Eksistensinya merupakan penentu dan dicari partai lain. Lalu anggota poros PDIP seperti PPP, Hanura dan Perindo adalah sebagai pencari labuhan. Boleh saja PPP-Hanura-Perindo usul cawapres misalnya. Tapi tidak bisa maksa.
Gerindra-PKB dan Nasdem-Demokrat-PKS bisa disebut juga sebagai pencipta poros, meskipun harus gabung jadi satu karena tak punya jumlah ketercukupan suara seperti PDIP.
Tapi mereka semua adalah partai penentu. Jika ada partai lain ingin bergabung, ya harus rela di jatah. Tidak boleh nyodok atau rebut posisi. Kecuali diantara pencipta poros itu mempersilahkan secara legowo.
Naah, sekarang eksistensi Golkar lagi ngambang. Pencipta poros bukan. Sebagai partai yang sudah mendapatkan labuhan, juga bukan. Padahal merupakan partai besar.
Makanya tak heran kalau mantan Wapres sekaligus mantan Ketua Umum Golkar Jusuf Kalla sampai mengeluarkan kritik. Anggap Golkar kurang mandiri dan tergantung pada penguasa.
Cukup beralasan pula sebagian elit macam Ridwan Hisjam dkk yang kapan hari hingga memunculkan wacana munaslub Golkar. Yang kemudian membuat kesulitan terhadap Golkar secara kelembagaan dan terutama Airlangga Hartarto secara personal.
Bersikap membela diri tentu tak elok bagi Airlangga. Karena faktanya, saat ini Golkar memang kalah “lawan” Gerindra, PKB dan Nasdem yang suskes menciptakan poros.
Airlangga Hartarto sendiri sebagai Ketua Umum rasanya kurang mampu membawa amanat Munas tahun 2019 lalu. Yang memutuskan dirinya menjadi bakal calon presiden.
Buktinya, hasil survei Airlangga sebagai salah satu komponen penentuan kandidat capres atau cawapres, selalu minim. Jadinya berat untuk di usung atau diminati oleh partai lain.
Lalu kemana kira-kira Golkar pilih koalisi disaat polemik sedang mendera dan waktu perhelatan pilpres 2014 makin dekat..?
Untuk menjawabnya, mari kita buka ulang data hasil perolehan suara pileg 2019 dari semua partai. Ini penting, agar pilihan posisi yang nanti akan diambil sesuai dengan ekspektasi dan tidak asal comot kawan koalisi.