Mohon tunggu...
Zaenal Eko
Zaenal Eko Mohon Tunggu... Dosen - Pernah jurnalis

Isu sosial, humaniora dan sedikit politik. Konsultan KTI. Pendidik Jurnalisme.

Selanjutnya

Tutup

Bahasa Pilihan

Lorong Gelap Huruf dan Bahasa Jawa

15 Oktober 2022   06:35 Diperbarui: 15 Oktober 2022   06:53 829
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bahasa. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Jcstudio

Sebagai orang Jawa, tentu bangga jika mendengar istilah diaspora Jawa. Kemenlu RI aktif menyelenggarakan event ini sebelum pandemi. Ya, orang Jawa memang sejak dulu terkenal senang merantau. Alasan utamanya tidak ada yang istimewa, sama saja dengan etnis lain meninggalkan kampung halaman, yakni umumnya demi perbaikan nasib. Akses sumber daya yang minim, disertai struktur masyarakat kelas yang ketat, ada kawula dan ndoro, semakin menebalkan keinginan merantau.

Karena itu tidak heran kalau komunitas orang Jawa, baik dalam jumlah besar maupun kecil, bisa dijumpai di manca negara. Negeri utama yang menjadi perantauan orang Jawa bisa disebut misalnya Singapura, Malaysia, Thailand, Madagaskar, Suriname, hingga Kaledonia baru, dsb. Satu hal yang jadi kesamaan, umumnya di tempat baru mereka sukses mengasimilasi diri dengan budaya dominan setempat. Malah kecenderungan ditemukan, generasi mudanya sudah tidak lagi menampakkan kejawaannya, dan tidak bisa bahasa Jawa lagi.

Kondisi ini tentu menyedihkan, walaupun sekilas tampak membanggakan. Apa pasal yang menyedihkan? Tentu saja tidak lain ancaman hilangnya budaya Jawa. Sederhananya, alih-alih membaca dan menulis aksara Jawa, mereka tak bisa lagi bisa ngomong Jawa.

Bukanlah membanggakan lagi, mengalahnya orang Jawa, sebagai populasi dominan, atas orang Melayu karena bahasa Jawa tidak dipakai sebagai bahasa nasional. Ini berlaku di dalam negeri. Justru yang terjadi pada orang Jawa, baik yang merantau maupun yang tidak -dan memang masih perlu penelitian lebih jauh, mereka merasa inferior, rendah diri untuk mempertahankan budayanya. Entah apakah malu sebagai keturunan perantau ataukah inferior karena Jawa-nya. Janganlah sesali keturunan Jawa di Suriname, di Kaledonia baru, di Singapura atau di luar negeri manapun jika tidak bisa lagi ngomong Jawa, mari lihat di Indonesia sendiri; banyak orang Jawa tidak dapat berbahasa Jawa atau minimal malu mengakui kajawaannya.

Tidak lain karena Jawa terstigma negatif. Pernah di satu masa dulu, orang Jawa itu dipandang inlander, sejak jaman penjajahan hingga jaman kemerdekaan. Di jaman setelah merdeka, kebanyakan memenuhi pekerjaan sektor informal seperti babu dan pesuruh kantor. Apalagi ada sentimen anti orang Jawa di satu dua wilayah di Indonesia. Karena itu amat wajar menutup diri budayanya, merupakan sebuah strategi bertahan. Kejawaan yang diumpetin. Keturunan Jawa di luar negeri yang duduk di berbagai lembaga maupun bekerja di pemerintahan, setidaknya tampak betul mendomestik-kan kejawaannya. Bagi mereka ini, menjadi Jawa bukan suatu kebanggaan, malah bakal merugikan posisi mereka. Menjadi keturunan Jawa hanya sebuah kebetulan, atau malah justru kecelakaan.

Belum lagi kalau melihat segregasi masyarakat Jawa di sekitar keraton sendiri. Kelas bangsawan selalu berhadap2an dengan wong cilik. Hampir tidak terjadi kerjasama egaliter antara darah biru dan darah non biru. Pendek kata, mobilitas vertikal akan sulit dialami golongan biasa dan satu-satunya jalan untuk mengubah nasib tidak lain adalah dengan pergi meninggalkan para ndoro. Kemewahan hidup hanya bergulir terbatas di kalangan priyayi. Namun tak mudah hidup di perantauan. Ancaman diskriminasi nyata di depan mata. Asimilasi adalah satu-satunya pilihan. Maka, tak mengherankan jika seorang wakil gubernur di Kaledonia baru yang keturunan Jawa, tidak bisa lagi ngomong Jawa dan malah fasih ngomong Prancis ketika diwawancarai dalam sebuah tayangan YouTube.

Lalu, tiba-tiba terbetik berita bahwa Pengelola Nama Domain Internet Indonesia (PANDI) gagal mendaftarkan huruf Jawa sebagai aksara di internet. Otoritas internet dunia Lembaga internet dunia, Internet Corporation for Assigned Names and Numbers (ICANN) menolak pengajuan untuk aksara Jawa sebagai domain internet. ICANN belum mengabulkan pendaftaran aksara Jawa untuk mendapatkan domain internasional, lantaran aksara ini tidak banyak digunakan. Diketahui memang, seperti disitir dari Kompas 17/1/21, pihak yang notabene mengajukan permohonan Internationalize Domain Name (IDN) kepada ICANN adalah PANDI.

Kegagalan PANDI itu tentu bukan karena kurang gesitnya PANDI, tapi harus diakui memang aksara Jawa itu hampir tak ada lagi yang menggunakan. Jika pun mau ditelusuri, sebenarnya juga seberapa banyak penutur Bahasa Jawa, terutama di kalangan generasi muda. Bilamana memang hendak memajukan aksara Jawa, sepertinya pihak PANDI pun menyadari, dalam sistem dan lingkungan seperti apa aksara Jawa itu digunakan sejauh ini. 

Lebih membingungkan lagi, bagaimana menemukan pengguna aksara Jawa itu sendiri, walau untuk menemukan penutur bahasa Jawa bukanlah hal sulit. Bahkan di kantong-kantong budaya Jawa sekalipun, sebutlah Solo dan Jogja, hari2 ini banyak dijumpai anak-anak balita malah dilatih berbahasa Melayu/Indonesia oleh orangtuanya, bukan lagi bicara Berbahasa Jawa maupun mempelajari aksara Jawa. Apalagi dipaksa bersaing dengan bahasa dan huruf Arab dan bahasa Inggris, yang dengan huruf latinnya. Dibanding dua bahasa dan dua huruf itu, tentulah bahasa dan aksara Jawa kedodoran.

Lalu timbul pertanyaan, siapakah yang memegang otoritas bahasa dan aksara Jawa itu?  Bilamana berlindung dengan masih adanya program studi Bahasa Jawa di berbagai kampus, sejauh mana peran mereka terhadap memperkuat daya tawar (bargaining position) bahasa dan aksara Jawa di kancah global? Semua pertanyaan itu masih berada di lorong gelap yang entah di mana ujungnya.

Akhir kata, tulisan pendek ini mungkin juga sekadar letupan frustrasi. Sebab, disusun oleh orang Jawa, tapi tak lagi bisa lagi menulis dan membaca aksara Jawa, tidak fasih juga bahasa kromo inggil, walaupun dulu waktu sekolah dasar, pernah dapat pelajaran itu.

Matur nuwun.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun