Mohon tunggu...
Zaenal Eko
Zaenal Eko Mohon Tunggu... Dosen - Pernah jurnalis

Isu sosial, humaniora dan sedikit politik. Konsultan KTI. Pendidik Jurnalisme.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Pemikiran Bruno Latour dan Pengukuhan Guru Besar Pertama di PNJ

24 September 2022   05:23 Diperbarui: 24 September 2022   06:25 1388
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bruno Latour, dikenal sebagai seorang filsof, sosiolog sekaligus antropolog kontemporer Prancis yang reputasinya di bidang humaniora tidak diragukan lagi. Puncaknya ketika diberi gelar setingkat Nobel untuk bidang humanities, Holberg Prize tahun 2013. Ia diyakini peletak dasar disiplin ilmu science and technology studies (STS). Gagasan besarnya antara lain ingin menjawab kegelisahan banyak orang, apakah sains hanya untuk natural science semata. Jawabnya ternyata tidak. Temuan-temuan besar butuh jaringan, ia tidak bisa berdiri atas kebenaran yang dikandungnya sendiri, ia butuh penopang, butuh saling mengikat dan terikat dalam institusi dan interaksi, networked. Karena jika tidak, temuan besar ataupun fakta-fakta itu akan luruh karena jaringan yang menopang tidak kuat.

Contoh gamblang ngadat-nya temuan besar, yang jelas-jelas dengan faedah yang dipercaya sangat besar adalah mobil listrik. Siapa yang tidak kenal Tesla, siapa tidak kenal CEO-nya, Elon Musk. Tetapi senat dari Partai Republik, terutama para dedengkotnya, masih meragukan ada atau tidaknya perubahan iklim (climate change) yang sekian lama digembar-gemborkan itu, sehingga berdampak masih bercokolnya kepercayaan pada energi fosil. Kedigdayaan energi fosil itu ternyata ditopang para industri-industri energi fosil yang telah sedemikian mengakar. Dampaknya jelas di AS pun mobil listrik belum mengular di jalanan. Kian suram tampaknya setelah pertengahan pertengahan Mei 2019 lalu, Trump asyik bermain golf dengan Abe, tidak lama setelah menjejakkan kaki di Jepang, sebelum sowan ke kaisar baru Jepang dan menonton serta memberi piala kampiun gulat tradisonal, sumo.  Makin jauh pula harapan mobil listrik mengaspal di Indonesia, selepas Trump dan Abe bermain golf itu.

Begitulah, temuan-temuan besar itu tidaklah berdiri sendiri. Ini bukan soal sederhana layaknya suplai menyuplai perakitan Airbus di Toulouse, Prancis, yang onderdilnya diambil dari berbagai negara. Bukan melulu kerja bareng sesama supplier itu. Namun, dalam kondisi perlunya inovasi teknologi dalam sebuah keterikatan jaringan itu, Latour menyebutnya actor-network theory (ANT). Di sela-sela pentingnya networked itu, munculnya sosok ilmuwan sosial bukanlah hal yang aneh. Negeri ini pun pernah merintis penerapan gagasan Latour itu. Adalah Abdurrahman Wahid (Gus Dur) sewaktu menjabat presiden mengangkat AS Hikam, yang seorang antropolog lulusan Universitas Hawai untuk menduduki jabatan Menteri Negara Riset dan Teknologi.

Sebetulnya apa yang hendak dikembangkan dalam jejaring (networked) antara natural science dan social science itu waktu itu juga belum belum jelas produknya apa dan seperti apa. PT DI yang dianggap ahli bikin helicopter malah remuk karena diterjang masalah manajemen dan demo, ketimbang sibuk mengembangkan pesawat heli super canggih sekelas Mangusta, supercobra, Apache dan lainnya misalnya. Publik sebenarnya sempat berharap banyak dengan rintisan almarhum BJ Habibie itu. 

Pemikiran Latour sebenarnya bukanlah lompatan besar, justru Gus Dur-lah yang pemikirannya melompat jauh. Bangsa postcolonial yang masih mengejar pertumbuhan dan kematangan ekonomi, dipaksa untuk berinovasi dengan memilih ahli yang dipandang sanggup mengikatkan pada jaringan (ilmuwan sosial) untuk "mengikatkan" inovasi di bidang sains. Belum tampak nyata dampaknya, namun fakta yang ada baik sebelum gebrakan Gus Dur ini maupun setelahnya, yang banyak terjadi adalah sebatas duplikasi, fabrikasi yang ujung-ujungnya state dan market berkolusi bablasan Orba, oknum-oknum pejabat dan pengusaha sama-sama menjadi apa yang disebut Robinson & Hadiz, adalah para komprador.  

