Menjadi presiden di Indonesia harus bisa melewati dua syarat fundamental. Ini sifatnya pokok dan tak bisa dibantah. Apa itu..?
Pertama, sudah tentu ada partai pengusung yang mendaftarkan capres-cawapres ke KPU. Secara regulasi, jika cukup syarat macam PDIP bisa sendirian. Namun jika tak cukup seperti Gerindra dan parpol lain, wajib mencari kawan. Membentuk sebuah koalisi.
Yang kedua menang pilpres. Ini terkait upaya dan strategi. Juga kepiawaian parpol-parpol, tim sukses serta kandidat saat rebutan vox pop.
Sukses meramu beragam hal tersebut, bakal leading membawa calon masuk istana. Sebaliknya jika gagal, meski jumlah parpol yang berkoalisi sangat besar, siap-siap menjadi pecundang. Alias kalah pilpres.
Memang benar, jauh sebelum hari H pencoblosan suara ada kategori capres-cawapres kuat dan lemah. Kuat berarti punya potensi besar untuk menang. Dan lemah lebih dekat pada kekalahan.
Biasanya, hal ini diketahui dari hasil survei oleh lembaga kredibel. Namun meski punya posisi kuat, tetap tak bisa jadi presiden. Andai tak ada partai, atau gabungan darinya, yang tertarik untuk mengusung daftar ke KPU.
Lemah memang hasil surveinya. Tapi karena satu faktor tertentu, misal oleh sebab punya modal mumpuni hingga banyak parpol yang berminat, kesempatan besar masuk istana terbuka lebar. Apalagi jika upaya, strategi dan kerja keras partai pengusung dapat dimaksimalkan. Yang lemah bisa saja mengalahkan yang kuat.
Tentu merupakan modal teramat besar, jika memiliki segalanya. Sudah kuat, diminati partai atau koalisi, masih punya dana besar lagi. Wuuiihh, ini yang luar biasa.
Masalahnya sekarang kalau sebaliknya. Sangat ingin nyapres, tapi hasil survei paling buncit, parpol pengusung tak jelas, ditambah dana cekak. Waah, ini namanya apes se apes-apesnya. Ibarat kata, besar pasak daripada tiang.
Lalu bagaimana prediksi perjalanan koalisi 2024 mendatang...?
Untuk menjawab hal ini, eksistensi partai yang masuk senayan perlu dipilah menjadi dua bagian. Yaitu, yang tak perlu koalisi macam PDIP. Lalu yang masih butuh koalisi seperti Gerindra, Golkar, PKB, PPP, PAN, Nasdem, Demokrat, dan PKS.
PDIP sudah punya capres. Siapa lagi kalau bukan Ganjar Pranowo. Karena suaranya lebih dari cukup, partai punya keluarga Bung Karno ini bisa santai. Dalam hal mengusung kandidat, PDIP bersifat menarik. Ibarat magnet, punya kekuatan yang bisa membuat partai lain mendekat. Dengan kata lain, PDIP dibutuhkan. Bukan membutuhkan.
Sekarang Gerindra. Memang benar, partai ini tak cukup syarat daftar sendiri ke KPU. Tapi harus diingat, meskipun tak seperti PDIP, keberadaan Gerindra juga tetap menarik.
Karena yang jadi capres adalah Prabowo Subianto. Ini membuat posisi Gerindra, dalam hal mengusung calon, bisa dikatakan partai anti gagal. Lha iya. Wong yang tanda tangan rekomendasi adalah Ketum-nya sendiri. Sesuatu yang teramat mudah dilakukan.
Beralih ke Nasdem yang juga sudah punya capres. Namanya Anies Baswedan. Harus dipahami, meski begitu posisi Nasdem tak sekuat PDIP dan Gerindra. Eksistensinya rentan.
Alasannya, tak seperti yang diraih oleh PDIP, suara Nasdem amat sangat kecil. Butuh minimal dukungan dua partai untuk dijadikan kawan koalisi. Tambahan lagi, Anies bukan penentu di partai, sebagaimana kedudukan Prabowo Subianto di Gerindra.
Lalu bagaimana Golkar, PKB, PPP, PAN, Demokrat dan PKS. PPP sudah menyatakan diri gabung ke PDIP mendukung Ganjar. Saat ini PPP lagi berupaya mendorong Sandiaga Uno jadi cawapres. Tapi dalam pandangan saya, PPP tidak berani maksa.
Kalau Sandi ditolak, PPP tetap di PDIP. Karena masuknya PPP ke PDIP, semata untuk mendapat efek ekor jas dari Ganjar. Demi menyelamatkan syarat parlemen threshold 4 persen.
Akan halnya PAN. Ada sinyal kuat PAN juga akan ke PDIP. Tapi maksa Erik Thohir jadi pendamping Ganjar. PAN serius mengusung Jarik, atau Ganjar-Erik. Walau demikian, posisi PAN masih goyang.
Kalau Jarik tak masuk hitungan PDIP, PAN bisa nyebrang ke Gerindra, dan sulit masuk ke Nasdem. Karena kedepan, PAN tetap ingin ada di barisan Jokowi. Dimaklumi, selain Ganjar, Jokowi disinyalir kuat juga setuju, bahkan sering mengendorse Prabowo.
Partai Kebangkitan Bangsa atau PKB. Parpol warisan Gus Dur ini jelas ke Gerindra. Benar memang posisi Cak Imin sebagai Ketum yang dicawapreskan oleh PKB dan para ulama, bisa saja ditolak oleh Prabowo. Namun saya yakin tak akan membuat PKB hengkang dari KKIR atau Koalisi Kebangkitan Indonesia Raya yang sudah dibentuk bersama Gerindra.
Mengapa, karena kalau benar cabut dari Gerindra, PKB bakalan rugi besar. Masuk kedalam koalisi lain sama halnya dengan turun derajat. Posisinya tak akan sekuat jika tetap di KKIR.
Cak Imin dan kawan-kawan di PKB pasti sudah menghitung risiko ini. Apalagi jika cawapres yang akan mendampingi Prabowo bisa melunakkan hati Cak Imin. Makin mantaplah PKB di KKIR, meski tak dapat wapres.
Partai peninggalan Orde Baru bernama Golkar. Meski sudah membentuk Koalisi Indonesia Bersatu atau KIB bersama PPP dan PAN, parpol ini sekarang justru mencari celah untuk beda pilihan.
Pasca PPP resmi gabung ke PDIP. Arahnya dekat ke Gerindra dan PKB. Setelah usahanya masuk ke PDIP mentok. Ada potensi sangat besar Golkar gabung ke KKIR.
Demokrat dan PKS juga sama dengan Golkar. Posisinya goyah. Meski keduanya beberapa kali menyatakan tetap setia bersama Nasdem di Koalisi Perubahan Untuk Persatuan atau KPP, namun sangat mengkhawatirkan.
Terlebih melihat proposal Demokrat menyodorkan Sang Ketum jadi cawapres Anies tak mendapat sambutan. Apalagi pasca pertemuan Puan Maharani dan AHY. Tambah kuat indikasi Demokrat keluar dari KPP.
Untuk kemudian masuk ke PDIP, menyusul PPP yang sudah lebih dulu ada didalam “pelukan” Ibu Megawati. Jika terjadi, PKS pasti mikir seribu kali mempertahankan koalisinya bersama Nasdem.
Saya yakin, PKS tak mau kecolongan ditinggal teman-temannya. Mengingat sejarah, partai “islam” ini lebih dekat ke KKIR ketimbang menyusul PPP di PDIP.
Yang nestapa kemudian Nasdem. Parpol yang punya tagline Restorasi dan Tanpa Mahar tersebut lalu jalan sendiri. Nasdem akhirnya akan kebingungan. Hendak mendekat ke PDIP sulit diterima. Karena sudah tega membuat sakit hati Pak Jokowi dan Ibu Mega pasca mencapreskan Anies. Mau ke KKIR malu. Dulu pernah diajak tapi tak mau. Juga gengsi. Karena pasti ada di gerbong paling belakang.
Terakhir soal partai non parlemen. Melihat proses pencalonan, kelompok yang di isi oleh PSI, Perindo, Hanura, dan kawan-kawan sejenis, tak begitu signifikan. Tapi kalau berhimpun untuk kepentingan meraih kemenangan, lumayan berdampak.
Termasuk juga beberapa partai baru yang sekarang ini lolos ikut kontestasi pileg pada 2024 macam Gelora, Partai Buruh dan sebagainya. Untuk kepentingan meraih suara terbanyak, mereka semua layak dijadikan teman koalisi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H