Soal nomor urut, ada yang memandang biasa-biasa saja. Tak ada pengaruh terhadap kemenangan. Namun ada pula yang melihatnya secara mistik. Bahwa nomor urut jadi penentu sukses tidaknya seorang kandidat.
Lepas dari soal polemik itu, faktor kemenangan di ajang pemilu baik pileg maupun pilpres, saya lihat setidaknya karena empat faktor. Keempatnya bisa kasih pengaruh secara bersama-sama. Atau bisa juga hanya salah satu.
Pertama kualitas. Ini terkait kemampuan kandidat. Baik yang ada hubungan dengan performance pribadi. Maupun kecakapannya dalam meramu strategi. Memiliki kualitas baik, membuka peluang besar terpilih jadi pemenang.
Kedua koneksi atau jaringan. Berhubungan dengan banyaknya kawan yang dimiliki seorang kandidat. Kawan dimaksud bisa masyarakat kebanyakan, terlebih seorang tokoh. Kalau didaerah saya adalah tokoh agama macam kyai.
Ketiga kemampuan finansiil. Entah untuk bagi-bagi amplop saat hari pencoblosan atau buat keperluan lain, tak tahulah saya. Yang pasti, seorang kandidat wajib punya uang. Minimal sebagai biaya pasang banner, sebar alat peraga, transport tim sukses dsb.
Keempat faktor keberuntungan. Nah, kalau soal ini tak dapat dijelaskan secara rasional. Sebab butuh terawangan indra keenam. Dan mungkin pada konteks itulah, nomor urut lalu di mistifikasi sebagai penentu kemenangan seorang kandidat.
Hanya saja, fakta dilapangan kadang terjadi. Pengalaman di daerah saya dan mungkin juga di wilayah lain, ada caleg partai tertentu yang dilantik jadi anggota legislatif cuma bermodalkan suara ratusan.
Padahal standardnya harus mencapai ribuan. Mengapa bisa begitu..? Karena caleg jadi yang nangkring di ranking pertama meninggal dunia. Maka mau tak mau, sesuai regulasi yang ditetapkan KPU, harus dilaksanakan PAW.
Apakah proses macam PAW demikian karena faktor keberuntungan nomor urut..? Wallahua'lam. Tentu yang layak memberikan kajian adalah seorang paranormal. Kalau saya, tak punya kapasitas.
Cuma kalau ditanya lebih jauh, apakah nomor urut, termasuk yang sudah ditetapkan pada tiga kandidat capres cawapres kemarin, memberi pengaruh signifikan atau tidak terhadap kesuksesan seorang kandidat, jawabannya bisa iya.
Namun bisa pula tidak. Buat memastikannya, perlu dilihat lebih dulu dari segi jumlah atau banyaknya kontestan yang ikut gelaran pemilu. Juga jenis kelompok para pemilik suara.
Pengamatan saya, nomor urut bisa kasih pengaruh kalau peserta yang bertarung jumlahnya banyak. Minimal empat, maksimal tak terhitung. Tapi, makin banyak jumlah peserta, tambah besar pengaruh nomor urut.
Lalu ada di nomor urut berapa yang punya nilai strategis, hingga mampu membawa kemenangan bagi seorang kandidat..? Apakah yang ada di urut rendah atau tinggi..? Naaah, fenomena ini yang asyik untuk dibahas.
Biasanya, sebuah kontestasi yang di ikuti oleh peserta dalam jumlah besar adalah gelaran jenis pileg. Baik untuk tingkat nasional, yaitu DPD dan DPR RI. Maupun di tingkat daerah seperti DPRD Kabupaten dan Provinsi.
Jumlah kontestan DPD bahkan bisa mencapai angka puluhan orang. Sementara untuk DPR RI, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten lebih sedikit. Berdasar ketentuan tiap daerah pemilihan, maksimal antara 7 sampai 9 kandidat.
Anda tahu, di ajang gelaran pileg keberadaan nomor urut sangat-sangat penting. Bahkan ketika masih menggunakan sistem proporsional tertutup, nomor urut sampai harus diperjuangkan mati-matian. Disitu, yang jadi rebutan adalah angka kecil. Makin kecil, tambah strategis nilainya.
Soal hingga sampai angka ke berapa, tergantung kondisi. Pengalaman didaerah saya saat proporsional tertutup, nomor urut yang jadi rebutan caleg PKB, adalah dari angka 1 s/d 28. Mengapa, karena hasil suara PKB mencapai hingga 28 kursi. Jadi, ada di urut 1-28 merupakan nomor strategis.
Situasi berbeda ketika pileg berubah ke sistem proporsional terbuka. Nomor urut lalu bukan prioritas utama para caleg. Mengapa, karena jadi tidaknya seorang kandidat masuk gedung parlemen, tidak di ukur dari angka terkecil. Melainkan suara terbanyak.
Namun bukan berarti nomor urut tak penting. Tetap jadi rebutan, cuma khusus di nomor urut paling atas atau 1. Juga yang ada di urut paling bawah. Disini angkanya tergantung jumlah caleg. Kalau 7 orang, berarti yang direbut angka 7. Demikian seterusnya.
Mengapa nomor urut paling atas atau paling bawah tetap bernilai strategis hingga jadi rebutan, meskipun caleg jadi ditentukan oleh hasil suara terbanyak..? Tak lain tak bukan, karena ada kaitan dengan kemudahan menemukan nomor dan nama caleg di kertas suara.
Ya benar. Mencari nomor dan nama caleg pasti lebih gampang, kalau pandangan kita langsung konsentrasi ke daftar caleg paling atas atau paling bawah. Jika ada ditengah, masih butuh upaya ekstra memplototi kertas suara.
Proses demikian, terlebih bagi para pemilih yang masuk kategori “ada kelemahan”. Yaitu para sesepuh yang pandangannya sudah berkurang. Apalagi yang buta huruf. Mencari nomor urut dan nama ditengah-tengah, adalah sebuah perjuangan berat.
Buat yang masuk ketegori pemilih cerdas, nomor urut bukan masalah. Tapi tetap saja, mencari nomor dan nama caleg yang ada di urut paling atas atau bawah sekalian, pasti lebih mudah ketimbang yang ada di tengah.
Sekarang bagaimana dengan kontestasi pemilu yang jumlah pesertanya tergolong kecil..? Yang masuk kriteria ini adalah pemilu kada, pilpres dan pilkades yang di ikuti oleh maksimal cuma tiga kandidat. Kalau sampai empat atau lebih, sudah tergolong jumlah peserta banyak.
Sebagai ilustrasi, mari kita ambil contoh pilpres 2024 yang bakal digelar sekitar dua bulan lagi. Dimana pesertanya terdiri dari Anies-Muhaimin atau Amin nomor urut 1, Prabowo-Gibran disingkat PSG 2 dan Ganjar-Mahfud alias Gama 3.
Diantara ketiganya, siapakah kandidat yang punya nomor urut paling strategis..? Dalam pandangan saya, semuanya strategis. Dengan nomor urut masing-masing, sama-sama memiliki kesempatan untuk menang.
Masalahnya cuma di taktik. Siapa yang lebih cerdik dan mampu memaksimalkan peluang, maka dialah yang akan jadi pemenang. Untuk kemudian dilantik sebagai pengganti pasangan Jokowi-Makruf.
Mengapa nomor urut pasangan-pasangan tersebut saya simpulkan sama-sama bernilai strategis..? Ya karena dalam kondisi cuma tiga kandidat. Dimana setiap nomor urut baik 1, 2 dan 3, sangat mudah untuk dicari.
Jurkan atau Tim Sukses yang melakukan branding ketika lampanye, tinggal mengarahkan pemilih sesuai nomor yang dimiliki masing-masing. Yang dari Amin cukup bilang, coblos “Paling Kiri”, PSG “Tengah-tengah” dan Gama “Paling Kanan”.
Model kampanya demikian, juga tak akan membawa kesulitan buat para pemilih yang masuk kategori “ada kelemahan”. Sebaliknya, malah lebih mudah bagi mereka. Sebab pedoman mencoblosnya semata melihat posisi di kertas suara.
Akan lebih mudah lagi, terutama bagi para pemilih yang tergolong cerdas. Untuk yang ini, jangankan cuma dua atau tiga peserta. Berjumlah belasanpun, bukan sebuah halangan memberikan suara terhadap kandidat incaran.
Nilai strategis nomor urut 2 dan 3 bisa berkurang kadarnya, andai jumlah kandidat capres cawapres yang akan tarung di pilpres 2024 menjadi lima. Disamping tiga peserta di atas, masih ketambahan 4 tokoh penulis senior Kompasiana misalnya.
Mereka adalah pasangan FEFE, yang terdiri dari capres Felix Tani dan cawapres Efwe. Ditambah ada pasangan AA, yang merupakan kolaborasi antara capres AKIHensa dan cawapres Ayah Tuah.
Kebetulan, pasangan FEFE dapat nomor urut 1, Amin 2, PSG 3, Gama 4 dan AA 5. Jika demikian, lalu nomor urut paslon siapa yang paling strategis untuk menang.? Jawabnya, pastilah milik pasangan FEFE dan AA.
Andai benar, mencari nomor urut kandidat tokoh senior Kompasiana itu amat mudah. Yang hendak pilih FEFE, cukup arahkan pandangan ke paling kiri. Kalau AA, ke yang paling kanan. Jika branding ini jalan, yakin saya, suara FEFE dan AA sanggup menggulung kekuatan Amin, PSG dan Gama..Heheeeeee..
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H