Salah satu alasan Menteri Nadim memberi kebebasan buat Perguruan Tinggi adalah untuk membuka ruang kreatifitas yang lebih terbuka bagi mahasiswa. Tapi menurut saya, ya tak perlu juga harus menghilangkan tradisi tulis menulis.
Sebab, sebagaimana uraian diatas tadi, ada dampak negatif yang cukup berat akan diterima oleh bangsa ini kelak. Yang nampak didepan mata pastinya soal kontinuitas kemajuan. Akibat hilangnya dokumentasi.
Dampak negatif lain, tantangan yang dihadapi mahasiswa tambah menurun. Sebagaimana telah kita maklum, bahwa kegiatan menulis tesis, jurnal dan disertasi apalagi skripsi merupakan satu tahapan yang amat di takuti oleh mahasiswa.
Ketika itu dihapus, memang dapat mempermudah dan mempercepat proses kelulusan. Tapi secara mental, makin menurunkan daya juang mahasiswa. Bahkan, bisa-bisa menguatkan sikap pragmatis.
Solusi yang paling tepat menyikapi keputusan Mendikbud-Ristek menurut saya adalah memberikan kebebasan tapi harus tetap di wujudkan dalam bentuk tertulis. Meskipun indikator kelulusan yang dipilih bukan membuat skripsi, tesis, jurnal atau disertasi.
Apa yang di ungkap oleh Rektor IPB University Aris Satriya saya kira patut di jadikan alternatif. Demi menyeimbangkan kebijakan Mendikbud-Ristek dengan keharusan adanya tulisan.
Menanggapi kebijakan Menteri Nadim, Aris Satriya menyatakan bahwa sudah sejak tahun 2019 lalu IPB tidak mewajibkan mahasiswa membuat skripsi. Artinya, mahasiswa dan kampus dapat memilih tugas akhir lain.
Namun tetap harus melaporkannya dalam bentuk tulisan. Mengapa, karena ini adalah sebuah kemampuan komunikasi yang penting dan juga menunjukkan cara berpikir seseorang (Kompas, 30/08/2023).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H