Mohon tunggu...
Zaenal Muttaqin
Zaenal Muttaqin Mohon Tunggu... Penerjemah - Pencinta kopi dan sejarah

Freelancer

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Kisah Tragis dari Dunia Pendidikan

18 April 2013   19:33 Diperbarui: 24 Juni 2015   14:59 1849
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Apa yang Anda bayangkan ketika mendengar kata "birokrasi"? Pasti tidak jauh dari situasi ribet, sesak, penuh tipu muslihat, dan suap. Berhadapan dengan birokrasi di Indonesia boleh jadi merupakan pengalaman buruk bagi banyak orang. Namun--hal yang tidak pernah terlintas dalam benak saya bahwa--karena birokrasi yang buruk itu pulalah yang tampaknya menjadi sumber masalah bagi dunia pendidikan di Indonesia. Ini adalah kisah nyata dari seorang kawan. Pada sekitar bulan September 2010 Sang Kawan diundang ke Jakarta untuk melakukan review atas draft Kurikulum Nasional yang sedang disiapkan oleh Departemen Pendidikan Nasional. "Wuih, Kurikulum Nasional, bo... Ini bukan tugas main-main", demikian pikir Sang Kawan. Maka dia pun berangkat ke Jakarta dengan harapan besar. Tapi harapan itu segera sirna seiring kenyataan. Pertemuan yang diselenggarakan oleh Pusat Kurikulum (PUSKUR) Diknas itu berlangsung di sebuah hotel di Jakarta, dengan mengundang beberapa reviwer dari berbagai instansi dan perguruan tinggi. Tidak tanggung-tanggung, acaranya hanya berlangsung 1 hari. Benar 1 hari saja! Itu waktu untuk melakukan review atas kurikulum dari tingkat pra-sekolah (PAUD) hingga SMA. Entah acara tersebut hanya 'seremonial' untuk menghabiskan anggaran proyek, team penyusun kurikulum dari PUSKUR tidak semua hadir, apatah lagi tamu undangan. Keajaiban tidak berhenti sampai di situ. Draft Kurikulum Nasional yang hendak direview ternyata hanya disusun selama 2 minggu. Benar, 2 minggu saja! Dan masing-masing tingkatan, mulai dari PAUD, SD, SMP, dan SMA digawangi oleh 2 orang team dari PUSKUR. Benar, 2 orang saja! Selidik punya selidik, Kurikulum Nasional yang hendak digoalkan rupanya berawal dari permintaan Sang Mentri Pendidikan kepada Balitbang PUSKUR, dengan permintaan untuk memasukkan unsur-unsur A, B, C, D dalam kurikulum yang hendak disusun--misalkan saja unsur KKN. Ketua Balitbang PUSKUR lantas membentuk team untuk memenuhi permintaan Sang Mentri. Tapi dengan waktu hanya 2 minggu dan disusun oleh 2 orang per tingkatan, isinya pasti tidak jauh dari copy-paste. Lantas kualitas seperti apa yang bisa diharapkan dari proses perancangan kurikulum seperti ini? Sang Kawan yang pada awalnya datang dengan semangat '45, pada akhirnya harus sabar menghadapi kenyataan. Kurikulum Nasional yang dalam benaknya seharusnya digodok secara serius dan mendalam, ternyata hanya digarap selayaknya proyek ecek-ecek. Bagi kebanyakan orang, terutama yang bekerja di Balitbang PUSKUR, itu hanyalah tugas 'rutin' manakala terjadi pergantian menteri. Pertemuan yang hanya 1 hari dengan cepat berlalu, dan dapat diduga bahwa review yang menyeluruh tidak tercapai. Dengan semangat yang masih tersisa, Sang Kawan menawarkan diri untuk melanjutkan review selepas pertemuan. Untungnya salah seorang dari team penyusun PUSKUR mengingatkan, "Tidak usahlah terlalu serius!" sergahnya. Orang PUSKUR itu melanjutkan, "Kami sudah terbiasa melakukan hal-hal seperti ini dalam waktu singkat. Dan kami sudah sangat sering mengalami apa yang dilaunching Sang Menteri nantinya, berbeda dari apa yang kami susun dan siapkan." Ajaib banget, deh, nasihatnya! Gawat juga kalau Kurikulum Nasional terus-menerus diproduksi oleh birokrasi keblinger kayak begini. Semoga bukan dengan proses seperti ini Kurikulum 2013 dilahirkan. Bila "ya", tidak heran bila makin hari Kurikulum Nasional makin ngawur, wur, wur! [caption id="attachment_238380" align="aligncenter" width="215" caption="Ilmu atau Ijazah*)"][/caption] @Zaenal, Bandung *) Ilustrasi diambil dari fighting2surrender.wordpress.com

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun