Mohon tunggu...
Zaenal Arifin
Zaenal Arifin Mohon Tunggu... Guru - Kawula Alit

Guru matematika SMP di Banyuwangi, Jawa Timur. Sedang masa belajar menulis. Menulis apa saja. Apa saja ditulis. Siap menerima kritikan. Email: zaenal.math@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Tak Mudah Menjadi Gus

25 Maret 2019   06:25 Diperbarui: 25 Maret 2019   06:44 88
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Semua mata tak berani menatapku. Malu, sungkan, takzim, apapun namanya. Aku putra Kiai Pesantren X. Santrinya ribuan, dari penjuru tanah air. Bahkan ada yang dari negera tetangga. Malaysia, Singapura, dan Brunei Darussalam.

Setiap kali aku lewat, orang-orang langsung diam menunduk. Tak bergerak. Tidak hanya santri, masyarakat sekitar rumahku juga seperti itu.

Santri diajarkan adab. Kepada Kiai dan para  gurunya. Juga pada keluarga mereka. Istri, anak, dan cucu-cucunya. Tujuan utama hanya satu, agar ilmunya berkah. Ilmu yang dipelajari pada waktu mondok dapat diamalkan. Dapat disebarkan, nasyrul/ nashrul ilmi wad diin. Menyebarkan/ menolong ilmu dan agama.

Ada satu kitab, yang mashur dikaji para santri. Ta'limul muta'alim, pembelajaran bagi para pelajar. Kiat-kiat sukses para pencari ilmu. Hampir semua pesantren mengkaji kitab tersebut. Secara rutin, berulang-ulang, tiap tahun selesai, khatam, istiqomah, jadi wirid.

Tidak ada masalah bagi saya. Para santri harus hormat pada Kiai. Karena Kiai adalah pengasuhnya. Pengganti orang tua selama di pesantren. Orang tua/ wali mereka sudah pasrah pada Kiainya. Termasuk pada keluarga pengasuh. Harus hormat, hormat yang sebenarnya. Bukan sebatas fisik di hadapannya. Menjaga Marwah, kehormatannya. Nama baik Kiai, keluarga, dan pesantrennya. Karena santri bagian dari mereka. Keluarga besar pesantren dan pengelolanya.

Lalu apa masalahnya? Diam membisu ketika bertemu aku. Itu yang aku tidak suka. Meskipun aku putra Kiai Pesantren besar. Walaupun aku Gus. Aku juga berhak disapa. "Apa kabar Gus Zae? Dari mana Gus Zae? Mau cari apa Gus Zae?" Justru aku lebih senang mereka memanggilku Kang Zae atau Mas Zae. Atau langsung namaku saja "Zae" tanpa "Bin." Tanpa nama besar ayahku.

Aku silau, sulap, jika mereka mencantumkan nama ayahku. Apalagi nama Beliau selalu ditaruh di belakang namaku. Rasanya tidak punya tata krama. "Zaenal Arifin bin K.H.Nashruddin." Selalu seperti itu. Aku berpesan, berulang-ulang, sering, agar namaku tidak ditulis di depan nama Beliau. Tidak punya adab, tidak memiliki tata krama. Lalu? Tidak usah dikasih nama Beliau. Jika menulis namaku, ya namaku saja. Tanpa "bin". Cukup dengan "Zaenal Arifin." Namaku bukan "Zaenal Arifin bin K.H.Nashruddin."  Namaku hanya "Zaenal Arifin" sesuai KTP, sama dengan yang tertera di Akte Kelahiran.

Begitupun dengan masyarakat sekitar. Tetangga rumah. Takzimnya terlalu berlebihan. Aku berusaha bersikap biasa. Sapa sana, sapa sini. Aku mafhum, mungkin mereka semua juga dulunya santri. Santri ayahku, meskipun tidak seluruhnya mondok. Tapi aku juga tetangga mereka.

Aku dan keluargaku mempunyai hak dan kewajiban sebagai tetangga. Sama dengan mereka. Memiliki hak, juga kewajiban kepada keluargaku.

Setiap kali aku kerja bakti, mereka melarangku memegang pekerjaan. Pegang cangkul, sabit pun dilarang oleh mereka. Aneh, kita sama-sama kerja bakti. Kewajibannya setara, sebagai bagian dari masyarakat. Umurku pun relatif muda. Masih kuat, kalau hanya bersih-bersih. Masih punya tenaga mencangkul dan menyabit. Kalau ayahku? Aku maklum. Beliau sudah tua. Cukup datang dan bagian doa, sudah bagus. Karena badannya sudah tidak sekuat dahulu. Untuk urusan kerja bakti, ro kan, sayan, ayahku sudah mewakilkan pada pengurus pondok. Termasuk pada diriku, sebagai putranya.

Aku benci, paling tidak suka. Jika santri dan orang-orang sekitar rumahku jongkok. Nglesot ketika sowan, bertamu di rumahku. Aku bukan raden, bukan anak raja. Aku sering memarahi mereka, tidak perlu seperti itu. "Kita sama, manusia, tidak ada bedanya. Justru aku takut, jika Kalian seperti ini. Aku sombong, sok suci, sok alim, sok berderajat. Apakah Kalian mau, aku disiksa karena kesombonganku?  Bukankah tidak akan masuk syurga, orang yang di hatinya ada sifat sombong. Walaupun hanya sebiji zahrah?"

****

Muru'ah, kata Bahasa Arab yang sering terngiang di telingaku. Harga diri, nama baik dan kehormatan, kira-kira seperti itu maknanya. Bagiku setiap manusia punya harga diri dan kehormatan. Setiap orang wajib menjaga nama baiknya. Tidak hanya aku, yang ditakdirkan sebagai anak seorang ulama. Bukan hanya untukku, untuk putra Kiai saja. Bagi semua orang, siapapun dia. Berkewajiban menjaga harga diri, kehormatan, dan nama baik dirinya dan keluarga. Bahkan lebih luas lagi, lingkungan, masyarakat, bangsa, dan negaranya.

Muru'ah menurutku berasal dari akar kata yang sama dengan mar'un, mar'atun, mir'atun. Manusia laki-laki, seseorang perempuan, cermin. Setiap manusia, baik laki-laki maupun perempuan wajib menjaga harga diri, kehormatan, dan nama baiknya. Merawat dan menyuburkan sifat hakiki kemanusiaannya. Bercermin diri, koreksi diri, refleksi diri sendiri, kritik diri sendiri sebelum mengkritisi orang lain. Iso rumongso, ora rumongso iso.

Tidak hanya Kiai dan keluarganya yang harus menjaga itu semua. Setiap orang, semua manusia harus menjaganya. Bersikap layaknya manusia kepada sesama manusia. Memanusiakan manusia. (*)

#Kang guru belajar Nyufi

25 Maret 2019

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun