Bisa saja suara mereka pecah. Yang mengakibatkan kekuatan presiden di parlemen berkurang drastis. Dan endingnya, ketika Jokowi punya kepentingan politis akan ditolak mentah-mentah.
Tapi dalam soal revisi UU Pilkada ternyata tidak begitu. Bahkan partai Nasdem, yang beberapa waktu lalu sempat menyatakan penolakan, ikut pula dalam barisan kelompok setuju yang di ketok oleh Ketua DPR RI Puan Maharani tersebut.
Hal itu menunjukkan bahwa, menggeser jadwal coblosan pilkada ternyata adalah kepentingan bersama. Baik eksekutif yang di komandani oleh Jokowi, maupun legislatif yang terdiri dari beberapa fraksi dari parpol.
Khusus parpol, apa kepentingan mereka memajukan jadwal selain agar tidak terjadi kekosongan pemerintahan di daerah.? Pendapat saya mungkin untuk kelestarian dan stabilitas keterpilihan para incumbent yang dimiliki masing-masing parpol.
Maklum kan, saat ini terdapat beberapa kepala daerah yang terpaksa mengakhiri masa jabatan jauh sebelum gelaran pilkada. Padahal sebelum ada aturan baru, SK-nya habis pasca pilkada.
Tidak menjadi kepala daerah, bisa diartikan bukan lagi seorang “selebritis”. Yang kenana-mana senantiasa di kerubuti banyak orang. Bukan lagi selebritis, sama halnya menurunkan pamor secara perlahan-lahan.
Akibatnya, tingkat keterkenalan atau poplaritas para kepala daerah yang lengser itu juga menurun. Kalau diterus-teruskan, lama-lama berimbas terhadap tingkat keterpilihan atau elektabilitas.
Mengapa, ya karena orang sudah pada lupa. Saking lamanya tidak muncul ke publik. Betul bisa diupayakan lewat cara endorsmen pribadi. Tapi kan mahal. Darimana uangnya., apa harus jual warisan orang tua..?.
Dulu saat menjabat, soal biaya muncul ke publik bukan halangan. Karena ada fasilitas negara. Saat lengser, ya tidak mungkin lagi. Maka mempercepat gelaran pilkada, bisa sedikit menolong tingkat keterkenalan dan keterpilihan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H