Di bidang pendidikan, baik dari tingkat dasar sampai tinggi, gagasan disertai teknik-teknik pendidikan yang tepat guna bagi generasi muda bangsa ini terus disemai. Sejarah pendidikan pasca kemerdekaan dan terutama era Orde Baru sempat mencatat konsentrasi pendidikan untuk calon guru, karena waktu itu bangsa ini kekurangan guru. Lalu mendadak perlunya suplai SDM di industri, maka muncullah link and mach. Di selanya, model pendidikan pun dibelokkan dari orientasi Eropa (Belanda dan Jerman) ke model persis Amerika Serikat. Sampai sekarang berkuasanya model industri pengindeks dengan memanfaatkan inovasi dalam ranah revolusi industri 4.0 ini, telah melalui beberapa perubahan. Guru dan dosen dituntut untuk menulis, menghasilkan karya, mencatatkan luaran. Di sebelah sana, dunia industri, tipis-tipis saja gaung tuntutan terbangunnya jaringan sains di ranah industri walaupun tidak sedikit para profesionalnya meraih gelar PhD. Maklum saja, mungkin mereka mempunyai ranah tersendiri. Muncul lagi sekarang merdeka belajar. Di masa lalu, Rabindranath Tagore sudah pernah bereksperimen tentang hal serupa di Santhiniketan di India. 

Sepengetahuan penulis, ahli-ahli sosial di ranah industri yang sebagian peraih gelar PhD itu tidak dituntut setinggi ilmuwan di kampus. Terutama yang ahli sosial, di samping tuntutan industri lainnya, mereka dituntut untuk menjadi "jago lobi" dan piawai dalam memainkan jaringan agar sebuah produk atau inovasi dapat berjalan dengan mantap. Mereka tidak harus menulis buku atau artikel jurnal, namun seperti gagasan Latour, mereka cukup mengegolkan sebuah action plan industri dengan mengikatkan produk tersebut dalam jaringan (networked). Mereka dituntut menjadi pemain handal dalam Actor-Network Theory.

Di lingkungan kampus PNJ, kampus vokasi yang menghimpun ahli-ahli sains dan sosial humaniora, pengikatan dalam jaringan seperti gagasan Latour ini yang tampak nyata di mata penulis, walaupun mungkin kurang tersadari, di balik suksesnya pengukuhan guru besar pertama di kampus ini. Hampir tidak dibayangkan dengan pikiran alam dunia awam (common world), kampus yang belum ada guru besarnya satu pun, artinya belum ada dewan guru besarnya, untuk mengangkat seorang guru besar. Meminjam Latour, kemampuan dan kemauan seseorang untuk menjadi guru besar itu ibarat fakta yang perlu ditempelkan pada networking yang tepat. Gelar doktor sudah dilalui, angka kredit juga telah memenuhi, namun tentu saja yang bersangkutan tidak bisa mendaku diri sendiri sebagai guru besar. Tugas berikutnya yang luar biasa besar, yaitu bagaimana mengikatkan fakta itu dalam sebuah jaringan. Menggembirakannya, pimpinan kampus memahami betul soal pentingnya mengikatkan dalam sebuah sistem dan jaringan itu. Maka terselenggaralah pengukuhan guru besar itu. Dus, kegurubesaran itu tidaklah bisa berjalan sendiri. Ia perlu diupayakan, diikatkan dalam sebuah sistem dan jaringan. Maka atas berjalannya ikatan dalam jaringan (networked) itulah yang memungkinkan terealiasinya guru besar pertama di kampus seperti PNJ. 

Akhirnya, selamat kepada salah satu pakar material maju PNJ, Professor Doktor AEP (Nama singkatan saja) yang telah dikukuhkan menjadi guru besar pertama di kampus PNJ, tanggal 7 Mei 2019 yang lalu. Semoga segera disusul oleh calon-calon guru besar lain. Waallaahu 'Alam Bisshowaab.

Penulis adalah salah satu civitas akademika Politeknik Negeri Jakarta, sedang studi lanjut di Universiti Kebangsaan Malaysia (UKM)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun