Mohon tunggu...
Zaenal Eko
Zaenal Eko Mohon Tunggu... Dosen - Pernah jurnalis

Isu sosial, humaniora dan sedikit politik. Konsultan KTI. Pendidik Jurnalisme.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Pulo Geulis, Pluralitas dan Tantangan Pengembangan Kawasan

6 September 2022   10:51 Diperbarui: 6 September 2022   13:19 821
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Warga keturunan Tionghoa sedang membersihkan patung dewa-dewi dalam ritual penyucian Kimsin yang dilakukan setahun sekali menjelang perayaan Imlek di Klenteng Pan Kho, Kampung Pulo Geulis, Kelurahan Babakan Pasar, Kecamatan Bogor Tengah, Kota Bogor (KOMPAS.com / RAMDHAN TRIYADI BEMPAH)

Faktor kesamaan kategori sebagai kelompok peranakan, jika meminjam sejarawan Leo Suryadinata untuk membedakannya dengan kelompok totok, menyebabkan mereka tidak lagi disibukkan untuk membangun imperium klan dan mencari-cari telatah asal kakek moyang mereka di Tiongkok. 

Bayangan akan kemegahan klan itu tampaknya telah tergantikan dengan kebanggan pada tugu kujang dan juga ketokohan Prabu Siliwangi serta Suryakencana dengan beragam penafsirannya. Artinya mereka telah menjadi subkultur Sunda dan kemegahan Pajajaran di masa lampau. 

Di sinilah pluralitas yang ada itu ternyata hidup dan menjadi pluralisme sipil yang mampu bertahan sekian lama. Hal ini tentu saja amat kontras dengan penilaian sebagian kalangan bahwa Bogor adalah kota intoleran. Hanya ekspresi-ekspresi sesaat massa atas ketidaksukaannya pada anasir kelompok lain, tidaklah layak untuk menggeneralisir bahwa entitas pluralisme di Bogor telah dialihkan menjadi kota intoleran.

Pada kondisi masyarakat seperti ini, menjadi menarik untuk melihat sejauh mana lahan pengembangan masyarakat yang efektif dilakukan.

(KOMPAS.com / RAMDHAN TRIYADI BEMPAH)
(KOMPAS.com / RAMDHAN TRIYADI BEMPAH)

Dalam panggung sejarah Nusantara, tercatat bahwa komunitas Tionghoa rata-rata merupakan kelompok mandiri dari sisi ekonomi dari sejak mula kedatangan mereka. 

Hal ini paling tidak dapat dilacak dari tulisan Picard dan Salmon (1987) maupun Peter Carey (2004) yang menyebut kekuatan kaum Tionghoa dalam hal perniagaan dan pembentukan kelas menengah pedagang di perkotaan.

Data itu tampaknya belum berubah hingga sekarang. Dalam kasus penduduk Pulo Geulis, sangat dimungkinkan semangat kemandirian itu masih ada.

Namun begitu tidaklah dapat dipastikan keberadaannya mengingat perubahan demi perubahan terjadi, tidak terkecuali komunitas Tionghoa mutakhir.

Beberapa studi menyebut karena mereka dibatasi terlibat dalam pemerintahan, mereka kemudian secara alamiah memilih jalur perniagaan. Namun sekarang ini, tidak semua komunitas Tionghoa menjadi peniaga handal. 

Di Polo Geulis mungkin akan sama problemnya dengan komunitas Tionghoa di Tengerang, ataupun di Singkawang, yaitu mereka tidak semuanya peniaga handal dan malah menggantungkan hidup pada lapangan kerja informal.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun