Mohon tunggu...
Zaenal Arifin
Zaenal Arifin Mohon Tunggu... Guru - Kawula Alit

Guru matematika SMP di Banyuwangi, Jawa Timur. Sedang masa belajar menulis. Menulis apa saja. Apa saja ditulis. Siap menerima kritikan. Email: zaenal.math@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Rasa yang Hilang

24 Maret 2019   20:03 Diperbarui: 24 Maret 2019   20:31 121
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Rasa itu dahulu memuncah. Tinggi di ujung, tak seorangpun dapat menggapai. Teramat tinggi. Menggebu-gebu, tiada menentu. Super semangat. Pokoknya harus terwujud. Apapun sudah kulakukan. Segala usaha, berbagai ikhtiar telah kujalankan. Doa-doa, jopa-japu, berbagai syarat, perlengkapan, kusediakan.

Lima tahun pasca menikah, belum dikaruniai momongan lah penyebabnya. Aku sudah mencoba berbagai usaha. Medis, non medis, alternatif, modern, kuno, bacaan doa-doa, suwuk, jampi-jampi, aku tidak tahu artinya. Tetap saja kuturuti. 

****

Tahun keenam usia pernikahan. Rasa bahagia. Senang tidak karuan. Pagi itu, ada rasa tak biasa. Saat keluar dari kamar mandi. Berlari-lari, berteriak "Mas Zae! Mas Zae! Aku positif!" Kutunjukkan garis merah dua, pada test pack. Mas Zae berkata sambil mengepalkan tangan kanan "Yes, positif!"

Orang tua dan mertua langsung kuberi tahu. Mereka senang bukan kepalang. Aku ibarat putri raja. Begini tidak boleh, begitu dilarang. Tidak boleh lelah, tidak boleh bepergian jauh-jauh. Asupan gizi harus terjamin. Rutin ke bidan. Setiap bulan harus kontrol. Dua minggu sekali ke Puskesmas. Hari Rabu dan Kamis. Poli Kesehatan Ibu dan Anak (KIA).

****

Empat bulan, perutku kelihatan buncit. Aku mual-mual, ada pendarahan, entah apa penyebabnya. Apa kelelahan? Kemarin aku dan Mas Zae pergi ke rumah saudara. Jalannya penuh bebatuan. Maklum jalan desa. Masya Allah, ada gumpalan daging keluar. "Mas Zae! Mas Zae!" Aku pendarahan. Aku keguguran.

Aku menangis sedu sedan. Mas Zae menenangkan. Mertua laki-lakiku segera memproses calon bayiku. Disucikan, dibungkus kain kafan, dan memakamkanya. Calon bayi laki-laki, kira-kira begitu terlihat olehku.

Sedih, bayi yang kunantikan enam tahun. Harus diambil oleh Tuhan. Gelap gulita seakan seisi rumah. Tetangga ikut berbela sungkawa. Membacakan doa-doa. Kesedihan terbawa hingga berbulan-bulan.

Usaha untuk memperoleh momongan tetap kuusahakan. Ikhtiar dengan berbagai cara. Pengobatan demi pengobatan. Konsultasi dengan ahli kandungan. On klinik pun kulakukan. Hingga sepuluh tahun usia pernikahan. Rasa gundah gulana, ketika ditanya "Putranya sudah berapa?" Perih, sedih, jika teringat calon anakku yang harus pergi. Kecewa, menyesal, merasa bersalah, tidak terampuni membayangkan perjalanan ke desa saat itu. Membuatku kelelahan, pendarahan, dan keguguran. "Ya Allah, ampuni aku!"

Komunitas pertemanan, persahabatan, reuni keluarga. Tidak lepas dengan pertanyaan seputar keluarga. Banyak anak, umur, kelas berapa. Minder, ingin, dan iri. Iri dengan teman yang sudah punya momongan. Ingin rasanya segera punya anak seperti mereka. "Ya Allah, kapan aku? Ya, Tuhan apakah aku tidak pantas menerima amanah-Mu?"

Sepuluh tahun. Ya, genap sepuluh tahun. Aku dan suamiku mencoba berbagai usaha. Melaksanakan semua saran. Membaca bermacam-macam doa. Syarat, perlengkapan agar segera hamil aku lakukan. Tanpa pantangan. Namun tetap saja tidak membuahkan hasil.

****

Pada titik tertentu. Tibalah, aku dan suamiku merasa lelah. Jenuh berusaha. Hanya pasrah. Kupasrahkan semua pada Allah. Suamiku pun demikian, siap menerimaku apa adanya. Tanpa momongan, jika itu sudah digariskan. Mas Zae siap menerima.

Setahun, bahkan lebih. Aku tanpa usaha. Ikhtiar ke sana dan ke mari. Hanya doa, pasrah. Malam hari. Sepertiga malam terakhir. Waktu sahur, aku dan suamiku berusaha selalu bangun. Untuk munajat. Melaksanakan shalat dua rakaat tahajud. Dua rakaat istikharah, dan tiga rakaat witir.

Alhamdulillah, aku dan suamiku lebih tenang. Semakin mantap. Semakin siap menerima takdir yang digariskan. Oleh Tuhan, oleh Allah SWT. Jamaah shalat lima waktu juga tidak ketinggalan. Berusaha dekat. Selalu dekat dengan-Nya. Berlama-lama di musholla. Bercakap-cakap, membaca firman-Nya.

Setahun yang berisi. Setahun penuh kepasrahan. Satu tahun berkualitas. Menurutku begitu erat dengan-Nya.

****

"Dalam keheningan kumohon pada-Mu, Ya Tuhan. Jika takdir Engkau, aku tidak punya momongan. Aku pasrah. Aku rela. Namun tidak ada sulitnya merubah takdir bagi Engkau. Aku mohon kepada-Mu. Berikan kesempatan. Berikanlah amanah-Mu. Agar semakin banyak pahalaku. Agar semakin lengkap ibadahku. Ya, Allah kupasrahkan semua pada-Mu. Tawakkaltu 'ala llaah, laa hawla walaa quwwata illa billahil 'aliyyil 'adziim."

Tak terasa, air mata menetes dari pelupuk mataku. Hangat, mengalir di kedua pipiku. Kuusap-usap, kukeringkan dengan mukena. Kulihat Mas Zae juga sesenggukan. Apa doa kami sama? Yang dirasakan Mas Zae, samakah sepertiku? Aku tidak berani membuyarkan doanya. Kubiarkan dia curhat pada Tuhan. Biarlah, ditumpahkan semua yang dirasakan.

****

Bangun tidur, Jumat legi, pagi hari. Tiba-tiba perutku mual-mual. Rasanya seperti diaduk-aduk. Semua isi perut, terasa hendak keluar. Kepalaku pening. Harus periksa ke bidan.

Aku meminta Mas Zae segera menyiapkan sepeda motor. Sudah tidak kuat, aku sudah tidak kuat.

Bu Bidan senyam-senyum. Setelah mendiagnosaku. Beliau seakan sangat bahagia, "Ibu hamil, sudah usia tiga minggu." 

"Hah!" Aku terbelalak seakan tidak percaya.

"Apa benar Bu? Ibu tidak keliru diagnosa?" Tanyaku mohon penegasan.

"Apa Ibu tidak senang?" Bu Bidan balik bertanya.

"Ya, sangat senang Bu." Jawabku. Akupun menerima buku KMS (Kartu Menuju Sehat). Selanjutnya menyerahkan sejumlah uang dan berpamitan. "Terima kasih Bu, mohon doanya. Semoga saya sehat wal afiat selalu."

"Amin, jaga kesehatan. Jangan terlalu lelah!" Pesan Bu Bidan.

Aku pun menceritakan kejadian di ruang periksa pada Mas Zae. Dia ikut bahagia. Dan insya Allah, ikut menjaga agar tidak terjadi hal yang tidak diinginkan.

Alhamdulillah pengalaman keguguran pertama, membuat kami lebih berhati-hati. Betul-betul menjaga, agar tidak terjadi hal yang sama. Daripada menyesal di kemudian hari.

****

Waktu berlalu begitu cepat. Anakku sudah lahir laki-laki. Alhamdulillah, keinginan memiliki momongan dikabulkan.  Saat rasa menggebu kuhilangkan. Waktu semua kubuang jauh-jauh. Hanya pasrah. Kuserahkan semuanya pada Allah. Saat aku dan suamiku tawakkal hanya pada-Nya. Teringat satu kalimat dari Biksu Tong Sam Cok. Di film Kera Sakti, pada TV Swasta saat aku anak-anak. "Kosong adalah berisi. Berisi adalah kosong."

#Kang Guru Nyufi.

24 Maret 2019

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun