Mohon tunggu...
Zabidi Mutiullah
Zabidi Mutiullah Mohon Tunggu... Wiraswasta - Concern pada soal etika sosial politik

Sebaik-baik manusia, adalah yang bermanfaat bagi orang lain

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Menyimak Salah Persepsi dan Tradisi Menulis Atas Keputusan Menteri Nadiem

31 Agustus 2023   09:10 Diperbarui: 31 Agustus 2023   15:35 225
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Menteri Nadiem Makarim (Sumber Foto Kompas.com/Tangkap Layar YouTube Kemendikbud Ristek).

Begitu Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi atau Mendikbud-Ristek Nadiem Makarim menyatakan tugas akhir mahasiswa bisa bermacam-macam, persepsi masyarakat lalu jadi salah.

Disangkanya, untuk jenjang S1 skripsi dihapus, S2 tanpa ada tesis dan tak perlu cetak jurnal ilmiah. Kalau benar, bagi mahasiswa yang agak pemalas tentu menjadi kabar sangat menggembirakan.

Tapi bagi yang peduli terhadap kegiatan tulis menulis sama hanya dengan buruk. Amat menyedihkan dan tentu tak dapat diterima oleh akal sehat. Keputusan Menteri Nadiem patut dilawan.

Tapi sebenarnya maksud Menteri Nadiem tidak begitu. Yang benar ialah menyerahkan model tugas akhir mahasiswa kepada kampus masing-masing. Tetap menggunakan skripsi atau tesis boleh. Pilih yang lain macam buat prototype, proyek dan sebagainya juga boleh.

Melihat itu, saya nilai bagus. Pertama, sebagaimana disampaikan oleh Nadiem, guna implementasi pokok-pokok kebijakan Merdeka Belajar Episode ke-26. Yang meliputi Transformasi Standar Nasional dan Akreditasi Pendidikan Tinggi.

Yang kedua, agar percepatan dan kemandirian inovasi yang dilaksakan oleh Perguruan Tinggi dan mahasiwa berjalan sesuai dengan minat, bakat, kebutuhan dan kompetensi.

Secara pribadi, saya memang amat menyayangkan jika keputusan terbaru Menteri Nadiem di atas selaras dengan salah sangka masyarakat. Karena secara progresif, dapat menimbulkan dampak negatif cukup serius.

Dimana kalau betul-betul terjadi, perkembangan akan mandeg, kreatifitas mahasiswa bisa tumpul dan dokumentasi sejarah habis tidak terekam. Dan ini, jelas bertentangan dengan tujuan pendidikan.

Mari kita lihat dari segi penelitian. Kegiatan ini merupakan salah satu indikator wujud prestasi mahasiswa. Yang kemudian di wujudkan dalam bentuk tulisan baik skripsi, jurnal, tesis dan disertasi. Penelitian juga untuk mengetahui tingkat kualitas SDM setelah menempuh pendidikan.

Pasca lulus, pastinya pada diri mahasiswa terjadi perubahan cukup signifikan. Akan berbeda kelihatannya dibanding sebelum kuliah. Bisa dari segi perilaku, pemikiran, aktifitas dan lain sebagainya.

Lalu apa pentingnya mahasiswa melakukan penelitian..? Tak lain tak bukan adalah untuk kemajuan diri sendiri. Dan yang paling utama adalah buat kemajuan bangsa dan negara.

Naah, disitulah ketahuan poinnya. Penelitian ibarat produk vital yang di produksi mahasiswa. Yang penggodokannya dilakukan oleh Perguruan Tinggi melalui perantara para dosen.

Hasilnya, nanti akan dinikmati oleh masyarakat luas. Anda tahu, apa yang kita rasakan saat ini, semua bermula dari penelitian. Tanpa lewat proses ini, mustahil kita memperoleh fasilitas atau kemudahan seperti sekarang.

Yang kemudian pada perkembangan berikutnya, akan diteruskan dengan penelitian-penelitian lanjutan. Guna makin menyempurnakan apa yang telah dicapai. Begitulah hidup ini berjalan hingga akhir nanti.

Yang patut kita jaga tentu adalah keberlangsungan beberapa produk penelitian yang telah di hasilkan saat ini. Dan bicara soal menjaga, mau tak mau dokumentasi atau catatan menjadi hal yang amat perlu diperhatikan.

Maka disinilah ketahuan betapa penting skripsi, tesis, jurnal dan disertasi. Mengapa, karena ia berfungsi sebagai catatan. Yang bertahun-tahun kelak tetap bisa dilihat oleh anak cucu kita.

Agar skripsi, tesis, jurnal dan disertasi menjadi dokumen, pastinya butuh alat. Dan tulisan, menurut saya adalah alat paling awet, mudah disimpan dan gampang diteliti ulang.

Terbukti, beberapa dokumen kuno yang telah dilahirkan oleh para pemikir terdahulu pada ratusan tahun silam masih dapat kita telaah. Semua terjadi, ya karena adanya tulisan.

Melihat fakta tersebut, apa yang disampaikan Menteri Nadim tentang masih adanya kegiatan menulis skripsi, tesis, jurnal dan disertasi menjadi relevan. Artinya, kegiatan ini tak serta merta lalu dihapus begitu saja.

Cuma seperti apa bentuk, proses dan legitimasinya tidak lagi ditentukan oleh Kementerian. Melainkan oleh Perguruan Tinggi itu sendiri. Hendak pilih model “kotak, bulat, lonjong, persegi panjang”, ya terserah.

Demikian pula andai Perguruan Tinggi mau mengganti skripsi, tesis, jurnal dan disertasi dengan prototipe, projek atau kegiatan lain yang sejenis. Mendikbud-Ristek mempersilahkan saja.

Hanya saja, kegiatan itu tetap harus dilaporkan dalam bentuk implementasi tulisan. Sehingga, dari segi publisitas dan dokumentasi masih bisa dilihat dan diteruskan kepada publik. Kalau tanpa laporan tertulis, khawatir hilang.

Salah satu alasan Menteri Nadim memberi kebebasan buat Perguruan Tinggi adalah untuk membuka ruang kreatifitas yang lebih terbuka bagi mahasiswa. Tapi menurut saya, ya tak perlu juga harus menghilangkan tradisi tulis menulis.

Sebab, sebagaimana uraian diatas tadi, ada dampak negatif yang cukup berat akan diterima oleh bangsa ini kelak. Yang nampak didepan mata pastinya soal kontinuitas kemajuan. Akibat hilangnya dokumentasi.

Dampak negatif lain, tantangan yang dihadapi mahasiswa tambah menurun. Sebagaimana telah kita maklum, bahwa kegiatan menulis tesis, jurnal dan disertasi apalagi skripsi merupakan satu tahapan yang amat di takuti oleh mahasiswa.

Ketika itu dihapus, memang dapat mempermudah dan mempercepat proses kelulusan. Tapi secara mental, makin menurunkan daya juang mahasiswa. Bahkan, bisa-bisa menguatkan sikap pragmatis.

Solusi yang paling tepat menyikapi keputusan Mendikbud-Ristek menurut saya adalah memberikan kebebasan tapi harus tetap di wujudkan dalam bentuk tertulis. Meskipun indikator kelulusan yang dipilih bukan membuat skripsi, tesis, jurnal atau disertasi.

Apa yang di ungkap oleh Rektor IPB University Aris Satriya saya kira patut di jadikan alternatif. Demi menyeimbangkan kebijakan Mendikbud-Ristek dengan keharusan adanya tulisan.

Menanggapi kebijakan Menteri Nadim, Aris Satriya menyatakan bahwa sudah sejak tahun 2019 lalu IPB tidak mewajibkan mahasiswa membuat skripsi. Artinya, mahasiswa dan kampus dapat memilih tugas akhir lain.

Namun tetap harus melaporkannya dalam bentuk tulisan. Mengapa, karena ini adalah sebuah kemampuan komunikasi yang penting dan juga menunjukkan cara berpikir seseorang (Kompas, 30/08/2023).

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun