Maaf, bukan provokasi. Ini kisahku dan adik-adik kandungku dengan "Bapak"-ku. Pak Thowi, "KH.Muhammad Thonthowi Imam". Tidak ada unsur politik. Tak terpengaruh oleh pasangan calon siapa dan apapun.
Rasa kangenku, penyebab tulisan-tulisanku tentang beliau. Akan kutulis dan kutulis. Kusebarkan, siapa tahu ada hikmah dapat diambil. Menyatir quote dari Pramoedya Ananta Toer, "Menulislah, apapun, jangan pernah takut tulisanmu tidak dibaca orang, yang penting tulis, tulis, dan tulis. Suatu saat pasti berguna."
Hakul yakin, jika beliau membaca tulisanku, tersenyum sambil manggut-manggut. "Isok ae awakmu Nal." Sambil sesekali koreksi kata tidak pantas, tak sopan.
Suatu saat, kisah tulisanku yang dibaca oleh beliau, dikoreksi, akan aku ceritakan. Belum sekalipun kuceritakan pada keluarga, alumni, atau teman.
Kembali pada silaturahmi ke kiai.
Kiai yang aku maksud ya beliau, "Pak Thowi".
Idul fitri tahun 2003. Hari ketiga bulan Syawal. Aku dan ketiga adikku sowan ke ndalem beliau.
Di awal perbincangan beliau bertanya, "Wes nglencer neng bulekmu?"
"Dereng Pak." Jawabku singkat.
Bulek (bibi) yang dimaksud adalah adik kandung bapakku sendiri, Bulek Sumelik. Kebetulan rumah bulek tidak terlalu jauh. Satu dusun dengan Pak Thowi. Pak Thowi hafal dengan saudara bapakku.
Ada ikatan batin yang tidak dapat dijelaskan antara bapak dan Pak Thowi. Saat bapak meninggal, tahun 1998, Pak Thowi beruraian air mata. Mungkin melihat aku dan adik-adik masih kecil. Wallaahu a'lam.