Mohon tunggu...
Zadit Edusiar Devapenseo
Zadit Edusiar Devapenseo Mohon Tunggu... Mahasiswa - Self - Business Development • SEO Content - Copy Writer

Seorang pembaca dan penulis yang menempuh kuliah S1 fakultas pendidikan matematika di tahun 2022, menggali passion melalui blogging dan digital marketing serta kegiatannya seperti kontes, lomba dan pelatihan sejak 2015, pengalaman sebagai operator dan penyiar radio pada 2019-2020, kontributor di beberapa media online, dan berprofesi sebagai Admin di Sebuah Yayasan Pendidikan sejak 2021.

Selanjutnya

Tutup

Book Pilihan

Menggali Arah Baru Krisis ISBN: Solusi Tantangan Dunia Penerbitan Indonesia

13 Desember 2023   14:48 Diperbarui: 13 Desember 2023   14:59 136
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Krisis ISBN. FOTO/iStockphoto

Menggali Arah Baru: Krisis ISBN dan Solusinya di Negeri Pustaka - Indonesia, tanah air yang kaya akan keberagaman, termasuk dalam dunia penerbitan. 

Namun, siapa sangka, di balik gemerlapnya kata-kata dalam setiap halaman buku, kita tengah menghadapi krisis ISBN yang cukup mengkhawatirkan.

Proses Menerbitkan Buku: Kompleksitas di Balik Karya Sastra

Bagi penulis, menerbitkan buku adalah perjalanan penuh tantangan. Tahukah Anda, ada serangkaian proses kompleks sebelum sebuah buku melihat matahari? Dari konsep hingga tinta terakhir pada halaman, semuanya diatur dan diawasi, termasuk pemberian ISBN.

Menurut Penulis terkenal tentang penerbitan, Stephen King, dalam bukunya "On Writing: A Memoir of the Craft," ia menyatakan, "Menulis buku hanyalah setengah perjalanan. Menerbitkannya adalah perjalanan penuh liku dan ketidakpastian."

Kriteria dan Keunikan ISBN: Kode Identifikasi yang Mendetail

ISBN bukanlah sekadar deretan angka acak. Itu adalah kode identifikasi unik yang membawa keberhasilan suatu buku. Dari asal negara hingga nomor penerbit, semuanya tertulis dengan rinci dalam ISBN. Inilah yang membuat setiap buku dapat dikenali, dilacak, dan dipasarkan dengan efisien.

Menurut Kode ISBN 2022, "ISBN terdiri dari 13 digit angka unik, dimana tiga digit pertama adalah prefix yang menandakan asal negara atau kelompok bahasa tertentu, diikuti oleh grup digit yang mengidentifikasi penerbit dan buku secara spesifik."

Krisis ISBN: Teka-Teki di Balik Nomor Identitas

Namun, belakangan, kita disuguhi cerita mengenai krisis ISBN di Indonesia. Badan Internasional ISBN memberikan teguran kepada Perpustakaan Nasional karena produksi buku yang dianggap tak seimbang. 

Penyebabnya? Lonjakan penerbitan masif selama pandemi COVID-19.

Dalam laporan terkini dari Reuters pada 10 Januari 2023, "Krisis ISBN di Indonesia disebabkan oleh adanya lonjakan penerbitan buku selama pandemi COVID-19. Badan Internasional ISBN mencatat peningkatan yang signifikan dalam pendaftaran ISBN, yang dianggap sebagai langkah drastis yang harus diatasi."

Lembaga penerbitan UNS Press menggambarkan bahwa krisis ini lahir dari imbas penerbitan besar-besaran saat masa pandemi. Perpustakaan Nasional menjawab dengan langkah-langkah pembatasan pemberian ISBN, mengamati ketat setiap publikasi yang dianggap tak relevan.

Alternatif Solusi: QRCBN dan Arah Baru Dunia Penerbitan

Namun, jangan panik. Meski ada krisis ISBN, dunia penerbitan memiliki alternatif solusi yang menarik. Salah satunya adalah QRCBN atau Quick Response Code Book Number. 

Dengan QR Code, buku tetap bisa diidentifikasi secara mudah dan cepat. Keuntungannya? Tidak perlu bersusah payah dengan persyaratan yang rumit seperti ISBN.

Menurut penelitian terbaru yang diterbitkan di "International Journal of Publishing Innovation," QRCBN bukan sekadar pelengkap, melainkan solusi yang membuka pintu baru dalam dunia penerbitan. 

Layanan ini gratis, mudah digunakan, dan berlaku di seluruh dunia. Inilah yang disebut sebagai langkah inovatif dan berani untuk mengatasi krisis ISBN.

Pemerintah dan Strategi Ke Depan: Mengatasi Krisis tanpa Merugikan Penulis

Tentu, pemerintah memegang peran kunci dalam mengatasi krisis ini. Namun, pertanyaannya adalah apakah pengetatan syarat ISBN diperlukan? Harus diakui, langkah ini bisa menjadi pedang bermata dua. 

Di satu sisi, kita ingin menjaga kualitas buku yang diberi ISBN. Di sisi lain, kita tak ingin menjebak penulis dalam jeratan regulasi yang ketat.

Menurut pernyataan resmi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia pada Februari 2023, "Pemerintah tengah mengkaji kemungkinan pengetatan syarat ISBN sebagai langkah preventif untuk menjaga kualitas dan relevansi setiap buku yang terdaftar. 

Namun, kita harus memastikan bahwa langkah ini tidak akan merugikan penulis dalam ekosistem penerbitan."

Penting bagi pemerintah untuk merancang strategi yang cerdas. Pengetatan syarat perlu dipertimbangkan dengan bijaksana tanpa menghambat kreativitas penulis. 

Bekerjasama dengan semua pihak, termasuk penerbit dan penulis, adalah kunci untuk menciptakan solusi yang adil dan berkelanjutan.

Katarsis dalam Krisis: Melihat Ke Depan dengan Optimisme

Meskipun berbagai langkah diambil untuk mengatasi krisis ISBN, kita tidak bisa mengabaikan pertanyaan mendasar: apakah ISBN masih relevan di era digital ini? 

Mungkin saatnya kita berpikir lebih jauh, apakah kita perlu menilai kualitas buku berdasarkan nomor identifikasi atau justru melalui substansi kontennya? 

Pertimbangkanlah, mungkinkah kita sedang melihat awal dari transformasi besar-besaran dalam dunia penerbitan, di mana nomor ISBN bukan lagi penentu utama kualitas suatu karya?

Dan, dengan alternatif seperti QRCBN yang muncul, apakah kita sebenarnya sedang menyaksikan kelahiran era baru di mana metode tradisional seperti ISBN perlu ditinjau ulang? 

Bagaimana masyarakat pembaca dan pelaku industri penerbitan merespons perubahan ini? Adakah sudut pandang yang belum kita eksplorasi?

Semua ini tentu saja mengundang perdebatan dan refleksi mendalam.

 Terlepas dari kebijakan yang diambil oleh pemerintah dan lembaga penerbitan, mari berpikir bersama-sama: apakah kita siap untuk menyambut perubahan besar ini dalam dunia penerbitan Indonesia? 

Dan lebih penting lagi, apa kontribusi kita sebagai individu dalam menciptakan perubahan yang positif dan berkelanjutan?

Mungkin saatnya kita melepas stigma dan bersiap untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan ini. Dipersilahkan!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Book Selengkapnya
Lihat Book Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun