Polemik Golkar yang terjadi belakangan kelihatan adem dari luar. Tapi nampaknya sangat panas di dalam. Muaranya memang hanya berasal dari keraguan sebagian elit kader terhadap kepemimpinan Ketua Umum yang sekarang. Namun menilik perjalanan dari awal hingga saat ini, polemik itu memiliki kompleksitas cukup rumit juga.
Para pembaca masih ingat tidak, kalau pada 2019 silam Partai Golkar pernah mengalami polemik internal yang lebih gawat.
Ketika itu bahkan sampai terjadi penggembokan pintu gerbang akibat rebutan Kantor DPP, antara AMPG kubu Airlangga Hartarto dan kubu Bambang Susatyo atau Bamsut. Semoga saja polemik kali ini tidak sampai begitu. Memalukan.
Syukur alhamdulilah. Polemik pada tahun 2019 bisa diselesaikan dengan baik. Kedua kubu diatas akhirnya ada sikap saling mengalah.
Lebih lanjut, kubu Airlangga dan Bamsut lalu membuat perdamaian dan berbagi posisi. Airlangga jadi Ketua Umum dan Bamsut Wakil Ketua Umum. Kita berharap polemik kali ini juga demikian. Berakhir damai.
Tapi tentu saja bentuk perdamaiannya tidak berbagi posisi sebagaimana polemik 2019 silam. Mengapa, karena yang sekarang bukan tentang rebutan menjadi pucuk pimpinan.
Melainkan oleh sebab partai Golkar dianggap tidak mampu membuat poros koalisi. Begitu pula, partai pohon beringin ini faktanya belum mendapatkan labuhan sendiri dalam menghadapi pilpres 2024.
Sekedar penjelasan, antara membuat poros koalisi dan mendapatkan labuhan memiliki kualitas berbeda. Membuat poros artinya ada di posisi “King Maker”, alias sebagai penentu.
Sementara mendapatkan labuhan, hanya menjadi anggota biasa dari satu poros tertentu. Berhubung cuma sebagai anggota, ya harus nurut dan ikhlas menerima apapun pemberian “King Maker”.
Contoh kongkrit misalnya posisi PDIP. Apapun latar belakangnya, Partai punya Ibu Megawati ini jelas ada di posisi sebagai pembuat poros.