Mohon tunggu...
Zaenal Arifin
Zaenal Arifin Mohon Tunggu... Guru - Kawula Alit

Guru matematika SMP di Banyuwangi, Jawa Timur. Sedang masa belajar menulis. Menulis apa saja. Apa saja ditulis. Siap menerima kritikan. Email: zaenal.math@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Menghitung Rezeki?

26 Maret 2019   08:25 Diperbarui: 26 Maret 2019   08:31 43
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pengantin baru memiliki asumsi, harapan, dan visi jangka panjang. Kepala keluarga baru, berusaha mengatur [baca: manage] biduk rumah tangga kecilnya. Tujuannya, tentu agar kehidupan keluarga berjalan lancar dan sukses hingga di masa tua. Tidak sampai karam di tengah lautan kehidupan.

Bagus. Proses yang luar biasa setidaknya sebagai tanda, kesiapan pengantin baru mengarungi bahtera rumah tangga.

Seorang suami menyiapkan buku kas umum. Agar istrinya mencatat pemasukan dan pengeluaran keuangan.

Gaji bulan pertama, (saat sudah berumah tangga) diberikan kepada istri. Sami'na wa atha'na istripun mencatat sebagai pemasukan. Alhamdulillah, di akhir bulan masih terdapat sisa. Untuk tabungan, dipindahkan ke Bank. Maklum, pengantin baru. Sisa beras, gula, minyak, dan bahan pokok yang lain masih ada.

Kembali nol, pembukuan bulan kedua dimulai dengan nol rupiah. Ibarat laporan pertanggung jawaban keuangan perusahaan. Pemasukan harus sama dengan pengeluaran. Agar tidak terjadi pailit, bangkrut, kolaps.

Suami memberikan gaji untuk dibukukan bulan kedua. Saat ini banyak pengeluaran. Sabun, shampoo, pasta gigi, dan kebutuhan dapur sudah waktunya untuk dibeli. Tertib administrasi, semua pengeluaran ditulis rinci. Bahkan nota, kuitansi ditempelkan pada bagian belakang buku kas.

Istri salihah, tidak ada sedikitpun niat  mark up keuangan. Lurus, polos, jujur. Benar-benar sesuai keadaan sebenarnya. Sekecil apapun pengeluaran dicantumkan.

Dua pertiga bulan kedua. Stok keuangan sudah habis. Telah mencapai titik nol. Laporan kepada pimpinan rumah tangga. Strategi diterapkan, ambil uang tabungan. Semuanya, seluruhnya, untuk menutup kekurangan bulan kedua. Impas, nol nol, di akhir bulan kedua, kembali pada titik nol rupiah. Uang di bank? Ikutan nol rupiah.

Bulan ketiga. Memasuki Bulan Ramadhan. Berabe, cilaka dua belas. Kebutuhan membengkak. Persiapan Idul Fitri. Banyak kebutuhan, dua hingga tiga kali lipat. Gaji suami? Lumat habis, tiada sisa. Terus bagaimana?

Lapor suami! Apa yang harus dilakukan?

Pusing, tujuh keliling. Sulit, bagaimana mengatasinya?

Itulah rumah tangga. Terkadang tidak seperti yang diperkirakan. Uang, tidak mesti dapat mencukupi segala kebutuhan. Segala keperluan tidak harus dicukupi dengan uang. Apalagi hanya gaji bulanan. 

Solusinya? Kembali pada keluarga masing-masing. Setiap rumah tangga memiliki caranya sendiri. Tidak harus sama dengan sebelahnya. Melihat, memperhatikan, sebagai ibrah. Tidak disama persiskan. (*)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun