Mohon tunggu...
Zabidi Mutiullah
Zabidi Mutiullah Mohon Tunggu... Wiraswasta - Concern pada soal etika sosial politik

Sebaik-baik manusia, adalah yang bermanfaat bagi orang lain

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Membedah Ide Pemisahan Kementerian Kebudayaan dan Pendidikan

2 November 2023   08:05 Diperbarui: 3 November 2023   02:59 852
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebagai pribadi, saya setuju kementerian kebudayaan terpisah dan diurus secara khusus berada di luar sektor pendidikan. Dengan demikian, munculnya ide kementerian kebudayaan berdiri sendiri merupakan masukan positif.

Mengapa, karena yang namanya kebudayaan itu sejatinya ada ditempat yang berbeda dengan pendidikan. Meski ada kaitan, dihadapan manusia keduanya memiliki lingkaran fisik dan psikologis sendiri-sendiri.

Banyak sekali pengertian kebudayaan yang dikemukakan oleh para ahli. Misal dari Edward Burnett Tylor, Bronislaw Malinowski, Clifford Geertz, Roger M. Keesing, Koentjaraningrat dan beberapa tokoh lain.

Tapi setelah saya sarikan, kebudayaan berhubungan dengan kompleksitas hasil karya manusia yang terkait dengan eksistensi sebagai pribadi maupun alam sekitar di lingkungan berbagai makhluk hidup.

Yang terkait dengan eksistensi pribadi misal soal pengetahuan, kepercayaan dan kemampuan. Sementara yang bersinggungan dengan lingkungan sekitar adalah seni, moral, hukum, sisten teratur, adat istiadat dan kebiasaan.

Jika ingin menciptakan harmoni dalam kehidupan sosial antar makhluk hidup, dua keterkaitan di atas harus dikoneksikan. Kalau tidak, bisa terjadi ketimpangan. Bahkan konflik dan kerusakan.

Sementara itu, banyak pula para ahli yang mengemukakan pendapat tentang definisi pendidikan. Namun dalam konteks tulisan ini, saya ingin merujuk pada pengertian yang dirumuskan oleh UU Sisdiknas Nomor 20 Tahun 2003.

Disebutkan bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia serta keterampilan yang diperlukan dirinya dan masyarakat.

Tak bermaksud mengerdilkan pengertian yang dikemukakan oleh UU Sikdiknas, dalam islam kata pendidikan lebih dekat pada istilah tarbiyah. Istilah ini mengandung perspektif makna amat luas.

Maka definisi tarbiyah adalah segala macam ikhtiar untuk menyiapkan anak didik baik akal, fisik, keterampilan, ruh dan jiwa, agar memiliki karakter positif hingga nanti bisa berguna bagi diri sendiri dan terutama buat masyarakat, bangsa dan agama.

Melihat itu, definisi tarbiyah (dan juga pendidikan seharusnya) tidak cuma bicara soal pengajaran. Akan tetapi meliputi segala macam bentuk upaya atau ikhtiar dalam rangka menciptakan manusia paripurna.

Karenanya, di islam itu ada istilah turunan yang merupakan bagian dari tarbiyah. Seperti taklim yang artinya pengajaran, takdib mendidik, tadris mempersiapkan dan tazkiyah yang berarti upaya menjadi lebih baik atau penyucian

Apa yang saya kemukakan tersebut semata buat meneropong posisi. Bahwa antara kebudayaan dan pendidikan itu memiliki tempat yang tidak sama, sebagaimana saya singgung pada awal tulisan di atas. Ekstremnya, kalau ditarik garis lurus, kebudayaan berada dalam koridor produk atau hasil.

Sementara pendidikan, lebih menitik beratkan pada ikhtiar atau upaya. Dengan demikian, kebudayaan merupakan tindak lanjut, atau bisa juga disebut turunan, dari pendidikan.

Tentu uraian saya bisa diperdebatkan. Dan saya terbuka untuk itu. Mengapa, karena forum ini bukan platform untuk mempertahankan pendapat macam tugas akhir Skripsi, Tesis maupun Disertasi.

Tentu butuh forum yang lebih luas dan representatif, jika memang dimaksudkan untuk tujuan itu. Uraian saya di atas semata buat menegaskan. Bahwa antara kementerian kebudayaan dan kementerian pendidikan seyogyanya memang harus berdiri sendiri.

Pendidikan bukan hanya soal belajar mengajar. Dan kebudayaan tidak cuma bicara seni. Jika kebudayaan berdiri sendiri, secara finansial akan memiliki dana mandiri yang tentu lebih besar jika dibanding saat masih ada di bawah kementerian pendidikan.

Dengan dana yang lebih besar, terbuka kemungkinan amat luas buat menciptakan beragam program kerja. Terutama yang ada hubungan dengan pembenahan maupun pelestarian budaya.

Secara spesifik, saat ini banyak sekali intervensi budaya luar yang wajib dibenahi oleh pemerintah. Misal soal interaksi antara orang tua dan anak. Juga dilingkungan sekolah antara guru dan murid.

Akibat masuknya prinsip-prinsip egaliter dan persamaan derajat versi barat, tak sedikit orangtua yang diperkarakan oleh anak sendiri. Dan banyak pula kasus seorang murid menganiaya guru. Jauh sebelumnya, beberapa kasus itu sulit terjadi.

Juga budaya malu. Dulu, aksi suka pamer harta sangat dijauhi. Agar tidak diketahui orang lain, bahkan seorang kepala keluarga kaya raya suka menyembunyikan besaran nilai harta benda yang dimiliki.

Tapi sekarang, siapa sich yang tak suka narsis berlomba-lomba pamer outfit atau kendaraan di media sosial. Rasanya, kurang afdhol jika tak disebut orang super kaya. Bahkan, ada yang secara khusus buka vlog buat pamer harta.

Perlindungan terhadap budaya dalam negeri rasanya juga menjadi garapan serius yang harus diprogramkan oleh kementerian kebudayaan jika nanti sukses berdiri sendiri. Perlindungan ini ditujukan agar budaya dalam negeri tidak hilang dicuri negara lain.

Ingat soal batik, reog dan angklung yang pernah di klaim oleh negara tetangga kita Malaysia. Kalau fenomena pencurian itu dibiarkan, rasanya kelak bisa habis tak tersisa. Dan anak cucu kita tak lagi bisa menikmatinya.

Soal siapa nanti tokoh nasional yang layak ada di posisi sebagai menteri kebudayaan, sebaiknya perlu ditelisik dari segi kriteria. Jangan nama. Kalau nama, cenderung subyektif. Tapi kalau kriteria, nampak lebih fair.

Apalagi, tugas dan tanggung jawab seorang menteri itu lebih bersifat kebijakan. Bukan teknis. Maka yang diperlukan tentu adalah seorang manajer andal. Meski tidak punya latar belakang kebudayaan.

Bisakah..? Pasti bisa. Sudah ada contohnya. Yaitu Mas Nadiem Makarim, Mendikbud kita yang sekarang ini. Anda tahu kan, kalau Mas Menteri ini punya latar belakang sebagai "tukang ojek".

Tapi karena memiliki skill manajemen bagus, Mas Nadiem dianggap sukses memimpin Kementerian Pendidikan. Setidaknya berdasar penilaian Presiden Jokowi. Buktinya, sampai sekarang beliau tidak dipecat.

Menkopolhukam Pak Mahfud MD, yang juga cawapres Ganjar Pranowo dari poros koalisi PDIP, adalah contoh lain kalau seorang menteri itu tak harus linier dengan bidang kementerian. Adalah Presiden Indonesia keempat Gus Dur yang membuktikannya.

Dengan cara menjadikan Pak Mahfud sebagai Menteri Pertahanan. Sayang tak sampai tuntas hingga akhir masa jabatan. Karena Gus Dur keburu dilengserkan.

Memang merupakan pilihan sangat ideal, jika ada tokoh yang diangkat jadi Menteri Kebudayaan memiliki kemampuan lengkap. Seorang yang professional dibidang kebudayaan juga sekaligus punya skill menejemen mumpuni.

Tapi kalau sekiranya tidak ada, kriteria manajemen perlu diutamakan. Punya latar belakang budaya belum tentu bisa mengorganisir kementerian. Tapi seorang menejer handal, saya yakin akan mampu melakukannya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun