Secara umum, persiapan puasa meliputi dua hal. Pertama fisik. Ini ada hubungan dengan makanan yang di konsumsi. Baik saat buka puasa maupun sahur. Pendapat pakar kesehatan dan dokter sudah banyak mengulas tentang itu.
Kedua, persiapan ruhani. Khusus yang ini, nampaknya lebih berat dibanding yang pertama. Berat karena tak ada hubungan dengan rasa kenyang. Tapi terkait kemampuan kita dalam mengelola hati.
Bicara tentang ruhani, pastilah harus melirik soal hati. Sebuah organ tubuh yang menurut hadits dapat memberi pengaruh sangat besar terhadap kondisi fisik seorang muslim. Pengaruhnya bahkan amat sangat vital.
Sabda Rosulullah SAW, "Didalam tubuh manusia ada segumpal daging. Kalau baik, maka baiklah seluruh tubuh manusia. Tapi kalau rusak, niscaya rusak pula seluruh tubuh manusia. Segumpal daging itu bernama hati". (HR. Bukhari Muslim).
Sementara itu, sudah banyak ahli agama yang menyatakan bahwa puasa merupakan ibadah sosial. Bukan hanya bicara tentang diri sendiri. Namun juga harus melihat realitas sosial dimana kita hidup.
Ambil contoh gampang dalam sebuah komunitas. Baik yang berbentuk paguyugan, panitia sebuah kegiatan, oganisasi formal, kelompok pengajian, majelis taklim dsb. Anda tahu, relasi antar anggota dalam ragam paguyuban itu tidak selalu mulus bagai jalan tol.
Pasti terdapat kendala. Yang lalu berujung pada timbulnya masalah. Bahkan pada satu kondsi, dapat membawa kerusakan. Bisa organisasinya yang bubar, atau antar anggotanya bertengkar.
Apa faktor hingga muncul hal negatif demikian..? Yang sering jadi penyebab adalah tingkah polah satu atau beberapa orang diantara beberapa anggota. Ya benar. Terdapat anggota komunitas yang kadang jadi "penyakit".
Mungkin karena merasa kurang puas atau ada motivasi lain, ada-ada saja kelakuannya. Entah fitnah, protes tak berkesudahan, meracuni anggota lain dengan opini negatif dan perbuatan-perbuatan merusak lain.
Bagaimana menghadapi kelakuan yang seperti itu..? Mau tidak mau, kita mesti menerimanya. Bahkan harus dengan rasa ikhlas dan legowo. Mengapa, karena itu semua merupakan pemberian Allah.
Sekedar diketahui, Allah memiliki cara tersendiri dalam mengatur siklus kehidupan dimuka bumi. Dimana cara itu kadang dianggap negatif oleh manusia sebagai penghuni. Padahal sejatinya itu baik. Karena tak paham, justru malah berpikiran jelek.
Ambil contoh apa yang terjadi pada satu komunitas sebagaimana saya gambarkan tadi. Bagaimana sebenarnya..? Hadirnya seorang anggota yang jadi penyakit hakikatnya merupakan alarm bagi pengurus atau anggota yang lain.
Alarm jenis apa..? Jenis kekuatan dan kewenangan. Bahwa mengelola dan hidup dilingkungan sebuah komunitas tak cukup kalau cuma mengandalkan diri sendiri. Ada kekuatan Maha dahsyat diluar sana yang jauh melampaui potensi manusia.
Iya benar memang, kita sudah berusaha menjaga hubungan. Bahkan demi menghindari konflik selalu mengalah. Tapi apa nyana, tetap saja "penyakit" seperti saya singgung diatas masih saja datang menghinggap.
Yang perlu dipikirkan selanjutnya adalah tentang bagaimana menyikapi perbuatan orang lain yang menjadi penyakit tersebut. Kalau saya pribadi, pilih non reaktif. Bahkan pada tingkatan tertentu saya justru bersyukur.
Bagi saya, penyikapan demikian lebih baik, dibanding mempersoalkannya. Dengan bersyukur, hati jadi lebih tenang dan hidup tambah damai. Tak terusik sedikitpun. Meskipun "penyakit" itu datang mendekat.
Lantas apanya yang patut di syukuri..? Bukankah sebuah penyakit tergolong sebagai realitas buruk..? Dan yang namanya realitas buruk kan harusnya menjadi sebuah keluh kesah..? Lha kok malah di syukuri..?
Jawaban saya, yang patut di syukuri adalah kita bukan menjadi bagian, atau merupakan kelompok yang tergabung sebagai penyebab tersebarnya "penyakit". Gampangnya, kita bersyukur oleh sebab bukan kitalah sumber "penyakit" itu.
Dengan cara bersyukur, kita ada di posisi bukan sebagai perusak. Menjadi peredam, malah iya. Ibarat kebakaran kita sebagai air, bukan minyak. Yang kalau disiramkan ke tengah kobaran, bisa membuat api padam.
Selanjutnya, andai kita yang kena penyakit, dengan kata lain kitalah yang di fitnah misalnya, bersyukurnya harus di panjatkan berkali-kali lipat banyaknya. Kalau perlu, kasih hadiah buat yang memfitnah.
Mengapa begitu..? Karena fitnah tersebut ibarat anugerah yang diberikan oleh Allah secara gratis. Dimana anugerah itu berupa tambahan pahala dan terhapusnya dosa yang melekat di tubuh kita.
Sekedar anda tahu, pada kasus diatas syariat mengatur ketentuan imbal balik. Bahwa bila kita kena fitnah, meski kita tak berucap istighfar alias cuma duduk ongkang-ongkang kaki, dosa kita akan pindah kepada yang memfitnah. Dan sebaliknya, pahala yang memfitnah akan dipindah buat kita.
Maka kalau pada suatu hari, terlebih saat kita sedang berpuasa, ada orang yang julid pada kita, tanggapannya cuma satu. Super gampang, amat mudah dan murah. Apa itu..? Ucapkan saja syukur alhamdulilah.
Bagaimana pembaca sekalian. Terutama anda yang seorang muslim dan saat ini menjalankan puasa. Sanggup tidak menata hati untuk legowo menerima fitnahan dari orang lain.., sebagai persiapan memasuki bulan ramadhan kali ini.? Saya doakan, semoga anda sanggup. Amiinn..
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H