Mohon tunggu...
zabidi zay lawanglangit
zabidi zay lawanglangit Mohon Tunggu... -

director & writer

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Mona

29 Januari 2015   18:15 Diperbarui: 17 Juni 2015   12:09 110
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Segelas Juice Orange dan sepotong roti isi coklat keju terayun miring mengikuti gerak papan penyangga meja yang terlipat kembali, tangannya cepat bereaksi “ups, berhasil”. Jemari tangan telah menopang papan penyangga meja itu menjadi rata kembali, berbarengan dengan suara kaget dari mulut perempuan yang tak cukup sigap menyelamatkan menu paginya. Dia masih mendengar nafas lega saat menarik kembali punggung tangan sambil melirik seraut wajah yang berangsur pulih dari rasa kaget. “Terimakasih” ucapnya lembut, dengan sebaris senyum dan mata yang berbinar. Wow seperti ribuan galon air tercurah ke padang gersang. Sekali lagi ditolehkan wajah sambil berucap “kembali”. Dan seperti hanya mengikuti gerak naluri tangannya kembali terjulur yang segera disambut dengan uluran tangan dari jemari yang lentik, “Mona” katanya, “Ray” balasnya. Ia merasakan betapa lembut telapak tangan itu.

Diluruskannya posisi duduk dengan mengencangkan kembali sabuk pengaman yang kendor karena upayanya menyelamatkan seporsi sarapan pagi seorang gadis. Segelas Juice Orange yang nyaris melelehi gaun putihnya. Matanya sudah terhenyak saat sekilas merengkuh wajah menawan yang telah menarik perhatiannya sejak check in di bandara Ngurah Rai - Bali. Gadis itu hanya membawa sebuah tas punggung dan tas tenteng hitam berisi laptop. Sementara lelaki bernama Ray mesti mengurus barang-barang ke bagasi yang memakan usianya beberapa menit. Saat semuanya beres gadis itu sudah tak nampak disepanjang koridor yang menuju ruang tunggu. Matanya tak henti mencari. “Sial, padahal ia tadi berdiri persis didepanku” gerutunya.

Tapi siapa menduga bahwa ternyata sekarang gadis itu duduk disebelahnya. Dan ia mendapatkan momen untuk berkenalan dengannya. Paling tidak ia telah tahun namanya Mona ya Mona. Nama yang mudah diingat apalagi kalau dikaitkan dengan Monalisa. Lukisan karya Leonardo da Vinchi yang kesohor itu. Figure setengah badan seorang perempuan dengan ekspresi senyumnya. Tapi benarkah Monalisa seorang perempuan? Konon kata para ahli lukisan, Monalisa adalah karekter ambigu antara laki-laki dan perempuan. Dan menjadi lebih kuat lagi pendapat para ahli itu karena nama Monalisa adalah gabungan dari kata AMON dan L’ISA keduanya adalah nama dewa dan dewi kesuburan bangsa Mesir. Apakah pendapat ini benar, entahlah! Yang pasti Mona tidaklah berbadan subur seperti Monalisa dalam lukisan itu. Mona mungkin representasi standar kecantikan gadis-gadis metropolis seperti dalam tayangan iklan saat ini. Langsing, berkulit putih, berambut hitam, dengan wajah oval, mata yang bening, bibir merah basah merekah dan alis mata melengkung tebal. Amboi.

Pesawat Boeing 747-320 dengan no. penerbangan GA 925 masih terbang diatas permukaan awan yang cerah. Mata Ray sejenak memandang keluar jendela kaca. Awan-awan putih berarak di langit yang tampak biru. Tapi keindahan pagi itu tentu saja tak terlalu menyita perhatiannya. Karena ada seseorang yang kini ada disebelahnya. Otaknya bekerja, bagaimana membuka percakapan dengannya.

Melirik sebentar, tampak gadis itu meletakkan koran pagi yang rupanya sudah usai dibacanya.

“Mau baca majalah?” spontan lelaki itu mendapat ide menawarinya dengan majalah yang sedari tadi ada dipangkuan. “Terima kasih” katanya sambil mengulurkan tangan menerima. Awal yang baik untuk membuka percakapan.

“Mau pulang ke Jakarta ya?”

“Ngga sih, ngabisin cuti ketemu temen-temen lama di Jakarta”

“Ooo, terus kerja di mana?”

“Konsultan perusahaan tambang di Singapura, Bang Ray sendiri?”

“Aku kebetulan dipercaya jadi director di beberapa rumah produksi film komersial”

“Asyik dong bikin-bikin iklan” katanya sembari membuka lembar majalah

“Ya begitulah, asyik tapi kadang melelahkan juga”

Gadis itu masih asyik membolak-balik halaman majalah. Mata Ray kembali menyapu hidung, dagu, bibir, mata dan alis yang indah. Wajahnya tiba-tiba lekat dalam memori otaknya. Ray menolehkan wajah kembali kejendela. Awan-awan putih masih berarakan. Dibakar cahaya matahari yang tampak semakin tinggi.

Terjadi perdebatan di hati lelaki itu

“Ayo cepat tanya nomer Hp nya?”

“Ah, itu bukan lagi caraku”.

“kamu jangan sombong, dia pasti akan dengan senang hati memberikan nomornya”

“Tidak, kadang-kadang aku demikian menikmati ini. Aku hanya ingin memberikan kesan yang lain terhadapnya”.

“Jangan nyesel dibelakang, kalau tak lagi bisa kontak-kontakan”

“Ya, Itu berarti bukan jodoh”

“Bagaimana mungkin bisa tahu jodoh atau ngga, kalau tak ada usaha“

“Sudah kubilang aku tak mau”

“Kenapa?”

“Karena dia akan berfikir, aku sama saja dengan setiap lelaki. Ketemu cewek, tertarik, kenalan lalu minta nomer Hp.”

“Itu tradisi sebuah perkenalan, atau kau bisa kasih ia kartu nama dan minta kartu namanya”

“Ngga ah, basi”

Perdebatan terhenti, terdengar dari dalam kabin pemberitahuan dari awak pesawat.

“Para penumpang pesawat Boeng 215 tujuan Denpasar - Jakarta, lima belas menit lagi pesawat akan mendarat di Bandara Sukarno Hatta, silahkan pakai sabuk pengaman Anda”

“Oh my God, baru kali ini aku merasakan penerbangan dua jam kulalui secepat ini” gumam lelaki itu.

Diperiksanya kembali sabuk pengaman yang sebenarnya masih terikat kencang. Lalu sejenak menoleh saat terdengar suara panggilan. Seraut senyum menawan merekah dari wajah rupawan. “Bang Ray, terimakasih majalahnya” katanya sambil mengulurkan tangan. Sejenak Ray menatap lagi wajah gadis itu, ada desir mengalir menuju ubun-ubun.

“Nah, sekarang cepat tanyakan nomer HP nya, jangan berlagak”

Hampir saja mulut lelaki itu mengucapkan tanya, tapi kembali ditahannya

“ Ah, tidak. Berapa kali aku mengenal perempuan. Bertemu, kenalan, tukeran nomor HP, mengucapkan cinta, kencan tapi akhirnya bubaran, kau juga tahu khan?”

“Lantas?”

“ Kali ini aku akan mencoba dengan cara lain. Aku ingin serius menjalin hubungan dengan seseorang. Aku tidak lagi sedang bermain-main. Aku akan berdoa dengan sepenuh keyakinan “Tuhan kalau ia memang jodohku, suatu saat pertemukan aku dengannya”

“Kau berubah sekarang, bukan lagi pecundang..ha..haa”

Pesawat mendarat mulus di Bandara Soekarno Hatta, Jakarta. Perasaannya gamang, ada sesuatu yang perlahan-lahan menghilang. Kegembiraan yang mengental selama beberapa jam seperti cair. Layaknya bongkahan es yang tercampak di padang pasir. Atau cahaya matahari senja yang merayap pulang direngkuh cakrawala.

“Sampai ketemu Bang Ray” pamit Gadis itu sambil bangkit dari kursi dan beranjak jalan.

“Ya..ya…sampai ketemu”

Tampak gadis itu melangkah menuju pintu depan pesawat, menuruni anak tangga. Satu dua detik ekor matanya masih sempat menangkap punggungnya yang melangkah turun.

Tangannya bergegas mengambil barang-barang, dua tas ransel dan satu koper. Dua ransel di punggung dan tangan kanan meninting koper. Lelaki itu melangkah menuju pintu depan. Mencoba dengan langkah cepat seperti memburu sesuatu. Sementara Mona telah hilang ditelan lalu lalang orang.

Ada beberapa barang lagi yang mesti ditunggu dari bagasi. Kakinya terasa lemas. Direbahkan pantatnya diatas papan troly. Bayangan wajah Mona melingkar-lingkar di kepala. Semakin terasa menyesakkan dada. Iseng-iseng dibukanya majalah yang sedari tadi ditenteng ditangan kiri seperti tengah mengharapkan sesuatu.

“Ha..ha..ha…, kau pasti mengharap dalam majalah itu terselip kartu namanya atau mungkin semacam tulisan tangan deretan angka nomer telepon” ledek Bayu temannya

Ray terkesiap oleh komentar temannya yang tiba-tiba, setelah ia mencoba membagi perasaannya dengan kedua temannya.

“kau takkan pernah mengerti” sambung Ray pelan.

Aku menangkap setangkup getir yang tengah dicoba ditahannya.

Malam itu di sebuah ruang tunggu Rumah Produksi, Ray menceritakan semua perjalanannya tempo hari kepada kami. Kita bertiga berkumpul saat jeda menunggu proses offline sebuah film komersial. Aku dan Bayu telah lama mengenal Ray. Dan malam itu untuk pertama kalinya kami merasa ada yang berubah di diri Ray. Ia bukan Ray yang dulu.

“Aku tahu kau sedang berusaha serius menjalin hubungan dengan seseorang yang menarik perhatianmu, tapi apakah caramu itu cukup adil?” tanyaku mencoba mencari tahu dan mengusir rasa penasaran.

“Malam setelah pertemuanku dengannya aku tak bisa tidur, timbul pertanyaan-pertanyaan tentang sikapku yang tak lazim. Tapi aku akhirnya tak menyesali itu semua” jawab Ray.

Sekali lagi kuperhatikan wajahnya. Sepertinya tak ada gurat-gurat penyesalan.

“Dia masih di Jakarta kan?”

“Ya, katanya dia akan menghabiskan sisa waktu di Jakarta bersama teman-temannya,

kadang aku berharap di suatu tempat aku akan bertemu dengannya”

‘Bagaimana bisa ketemu, kita tak punya sesuatupun untuk jadi petunjuk. Apa kita mesti kelilingi seluruh café di Jakarta!, busyet deh” Bayu kembali melempar ledekannya.

Kami tertawa bersama.

Dan di pintu lift saat aku bersama Ray berjalan pulang menuju tempat parkir, dia sempat berucap. “Sampai detik ini aku masih meyakini apa yang ada di hatiku, dan keyakinan yang teguh ini akan membawa langkahku padanya”

Aku hanya mengangguk. Dilangit bulan benderang dan angin semilir berhembus. Seperti tengah mencatatkan pesan Ray pada seseorang.

Bekasi, januari 2015

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun