Aku: Orang bilang, aku bukan turunan kiai atau wali?
Saya: Benar.
Aku: Tapi hakikatnya, jika diturut-turut, aku tidak sekadar keturunan wali. Aku 'putra' nabi, bahkan rasul. Nabi Adam as.
Saya: Ehm, iya juga sih. Berarti secara nasab, setiap manusia tiada bedanya?
Aku: Mestinya begitu. Semua keturunan Nabi Adam as. Tidak perlu keturunan Si A, Si C, dan seterusnya, dijadikan 'kebanggaan diri'. Senang (bersyukur) boleh, 'bangga' jangan. Kita kan tidak bisa memilih ingin jadi anak siapa?
Saya: Iya, ya. Berarti, nasab itu nasib?
Aku: Harusnya disadari seperti itu. Seseorang (bayi), tidak bisa meminta lahir dari rahim siapa. Bapaknya siapa pun tak berhak memilih. Jika ada kehendak memilih, setiap orang tentu minta menjadi anak orang terhebat. Misalnya aku, tentu ingin lahir sebagai anak 'Nabi Muhammad saw'.
Saya: Inggih. Berarti harus diterima sepenuh hati (disyukuri) menjadi putra siapapun?
Aku: Tentunya begitu lebih baik. Semua ditakdirkan oleh Tuhan. Ketidakterimaan akan nasib yang ditetapkan Tuhan sebagian dari ingkar. Dalam bahasa agama, 'kafir'. Agama Islam menerangkan tentang rukun iman. Salah satunya, "Beriman kepada qada dan kadar". Apapun bentuk dan jenisnya, baik atau buruk.
Saya: Berarti 'bangga' akan nasabnya dan memandang 'jelek' nasab orang lain bagian dari tidak ber-iman atau kafir?
Aku: Ya jangan terlalu ekstrim. Kita kategorikan saja misalnya, "Belum memahami rukun iman". Atau kita kelompokkan dalam golongan, "Belum sampai pada hakikat iman". Terutama pokok bahasan 'nasib nasab'.