Mohon tunggu...
Zabidi Mutiullah
Zabidi Mutiullah Mohon Tunggu... Wiraswasta - Concern pada soal etika sosial politik

Sebaik-baik manusia, adalah yang bermanfaat bagi orang lain

Selanjutnya

Tutup

Analisis Artikel Utama

Membanding Plus Minus Koalisi Gemuk dan Ramping

23 Agustus 2023   09:38 Diperbarui: 23 Agustus 2023   14:38 251
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Yang ideal itu koalisi partai gemuk atau koalisi ramping? Kalau diukur dengan kemenangan, jawabannya kompleks. Tidak bisa diarahkan atau dipaksa hanya kepada satu masalah saja.

Lalu apa yang di maksud koalisi gemuk? Punya arti yang tergabung di dalam koalisi memiliki banyak anggota, ataukah tinggi jumlah perolehan suaranya? Sebelum lanjut, pertanyaan demikian mesti dijawab lebih dulu. Karena keduanya berbeda.

Misal, ada beberapa partai gurem atau kecil seperti PKPI, Garuda, PBB, Hanura, PSI, Berkarya, Perindo, PPP dan PAN. Untuk kepentingan mengajukan capres cawapres, 9 partai ini berhimpun jadi satu membentuk koalisi.

Lalu ada pula partai besar dan menengah, yang untuk kepentingan serupa juga membentuk koalisi. Kita pilih saja PDIP, Gerindra dan PKB. Beda dengan yang tadi, jumlah anggota koalisi terakhir ini cuma ada 3 partai.

Tapi, meski koalisi 9 partai di atas termasuk gemuk dari sudut pandang banyaknya anggota, secara jumlah suara tergolong ramping. Mengapa, karena berdasar hasil pileg 2019, total gabungan suara kesembilan partai itu cuma dapat 21.06 persen.

Sebaliknya yang terjadi pada koalisi 3 partai, yaitu PDIP, Gerindra dan PKB. Ramping dari segi banyaknya anggota, namun masuk kategori gemuk dari segi jumlah suara. Juga berdasar pileg 2019, gabungan jumlah suara ketiganya hingga mencapai 41.59 persen.

Menghadapi perhelatan pilpres 2024, beberapa partai yang ada sekarang ini memang memerlukan teman untuk bergabung dalam satu koalisi. Terutama buat kebutuhan memenuhi ketercukupan syarat presidential threshold.

Ilustrasi Koalisi Gemuk Atau Ramping (Sumber Foto Topik Pilihan Kompasiana)
Ilustrasi Koalisi Gemuk Atau Ramping (Sumber Foto Topik Pilihan Kompasiana)

Juga buat kepentingan menang pilpres. Dan ternyata, baik untuk menang maupun ketercukupan syarat, jumlah perolehan suara menempati posisi yang lebih dominan, dibanding banyaknya anggota.

Untuk apa punya anggota banyak, kalau jumlah perolehan suara saat pileg terlalu kecil. Bagai remah-remah biskuit yang sangat gampang dihembus angin. Mudah sekali hilang dan lenyap tanpa bekas.

Dengan kata lain, tak bisa berharap banyak untuk dijadikan tambahan elektoral. Serta kurang signifikan dibuat sebagai tambahan suara memenuhi syarat presidential threshold.

Jangan salah paham ya. Saya berpendapat demikian bukan berarti menafikkan eksistensi partai-partai gurem yang tak punya kursi di gedung Senayan. Sekali lagi, bukan begitu maksud saya.

Pendapat saya itu khusus dalam konteks efisiensi. Daripada memperbanyak teman koalisi tapi suaranya kecil-kecil, mending pilih satu atau dua partai, namun punya suara melimpah. Tidak terlalu berat mengakomodir kepentingan.

Kembali ke soal gemuk ramping sebuah koalisi. Berdasar paparan di atas tadi, kondisi sebuah koalisi ternyata bersifat relatif. Jumlah anggota yang gemuk atau ramping tidak bisa dijadikan landasan memperlancar langkah ke tahapan pilpres lebih lanjut.

Soal pendaftaran kandidat capres cawapres ke KPU yang mensyaratkan harus punya suara minimal 20 persen contohnya. Partai yang suaranya di bawah itu, mau tak mau harus mencari kawan. Kalau tidak, ya tidak bisa.

Kita ambil sample Nasdem yang mencapreskan Anies Baswedan. Faktanya, Nasdem cukup menggandeng dua partai politik. Yaitu Demokrat dan PKS. Yang lalu membentuk Koalisi Perubahan untuk Persatuan atau KPP.

Gerindra yang mengusung Prabowo Subianto juga layak dijadikan contoh. Sebelum Golkar dan PAN masuk, Gerindra malah cukup ambil PKB “seorang”, mendirikan Koalisi Kebangkitan Indonesia Raya atau KKIR.

