Optimalisasi Ekonomi Kelautan. Ini yang diangkat sebagai Topik Pilihan oleh Kompasiana kali ini. Terus terang, saya tak punya kapasitas di bidang ini. Yang saya paham cuma sedikit pengetahun dan ada pengalaman dibidang politik.
Tapi terdapat saudara yang tinggal di Gresik pernah mengelola tambak. Dulu cerita tentang seluk beluk mengelola tambak. Berikut ini saya sarikan. Semoga berguna bagi para pembaca sekalian. Tapi kalau ada yang tak cocok, mohon dimaklumi ya.
Kata saudara saya, dari segi pengelolaan tambak dibagi menjadi dua macam. Pertama tambak tradisional. Untuk yang ini, cukup sediakan lahan, kasih air, tebar bibit sesuai komoditi, sudah. Lalu tinggal tunggu waktu panen.
Kedua, tambak intensif. Yang jenis ini lebih ruwet. Mesti dikelola secara professional. Biayanya juga lebih mahal, karena butuh alat-alat tambahan macam kincir air misalnya. Tapi hasilnya jelas lebih besar dibanding tambak tradisional.
Soal komoditi, kedua jenis tambak bisa untuk pelihara udang windu atau bandeng. Tergantung musim dan keinginan pemilik tambak. Bisa udang, atau bandeng. Yang dipelihara secara bergantian.
Malah tambak jenis tradisional dapat dicampur. Sekaligus pelihara bandeng dan udang. Tapi dengan ukuran dan syarat-syarat tertentu. Salah satunya, dalam satu tambak tradisional sebaiknya isi lebih banyak udang dibanding bandeng.
Sedang tambak intensif, harus satu jenis komoditi. Hanya pilih udang, atau bandeng saja. Mengapa, tidak seperti kolam tradisional, karena jumlah komoditi pada kolam intensif lebih banyak dibanding tradisional. Untuk itu, kedua jenis bibit tak bisa dicampur jadi satiu.
Ooo ya, air yang digunakan ialah jenis payau. Yaitu campuran antara air laut dan air tawar. Saudara saya itu ambil air laut langsung di lokasi. Karena letak tambangnya ada di dekat pantai.
Sementara air tawarnya, berasal dari sumur. Yang memang sengaja dibuat khusus untuk suplai kebutuhan tambak. Juga bagi keperluan penjaga atau personil yang bertugas merawat tambak.
Lalu bagaimana perbandingan mengelola tambak tradisional dan intensif..? Kalau dari segi keuntungan, jelas lebih besar tambak intensif. Namanya juga kerja pakai tenaga.
Yang keluar "keringat" banyak, ya pastilah lebih banyak pula terima "duit". Demikian pula sebaliknya. Dan sekedar tahu, tambak tradisional memang identik dengan banyak "leha-leha".
Sementara tambak intensif, perlu tenaga ekstra. Makanya, yang jenis intensif identik dengan "banyak kerja". Jadi, mengelola tambak intensif harus rajin bekerja. Kalau malas, alamat gagal.
Berikut ini perbandingan dari segi lain. Pertama, masalah pakan. Apapun komoditi yang dipelihara, baik udang maupun bandeng, didalam tambak tradisional tak perlu disediakan pakan secara kontinyu.
Selesai tebar bibit, ya biarkan saja. Nanti bibit-bibit komoditi itu akan berusaha mencari dan menemukan pakan sendiri yang tersedia secara alami dikolam tambak. Biasanya berupa plankton dan ganggang atau lumut.
Bisa juga diberi pakan tambahan. Tapi tidak harus. Namanya juga ingin biaya murah. Cukuplah mengandalkan ketersediaan pakan alami. Lalu biarkan begitu saja. Hingga tiba waktu panen.
Tapi untuk kolam tambak intensif tidak bisa seperti itu. Karena ingin dapat panen melimpah dan hasil banyak, perlu keluar duit ekstra buat beli pakan di toko. Guna memberi makan bibit komoditi dua kali sehari.
Perbandingan kedua dari segi perangkat. Mengelola tambak tradisional tak perlu alat-alat tambahan. Apalagi harus modern. Sebagaimana diatas tadi, cukup ada lahan, kasih air payau dan tebar bibit. Maka tambak sudah bisa ditunggu hasilnya.
Sebaliknya, mengelola tambak intensif harus disediakan perangkat tambahan sebagai pendukung. Macam kincir air misalnya. Yang fungsinya buat memutar sirkulasi udara. Jika diperlukan, bisa beli alat lain.
Ketiga, perbandingan dari segi jumlah komoditi dan masa panen. Kalau di kolam tradisional, bibit yang bisa di tebar sekitar 3000-5000 untuk jenis bandeng. Dan sekitar 60-100 per meter persegi buat bibit udang.
Tapi kalau di kolam jenis intensif, bibit yang ditebar bisa dua kali lipat banyaknya. Karena faktor ini pula, maka hasil panen tambak intensif akan lebih banyak dibanding yang tradisional.
Masa panen tambak intensif juga lebih cepat dibanding tradisional. Kalau masa panen di intensif bisa dilakukan setelah masa waktu sekitar 2 s/d 2.5 bulan, maka di kolam tradisional hingga mencapai 4 bulan.
Keempat, dari segi perawatan. Kolam tambak tradisional tak memerlukan perawatan rumit. Cukup tengok saat ada waktu kosong, dan kalau perlu bersihkan saja sesuatu yang sekiranya bisa menggangu bibit.
Di tambak intensif lebih rumit. Sebab harus dijaga sehari-semalam. Bahkan nyaris sampai 24 jam. Makanya, ditambak intensif biasanya ada pekerja yang dikontrak secara khusus buat merawat tambak.
Soal jenis hama, nampaknya sama saja antara tambak yang tradisional dan yang intensif. Yang lumrah sebagai penggangu ialah ikan mujahir, kepiting dan burung. Ketiga jenis hewan ini mendominasi sebagai perusak tambak.
Ikan mujahir memakan bibit komoditi. Kepiting merusak pamatang atau pinggir kolam. Untuk burung, selain makan bibit seperti yang dilakukan mujahir, juga pembawa penyakit. Ini karena burung ekspansi secara pindah-pindah dari satu kolam ke kolam lain.
Suka duka pastilah ada. Sukanya, adalah saat hasil panen melimpah. Duit yang didapat banyak. Dukanya, kalau panen gagal karena berbagai hal. Rugi pasti. Apalagi yang tambak intensif. Nilai kerugian lebih tinggi dibanding tambak tradisional.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H