Sebagai warga negara, masyarakat diberi kebebasan oleh pemerintah untuk berserikat dan berorganisasi. Regulasi yang menguatkan tentang hal ini misal sebagaimana tertara dalam Pasal 28 dan 28E UUD 1945.
Iplikasinya, masyarakat punya kewenangan membentuk komunitas. Apapun nama, bentuk dan tujuannya. Maka tak heran, di pelbagai wilayah berdiri beberapa organisasi masyarakat.
Secara internal, tentu organisasi masyarakat tersebut punya independensi. Berlaku hanya kedalam. Juga memiliki usaha untuk memenuhi segala macam kebutuhan anggota. Sehingga tidak lagi tergantung kepada pihak lain yang ada di luar sana.
Hal semacam tersebut, termasuk kecenderungan yang terjadi terhadap beberapa kluster hunian dalam beberapa tahun belakangan ini. Maka dari situlah lahir konsep Kota Mandiri.
Yaitu sebuah kawasan perumahan yang memiliki ragam fasilitas pendukung. Meskipun tidak fokus pada bidang tertentu, tapi pada umumnya fasilitas yang ada hubungan dengan keperluan sehari-hari. Terutama pangan dan sandang.
Berikutnya juga mengarah pada upaya pemenuhan akan pendidikan, kesehatan dan tempat ibadah. Bahkan kini merambah dunia profesi. Penghuni yang akan bekerja, tak perlu keluar kompleks. Cukup jalan kaki 5-10 menit dari rumah, sudah sampai di kantor.
Dari segi independensi, konsep Kota Mandiri sebenarnya tidak jauh berbeda dibanding kluster perumahan lain yang belum mendapat predikat Kota Mandiri. Sama-sama punya otoritas mengatur wilayah internal.
Hanya saja, dan ini juga merupakan perbedaan keduanya, Kota Mandiri punya cakupan lebih luas. Di Kota Mandiri segalanya ada. Tapi untuk kluster biasa, masih memerlukan pihak lain.
Selama ini, pembahasan tentang konsep Kota Mandiri cenderung fokus hanya pada hal-hal yang bersifat "fisik". Ya seperti gambaran diatas tadi. Tentang fasilitas pangan, papan, sandang, pendidikan, kesehatan dan sejenisnya.
Padahal, komponen tentang tata tertib yang mengatur perilaku para penghuni sebenarnya tak kalah penting untuk dijadikan bahan diskusi. Ingat, selengkap apapun fasilitas, kalau tidak diimbangi perilaku pada akhirnya akan menjadi tidak baik-baik saja.
Tentu yang dimaksud tata tertib diatas adalah yang berlaku secara internal di kluster Kota Mandiri. Mengikat anggota penghuni yang tinggal didalamnya, namun tak berlaku terhadap wilayah lain.
Dalam konteks itulah saya punya pengalaman menarik mengorganisir sebuah kluster perumahan. Terutama yang ada hubungan dengan penegakan aturan. Dimana ikatannya cuma berlaku di internal kompleks saya. Dan tidak diluar kluster.
Sekedar info, kebetulan saya tinggal di sebuah Kompleks Perumahan. Dan secara kebetulan pula, saya dipilih oleh warga penghuni untuk duduk di posisi Ketua Paguyuban Kompleks.
Pengalaman saya, amat terasa sekali punya otoritas kuat memegang kendali terhadap seluk beluk kehidupan didalam kompleks. Tentu yang dimaksud mengatur adalah kendali yang sesuai dengan tata tertib yang sudah disepakati bersama.
Isi tata tertib meliputi kewajiban dan hak. Kewajiban ada hubungan dengan ketentuan yang harus dipenuhi atau dilaksanakan oleh warga penghuni. Misal bayar iuran bulanan guna kebutuhan operasional kompleks.
Adapun tentang hak, merupakan fasilitas yang akan diterima penghuni setelah lebih dulu memenuhi kewajiban. Salah satu diantara hak ini ialah warga menerima pelayanan maksimal dari pengurus.
Beberapa waktu lalu, di kompleks perumahan yang saya pimpin lahir ketentuan baru tentang iuran penghuni. Melalui rapat pegurus bersama warga, di ambil keputusan bahwa iuran untuk rumah yang dijadikan kantor naik sebanyak 300 persen.
Alasannya, karena personil yang beraktifitas di dalamnya lebih banyak dibanding penghuni rumah tangga. Jumlahnya bahkan bisa 4 kali lipat. Akibatnya, layanan yang harus diberikan oleh pengurus buat penghuni kantor juga lebih berat.
Untuk ukuran sekelas badan usaha, naik 300 persen sebenarnya masih dalam batas jangkauan. Bayangkan, berapa keuntungan yang didapat setiap bulan. Sementara kenaikan iuran cuma seukuran sekali makan di restoran.
Beberapa badan usaha yang ada di kompleks tidak keberatan. Bahkan mendukung kenaikan 300 persen tersebut. Disamping masih dalam batas wajar, juga dapat menambah honor satpam.
Namun ada satu badan usaha yang menolak. Alasannya, sebagai sesama penghuni komplerks mestinya besar iuran juga sama dengan besaran yang ditarik kepada pemilik yang masuk kategori rumah tangga.
Sebagai Ketua Paguyuban, tentu dibantu jajaran pengurus lain, saya bereaksi terhadap penolakan tersebut. Terlebih, yang bersangkutan juga diundang rapat saat bicara soal kenaikan. Mengapa tidak usul waktu itu. Kok ngeyelnya setelah keluar putusan.
Sementara itu, disamping ada kewajiban bayar iuran, penghuni perumahan di kompleks saya juga mendapatkan hak. Diantara hak ini adalah menerima pelayanan buang sampah dan pembukaan portal jaga oleh petugas di pos satpam pintu masuk kompleks.
Maka karena badan usaha yang saya maksud diatas tadi enggan bayar kenaikan iuran, secara tegas petugas sampah dan penjaga portal saya larang memberi layanan kepada yang bersangkutan.
Soal larangan membuang sampah rupanya masih bisa diatasi. Terlihat staf kantor tersebut bergantian buang sampah sendiri keluar kompleks. Namun ketika harus keluar masuk kompleks, disinilah masalah buat mereka datang mendera.
Karena ada instruksi dari saya atas nama pengurus, saat mau masuk atau keluar kompleks satpam tidak membuka portal. Mereka kesulitan. Yang diluar tidak bisa masuk. Dan yang didalam tidak bisa keluar. Otot-ototan terjadi.
Akhirnya, menejer badan usaha dimaksud datang ke saya. Dia protes. Karena sebagai penghuni tidak bisa mengakses keluar masuk kompleks. Mengakibatkan kegiatan badan usaha jadi terganggu.
Saya sampaikan alasan mengapa sampai demikian. Yaitu karena mereka enggan bayar kenaikan iuran, jadinya tidak mendapat layanan buka tutup pintu portal. Mereka tak bisa menyanggah alasan saya.
Kabar terakhir yang sama terima, badan usaha itu katanya hendak pindah lokasi ngontrak di perumahan lain. Ya biarkan saja. Lebih baik begitu, daripada menjadi "penyakit" di dalam kompleks.
Tapi bukan soal itu yang hendak saya tampilkan dalam tulisan ini. Sehubungan dengan Topik Pilihan tentang Kota Mandiri kali ini, ada satu pelajaran yang bisa kita petik. Yaitu tentang otoritas kewenangan yang dimiliki oleh pengelola.
Sebagaimana gambaran saya, pengelola Kota Mandiri tentu punya otoritas kuat untuk mengatur seluk beluk internal kompleks. Bisa saja, mereka akan bersikap tegas andai ada penghuni yang dipandang tidak taat aturan.
Naah, di sinilah kuncinya. Jangan sampai ketegasan itu mengarah pada sikap otoriter, di bidang apapun. Jika benar begitu, maka negara wajib intervensi terhadap pelbagai aturan yang berlaku di Kota Mandiri. Meskipun secara internal pengelola punya hak.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H