Nasdem yang hanya berkawan dengan dua partai yaitu Demokrat dan PKS, serta Gerindra yang cuma menggandeng satu PKB, sudah cukup syarat untuk mendaftarkan jagoan masing-masing ke KPU.

Yang lebih “esktrim” lagi adalah PDIP. Sendirian saja tanpa harus mencari teman, partai milik keluarga Bung Karno yang mencapreskan Ganjar Pranowo ini sudah boleh langsung ikut mendaftar.

Untuk tujuan mencapai kemenangan menurut saya juga begitu. Banyaknya jumlah anggota dalam satu koalisi, tak menjamin bisa unggul dari lawan saat berlaga memperebutkan suara.

Dengan kata lain, gemuk ramping sebuah koalisi bukan ukuran sepasang kandidat capres cawapres bisa berjaya di pilpres 2024 nanti. Agar bisa menang, faktor yang paling berperan adalah strategi, kerja keras tim dan elektabilitas capres cawapres.

Itu sebagaimana terjadi ketika berlangsung pilpres 2014 lalu. Dimana kandidat yang bertarung cuma ada dua pasang. Yaitu pasangan Jokowi-Jusuf Kalla atau Jokowi-JK lawan Prabowo-Hatta.

Anda masih ingat tidak, kalau pada saat itu Jokowi-Jk dikeroyok oleh beberapa partai yang mengusung Prabowo-Hatta. Secara jumlah anggota, partai koalisi yang mendukung Jokowi-JK kalah banyak dibanding Prabowo-Hatta.

Kita flashback ya. Pada pilpres 2014, parpol pengusung dan pendukung Jokowi-Jk terdiri dari 5 partai politik. Kelimanya adalah PDIP, PKB, Partai Hanura, Partai Nasdem dan PKP Indonesia. Dinamai Koalisi Indonesia Hebat atau KIH.

Sementara itu, parpol pengusung dan pendukung Prabowo-Hatta berjumlah sebanyak 6 partai politik. Mereka terdiri dari Partai Gerindra, PPP, PAN, PBB, PKS dan Partai Golkar. Namanya Koalisi Merah Putih atau KMP.

Selain kalah jumlah anggota, gabungan akumulasi hasil perolehan suara pileg 2014 partai pendukung dan pengusung Jokowi-JK juga kalah. Jika ditotal secara keseluruhan hanya mencapai angka 40.88 persen.

Sementara total perolehan suara partai pendukung dan pengusung Prabowo-Hatta hingga mencapai angka 48.93 persen. Ada selisih sebanyak 8.05 persen. Dalam hitungan politik, 8 persen merupakan selisih yang cukup besar.

Namun apa yang terjadi? Setelah diadakan poncoblosan, yang keluar sebagai pemenang pilpres 2014 adalah Jokowi-JK. Padahal kalau dihitung secara matermatis, mestinya Prabowo-Hatta.

Karena pasangan itu punya lebih banyak jumlah anggota partai koalisi. Dan memiliki akumulasi hasil perolehan suara pileg 2014 lebih besar di banding partai pengusung dan pendulkung Jokowi-JK.

Begitulah dalam politik. Yang besar belum tentu menang. Yang kecil juga belum tentu kalah. Bisa-bisa, yang terjadi adalah kebalikannya. Seperti yang dialami oleh pasangan Jokowi-JK dan Prabowo-Hatta pada pilpres 2014.

Maka yang terpenting ketika bicara soal koalisi gemuk atau ramping sebenarnya bukan masalah menang atau kalah. Juga bukan soal konsistensi, atau setia berada di dalam satu koalisi hingga gelaran pilpres rampung.

Bicara soal koalisi gemuk atau ramping harus difokuskan kepada menejemen pengelolaan. Gemuk tapi tak terkelola dengan baik, justru bisa jadi beban. Akibat tuntutan kompensasi yang terlalu berat.

Namun bukan berarti koalisi gemuk tak ada manfaatnya. Jika soal kompensasi bisa dilewati atau teratasi dengan baik, ada potensi besar sebuah koalisi dapat meraup suara cukup banyak dan menang pertarungan.

Soal koalisi ramping, memang lebih mudah mengelola keinginan para anggota. Karena kompensasi yang di inginkan oleh masing-masing lebih memadai untuk didistribuskan sesuai jumlah rasio.

Namun ada kendala ketika sudah masuk ketahapan rebutan vox pop. Berhubung anggota yang bergabung di koalisi terbatas, maka ada kemungkinan jumlah suara yang bisa disedot saat rebutan elektoral juga terbatas.

Begitulah sekelumit perbandingan plus minus kekuatan sebuah koalisi. Mau gemuk atau ramping, pada akhirnya berpulang kembali pada kinerja dan kondisi Tim Sukses serta capres cawapres.

Dan seperti itulah maksud paparan saya. Bahwa di dalam sebuah koalisi, gemuk atau ramping bukan sebuah jaminan yang kemudian membuat para kandidat capres cawapres harus merasa jumawa atau merana.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun