Aspek inilah yang harus dilihat, antara lapangan kerja informal dan kemandirian. Karena itu perlu dicari intervensi serta inovasi pegembangan masyarakat yang tepat bagi masyarakat dengan karakter seperti ini.
Akan halnya artefak fisik secara gamblang adalah keberadaan klenteng atau wihara yang disebut salah satu tertua di Bogor. Dilihat dari penyebutan dua istilah itu saja mengundang pertanyaan, mana yang tepat sebetulnya, apakah klenteng ataukah vihara (kalangan Buddhis jarang menuliskan wihara).Â
Bagi kalangan pengkaji Tionghoa di Indonesia akan tidak kaget bahwa penentuan penyebutan Chinese temple itu dalam Bahasa Indonesia ternyata membeberkan episode ketegangan internal di kalangan Tionghoa pada masanya.
Kira-kira demikian, bahwa klenteng itu sebutan awal yang dikembangkan dari dialek hokian sampai akhirnya muncul perselisihan di antara kalangan Tionghoa penganut sam kaw hwee (Buddhisme, Tao dan Khonghucu) yang sekarang disematkan pada kelompok Buddha Tridharma, dengan kalangan yang memisahkan diri menjadi umat Khonghucu saja, kong kaw hwee.Â
Polemik di era kolonial itu berlanjut di era awal Orde Baru dengan kuatnya sentimen anti China di kalangan pejabat pemerintah.Â
Episode ini lalu membawa perubahan pada nama klenteng menjadi vihara, agar lebih jelas anasir ke-Buddhaan-nya ketimbang Ke-Chinaan-nya.
Di saat itu, secara serentak terjadi penggantian istilah dan papan nama dari klenteng menjadi vihara. Polemik ini di era Reformasi sekarang telah menginjak ke meja hijau, yang lagi-lagi memperhadapkan antarsesama komunitas Tionghoa yaitu kelompok Khonghucu dan kelompok Buddha Tridharma.
Narasi polemik tersebut mungkin tidak tepat untuk kasus Pulo Geulis karena memang faktanya berbeda, namun bukanlah sesuatu yang tabu untuk diwaspadai. Hal ini menjadi amat berdampak tentu dalam hal penekanan pada konservasi klenteng atau vihara itu sendiri.Â
Penulis juga maklum, banyak kota di dunia memoles heritage bangunan menjadi tujuan wisata akhir-akhir ini. Paket-paket tour pun menempatkan kunjungan tempat-tempat dan bangunan bersejarah, termasuk rumah ibadah, sebagai paket yang banyak diminati. Di Jakarta misalnya untuk kepentingan kalangan Muslim, revitalisasi dilakukan terhadap Makam Mbah Priok dan Makam Luar Batang yang rutin dibanjiri peziarah.Â
Namun pemahaman terhadap aspek karakteristik masyarakat kelompok yang akan dikembangkan dan potensi-potensi hambatan terpendam tetaplah harus diantisipasi.
Akhirnya, selamat kepada PNJ, khususnya Bidang Kerjasama dan P3M yang telah memprakarsai proyek revitalisasi pluralisme ini. Wallaahu 'Alam bisshowaab. Â