Mohon tunggu...
Zaenab Kamil
Zaenab Kamil Mohon Tunggu... -

antique dan berkelas

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Saya Berbahasa Satu

28 April 2012   04:09 Diperbarui: 25 Juni 2015   06:01 52
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saya mengaku berbahasa satu, bahasa nurani

Siapapun anda, yang masih mempunyai nurani, tentu anda merasakan apa yang saya rasakan. Kita sama-sama terlahir di Negara ini. Satu kebangsaan dan harusnya menjadi bangga karena menjadi salah satu mulut yang kenyang dari ratusan juta mulut lainnya yang saat ini merengek minta makan.

Atas nikmat Tuhan dan rejekiNya, saya termasuk sangat beruntung karena bisa makan hari ini.  Tapi apakah dengan makan saya merasa bahagia ?. TIDAK !. Nasi yang saya makan ini hanya menjadi butir-butir air mata, yang berduka atas buruknya nasib sebangsa saya.

Mungkin tidak manusiawi jika saya mengatakan bahwa nasib mereka sangat buruk, orang miskin dan tidak berpendidikan. Tapi haruskah saya mengubah kata itu dengan kata “kurang mampu” ? Memperbaiki kata bukan solusi untuk membuat hidup mereka lebih baik. Sejauh ini mereka hanya diberi label masyarakat kurang mampu. Nyatanya mereka adalah separuh populasi rakyat Indonesia yang menghidupi dirinya dengan segala kemampuan, habis-habisan bekerja, tidak menyerah dengan mudah dan mereka adalah orang-orang yang sangat mampu untuk bertahan hidup. Tapi hasil yang mereka peroleh jauh dari cukup untuk kebutuhan pokok sehari-hari. Apakah mereka “kurang mampu” ?

Dalam konteks pendapatan mereka sangat kurang mampu, tapi dalam segi kehidupan mereka “sangat mampu” berkutat dengan berbagai masalah hidup. Karena mereka di labeli “kurang mampu” mereka berpikir bahwa mereka jauh sangat rendah dari separuh rakyat Indonesia yang “mampu”. Sehingga mereka tidak punya ambisi untuk menjadi lebih. Tepatnya mereka “pasrah”. Contoh,

Seorang ibu, siang malam bekerja sebagai penjual jamu keliling. Laba yang dia peroleh hanya 5000 rupiah dari modalnya. Dengan kata lain, ibu ini hanya berpenghasilan 5000 rupiah sehari. Kemudian pemerintah menaikkan harga bahan-bahan pokok sepihak. Apa yang pendapat mereka ?
“Bu, pendapat ibu tentang kenaikan harga sembako gimana ?”
“ya, mau gimana ya mbak. Saya rakyat kecil ya pasrah saja. Ikut pemerintah saja. Mau harganya diturunin atau dinaikin yaa tetep saja jadi orang susah”
Ataupun cerita Ibu yang tidak bekerja, gaji suaminya tidak seberapa. Tentulah uang itu tidak cukup untuk menyekolahkan anaknya.
“kenapa anak ibu tidak sekolah?”
“ya, mau gimana ya mbak, biayanya mahal”
“kan sekarang biaya sekolah sudah gratis bu”
“tetap saja uang saya ndak cukup beli buku, seragamnya mbak”
“pendidikan buat anak penting loh bu”
“saya juga pengennya anak saya bisa sekolah sampai tinggi, biar hidupnya bisa lebih baik dari saya. Tapi saya sudah pontang-panting, ya hasilnya ndak cukup juga”

Potret diatas ……….

Adalah didikan Negara ini. Mereka dididik untuk menjadi orang-orang yang minder. Dan perlakuan yang telah mereka terima menjadikan mereka tak berani berteriak “Jancuk !” pada penguasa. Seperti anak ayam yang baru disuntik vaksin. Mereka seolah-olah hanya berkutat dengan uang dan uang. Seolah-olah mereka adalah mesin pencetak uang. Inilah bangsaku. Dengan rakyat yang terpaksa tunduk dan menahan lapar. Rakyat yang dipaksa membayar mahal untuk pendidikan dan kesehatan.
Padahal Negeri ini kurang apa ? SDA melimpah ruah berserakan. SDM memadai. Rakyatnya patuh. Dan penguasanya bertitle Profesor semua. Bubur !

Negara ini kurang penghargaan ! Kurang pengertian ! Dan terlalu mengenyampingkan urusan mendasar rakyat. MAKAN.

YA tentu saja, semua kesenjangan ini berawal dari yang senjang. PENGUASA. Terlalu mementingkan kekuasaan. Dan tentu saja mereka adalah orang-orang yang bisa makan.
Penguasa Jancuk !

Harusnya kamu duduk dengan orang-orang yang duduk dipinggir jalan. Duduk bersama orang yang duduk di alun-alun. Duduk bersama orang-orang yang duduk di warung kopi. Bukan duduk bersama orang-orang yang membutuhkan kursi untuk “duduk”.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun