Mohon tunggu...
Zabidi Mutiullah
Zabidi Mutiullah Mohon Tunggu... Wiraswasta - Concern pada soal etika sosial politik

Sebaik-baik manusia, adalah yang bermanfaat bagi orang lain

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih Pilihan

Kekalahan Timnas Bola Jerman Lawan Jepang: Pelajaran Buat Ganjar, Prabowo dan Anies

12 September 2023   08:11 Diperbarui: 12 September 2023   09:50 187
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pelatih Timnas Bola Jerman Hansi Flick Yang Dipecat Oleh DFB (Sumber Foto Kompas)

Timnas sepakbola Jerman di pecundangi Jepang. Dengan skor cukup telak lagi, 1-4. Sebuah kenyataan yang saya kira amat sulit terjadi. Jangankan menang hingga segitu besarnya.

Jepang sukses menahan Jerman seri saja, sudah bagus sebenarnya. Itu jelas memalukan, terutama bagi Jerman. Sebuah negara yang dalam hal sepak bola tergolong raksasa. Tampil sebagai juara Piala Eropa sebanyak tiga kali dan empat kali Piala Dunia.

Eeehh, lawan Jepang yang cuma jagoan Asia, Jerman keok. Padahal, menilik statistik kemenangan spektakuler kejuaraan level dunia, amat jauh. Bagai jarak langit dan bumi. Sulit di jangkau.

Untuk level Asia, prestasi Jepang memang cukup membanggakan. Negara yang dapat julukan Negeri Matahari Terbit ini empat kali juara piala AFC. Tapi untuk Piala Dunia, tak bisa dibanding dengan Jerman.

Menjalani debut sejak 1998, sebagai tuan rumah bersama Korea Selatan pada Piala Dunia tahun 2002, Jepang sanggup keluar sebagai juara Group. Setelah sebelumnya imbang lawan Belgia serta bisa mengatasi Rusia dan Tunisia.

Pada edisi berikutnya, prestasi Jepang tetap tak bisa dibanding Jerman. Saat Piala Dunia 2006 Jepang tak mampu lolos babak berikutnya, 2010 tersingkir di 16 besar, 2014 juru kunci dan pada 2018 kembali mentok di 16 besar.

Di Piala Dunia 2022 Qatar, Jepang memang sukses mengalahkan Jerman. Cuma ketika itu skornya hanya 2-1. Kalau dibanding pertandingan kemarin yang sampai 4-1, tentu patut di sayangkan bagi Jerman.

Di Qatar, Jepang sanggup mengalahkan Spanyol pula. Juga dengan skor yang sama saat bersua Jerman, 2-1. Meski berstatus juara Grup E, Jepang tetap tak mampu menembus babak berikutnya.

Kembali ke soal Jerman yang di pecundangi Jepang 1-4. Anda tahu sejarah pertarungan antara Daud lawan Goliat..? Itu lho kisah yang termaktub dalam Kitab I Samuel pasal 17.

Daud merupakan seorang ksatria pemberani. Namun tubuhnya kecil. Sementara Goliat, adalah petarung bertubuh raksasa. Secara fisik, Daud tak mungkin bisa mengalahkan Goliat. Sekali tepuk, pasti terjungkal itu Daud.

Goliat punya pengalaman perang, tinggi 6 hasta sejengkal atau sekitar tiga meter lebih, tentu bukan bandingan bagi seseorang yang tubuhnya kecil bernama Daud. Yang aktifitasnya sehari-hari cuma menggembalakan kambing.

Demi membela bangsa Israil dari penjajahan Filistin dimana Goliat sebagai tentara, Daud berani menantang Goliat. Sebuah kenyataan yang ketika itu membuat orang pesimis. Daud pasti terbunuh di tangan Goliat.

Namun apa yang terjadi..? Meski bertubuh kecil dan tak punya pengalaman bertarung, Daud ternyata sukses mempecundangi Goliat. Tentara Filistin yang bertubuh besar itu dikalahkan oleh Daud.

Mengapa Goliat bisa kalah..? Jawabannya karena faktor kecerdikan. Daud tak menggunakan otot. Tapi mengerahkan kemampuan akal meracik strategi. Nampaknya, kekalahan Jerman yang cukup telak lawan Jepang juga karena kalah strategi.

Dan kalau bicara strategi, maka tumpuannya ada di pelatih. Rupanya, pelatih Jerman yang bernama Hansi Flick, kalah adu taktik lawan pelatih Jepang yang bernama Hajime Moriyasu.

Maka tak heran, usai dilumat oleh Jepang, Presiden Deutscher Fussball Bund atau DFB (PSSI-nya Jerman), Bernd Neuendorf langsung mendepak Hansi Flick beserta dua asistennya sekalian. Pastinya karena dianggap tak becus.

Kasus kemenangan Jepang atas Jerman dan sejarah kekalahan Goliat lawan Daud tentu menjadi pelajaran berharga bagi kita semua. Bahwa adanya potensi besar belum tentu membawa kejayaan.

Kalau tidak di topang oleh strategi yang benar, potensi besar justru malah bisa jadi bumerang. Apalagi kalau sampai over confident. Maka siap-siap saja di pecundangi oleh musuh macam kasus Timnas Jerman atau Goliat.

Tahun depan akan ada perhelatan pilpres. Berdasar hasil teropongan berbagai lembaga survei, Ganjar Pranowo punya potensi besar untuk menang. Lalu di ikuti oleh Prabowo Subianto. Sedang Anies Baswedan ada di posisi buncit.

Namun kalau berkaca pada Jerman dan Goliat, Ganjar Pranowo, juga Prabowo Subianto, tak boleh jumawa lalu anggap enteng Anies Baswedan. Apalagi hingga koar-koar pasti menang. Hemmm, ini alamat bahaya.

Kalau tidak bijak menyikapi hasil survei, bisa-bisa Ganjar atau Prabowo ternina bobok oleh persepsi kemenangan yang di sodorkan ke depan mata. Terlebih jika para pendukung atau tim-nya juga bersikap sombong.

Atau, senantiasa menyajikan info yang baik-baik saja demi menyenangkan Sang Capres. Tanpa sedikitpun ada inisiatif memberikan data yang sebenarnya, maka kemungkinan besar justru Anies-lah yang akan jadi pengganti Jokowi.

Apalagi kalau strategi Anies betul-betul mengena. Wah, bisa malu besar itu nanti Ganjar sama Prabowo. Kalah di pecundangi oleh Anies yang selama ini dianggap lawan enteng.

Jika benar terjadi, bakal ada penyesalan seumur hidup. Mengapa, karena baik untuk Ganjar maupun Prabowo, momen pilres 2024 tahun depan menurut saya adalah yang terakhir.

Ingat ya, meski untuk jadi pemenang sama-sama didahului pertarungan, sepak bola dan pilpres berbeda. Dalam sepak bola, kalah hari ini bukan akhir segalanya. Cukup ganti pelatih macam yang dilakukan DFB, muncul lagi harapan menang pada pertandingan berikutnya.

Tapi bagi Ganjar dan Prabowo di pertarungan pilpres tidak begitu. Kalau di tahun 2024 mereka kalah lawan Anies, pada pilpres 2029 kemungkinan besar kedua tokoh ini tidak akan jadi kandidat lagi.

Mengapa, sebab mereka berdua ada hambatan yang sulit untuk di atasi. Hambatannya bukan faktor pelatih seperti kasus kalahnya Jerman dari Jepang. Melainkan faktor kredibilitas dan eksistensi.

Untuk Ganjar tentu kredibilitas dimata PDIP. Jadi capres semacam “dipaksakan” oleh tekanan massa, karena yang diinginkan mungkin Puan Maharani, pasti jadi hukuman berat kalau sampai kalah. Saya yakin, pada pilpres 2029 nanti PDIP tidak akan memajukan Ganjar kembali.

Sementara bagi Prabowo Subianto, di akui atau tidak pada perhelatan pilpres 2024 adalah juga yang terakhir. Jika tahun 2024 masih tetap kalah, pada 2029 kelak Prabowo Subianto amat sangat sulit maju lagi.

Faktor umur, dan mungkin pula kesehatan, tak bisa dipungkiri akan jadi kendala utama bagi Menteri Pertahanan ini. Di pilpres 2029, Gerindra akan punya kandidat anyar yang lebih fresh.

Kredibilitas dan eksistensi Ganjar serta Prabowo saat ini ibarat timnas Jerman di sepak bola atau sosok Goliat dalam kisah Kitab I Samuel pasal 17. Mereka semua adalah tokoh yang memiliki superioritas tinggi dan kuat. Sulit untuk dikalahkah.

Namun meski begitu, Anies Baswedan yang rupanya dianggap inferior, di samakan dengan kekuatan Timnas Jepang dan Daud, pastinnya tak bisa dipandang sebelah mata. Salah-salah, Ganjar dan Prabowo keok lawan Anies.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun