak, bukan kemampuan menghapal. Anda tahu bahwa setiap anak memiliki kebutuhan berbeda, tetapi keseragaman telah mengalahkan keberagaman sebagai prinsip dasar birokrasi.  Anda ingin setiap murid terinsfirasi, tetapi Anda tidak diberi kepercayaan untuk berinovasi." - (https://www.kemdikbud.go.id/main/blog/2019/11/pidato-mendikbud).

Rangkaian kalimat tersebut di atas merupakan petikan dari isi pidato yang disampaikan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Anwar Makarim pada peringatan Hari Guru Nasional (HGN) tahun 2019 lalu dengan jargon merdeka belajar.  Merdeka belajar adalah konsep belajar yang yang dilontarkan mendikbud tidak lain mengadopsi konsep belajar yang sudah diterapkan komunitas komunitas pendidikan di Indonesia. Spirit kemerdekaan dalam pendidikan Indonesia dicetuskan pertama kali oleh Ki Hadjar Dewantara.

"...kemerdekaan hendaknya dikenakan terhadap caranya anak-anak berpikir, yaitu jangan selalu "dipelopori", atau disuruh mengakui buah pikiran orang lain (1952).

Konsep merdeka belajar sebenarnya konsep lama, sudah dikaji baik di luar negeri maupun di Indonesia. Pada waktu lampau, dunia pendidikan termasuk kami di Kampus Guru Cikal mengenalnya sebagai pembelajaran mandiri sebagai terjemahan dari konsep self regulated learning. Konsep merdeka belajar setidaknya menggambarkan 3 hal, yaitu (1) menetapkan tujuan belajar sesuai kebutuhan, minat dan aspirasinya, bukan karena tuntutan adaministrasi atau pencapaian materi belaka, (2) menentukan prioritas, cara dan ritme belajar, termasuk beradaptasi dengan cara baru yang lebih efektif; (3) melakukan evaluasi diri untuk menentukan mana tujuan dan cara belajar yang sudah efektif dan mana yang perlu diperbaiki.

Lantas bagaiaman penerapannya di dalam kelas?. Merdeka belajar di ruang kelas diawali dari diri guru yang merdeka belajar, sadar dan memprioritaskan esensi tujuan pendidikan, fleksibel dalam menentukan strategi belajar dan menjadikan respon murid sebagai bahan untuk berefleksi.  Guru yang merdeka belajar akan menjadi penggerak kelas merdeka belajar. Dari lingkup diri disebarkan menjadi lingkup kelas. Murid dilibatkan dalam mengelola kelas, seperti penggunaan kesepakatan kelas, komunikasi positif dan menghindari sogokan dan hukuman untuk memotivasi murid.

Pada proses pengajaran, guru merdeka belajar melibatkan murid dalam menentukan tujuan belajar. Guru menjadi penghubung antara tujuan belajar pada kurikulum dengan kebutuhan murid. Pemahaman terhadap kebutuhan dan potensi murid dijadikan pertimbangan bagi guru untuk menyusun pilihan cara belajar di kelas. Guru melibatkan murid dalam merancang penilaian terhadap proses dan hasil belajar. Pada akhir pelajaran, guru meminta masukan dari murid untuk melakukan perbaikan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun