Mohon tunggu...
Zabidi Mutiullah
Zabidi Mutiullah Mohon Tunggu... Wiraswasta - Concern pada soal etika sosial politik

Sebaik-baik manusia, adalah yang bermanfaat bagi orang lain

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih

Pengalaman Pribadi: Regulasi Pengawasan Pemilu Masih Cacat

15 Mei 2023   14:20 Diperbarui: 15 Mei 2023   14:27 342
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kantor Bawaslu di Jakarta, Sumber Foto Bisnis.com

Sebelum lanjut, perlu saya tegaskan soal pemilihan kata cacat pada judul di atas. Bahwa yang dimaksud adalah aturan yang kurang, kosong dan tidak sempurna. Ibarat tubuh manusia, terdapat organ yang hilang. Bisa karena tangan yang buntung atau kaki yang putus. 

Naah, demikian itulah yang saya lihat dari beberapa regulasi atau aturan pemilu tentang tindakan pelanggaran. Yang kemudian dijadikan dasar oleh lembaga pengawas, mulai dari tingkat Bawaslu di Jakarta sana, hingga PKD di tingkat Kelurahan atau Desa sini.

Ya benar. Saya melihat, Pemerintah, DPR, KPU dan Bawaslu kurang cermat saat menyusun, memutuskan, mengurai dan menemukan item-item kebijakan yang harus masuk dalam nomenklatur yang tertuang dalam regulasi pengawasan. 

Kesimpulan saya, ada yang luput dari terawangan beberapa lembaga itu. Padahal, peristiwanya ada potensi sangat besar terjadi di tengah masyarakat. Akibatnya, lembaga pengawas Pemilu tak mampu berbuat apa-apa.

Peristiwa apakah gerangan..? Ini tentang Papan Nama yang ada di Kantor Sekretariat Partai Politik pada semua tingkatan. Sebagaimana dimaklumi, setiap kantor parpol harus memiliki Papan Nama. Yang juga merupakan salah satu syarat yang dilaporkan oleh KPUD kepada KPU saat verifikasi. Meski bangunan kantor berdiri megah dan syarat administrasi yang lain lengkap, namun tak ada Papan Nama, maka eksistensi parpol di anggap tak memenuhi syarat. Intinya, keberadaan Papan Nama sangat urgen.

Ceritanya begini. Terdapat sebuah Partai Politik peserta pemilu 2024 tingkat kecamatan di Kabupaten Bondowoso Jawa Timur, yang memasang Papan Nama di Kantor Sekretariat. 

Masalahnya adalah, posisi Papan Nama tersebut ada di lingkungan pendidikan. Letaknya persis di depan tempat ibadah, bahkan nyaris nempel. Tambahan lagi, berdiri tepat di jalan masuk sebuah Sekolah Dasar Swasta.

Akibatnya, beberapa warga melakukan protes, meski dilakukan secara diam-diam. Saya yang kebetulan ada hubungan dengan masalah Papan Nama itu, baik sebagai pribadi maupun kelembagaan, lalu menampung protes warga. Saya lakukan secara resmi dan formal. Saya datang ke Badan Pengawas Tingkat Kecamatan guna menyampaikan aduan. Dan saya sampaikan secara lengkap duduk masalahnya.

Alhamdulilah, aduan saya di tindak lanjuti dengan baik. Saya juga di beri kabar setiap kali ada perkembangan baru dalam proses investigasi. Bahkan, menurut salah seorang anggota pengawas kecamatan, materi aduan saya hingga di konsultasikan ke tingkat Bawaslu Kabupaten dan Provinsi. Semoga saja juga menjadi atensi Bawaslu Pusat. Agar ke depan, materi aduan saya juga masuk dalam nomenklatur regulasi pengawasan pemilu.

Beberapa tempo kemudian, tepatnya pada hari Senin ini, tanggal 15 Mei 2023, saya mendapat undangan dari pengawas kecamatan. Isi undangan adalah mengharap kedatangan saya di Kantor Sekretariat Panitia Pengawas Pemilu. Perihal Penyampaian Keterangan atas materi aduan yang saya sampaikan beberapa waktu lalu. 

Nah, dari hasil penyampaian inilah yang kemudian mendasari pendapat saya sebagaimana pada judul. Yaitu regulasi yang diterapkan di negara kita tentang Pengawasan Pemilu masih tergolong cacat.

Ilustrasi Penulis Saat Memenuhi Undangan Pengawas Kecamatan, Foto Dokpri
Ilustrasi Penulis Saat Memenuhi Undangan Pengawas Kecamatan, Foto Dokpri

Penjelasan dari anggota pengawas demikian. Pertama, bahwa keberadaan Papan Nama tidak dapat di golongkan sebagai APK atau Alat Peraga Kampanye. Dengan kata lain, Papan Nama bukan APK. Sesuai regulasi, aturan tentang APK sebagaimana tertuang dalam Peraturan KPU Nomor 23 tahun 2018. Disini, diterangkan dengan gamblang apa saja yang termasuk APK.

Dengan fakta seperti itu, maka materi aduan saya tidak dapat di “bedah” menggunakan Peraturan KPU Nomor 23 tahun 2018. Mengapa, karena menurut peraturan ini yang namanya APK adalah meliputi brosur, pamflet, stiker, poster, penutup kepala, pakaian, alat makan minum, kalender dan sebagainya. Pokoknya tidak ada itu yang namanya Papan Nama masuk jenis di sini.

Kedua, masih menurut anggota pengawas kecamatan, bahwa hingga saat ini belum ditemukan regulasi tentang seluk beluk eksistensi Papan Nama yang ada hubungan dengan pelanggaran pemilu. 

Misal soal, bolehkah Papan Nama berada di lingkungan pendidikan, dekat tempat ibadah atau Sekolah Dasar..? Lalu tentang berapa meter jarak antara tempat berdirinya Papan Nama tersebut dengan Kantor Sekretariat Parpol..? Juga tentang status tanah dimana Papan Nama berdiri. Harus milik sendiri, sewa atau seperti apa..?

Kesimpulannya kemudian, aduan saya tentang Papan Nama tidak dapat dikategorikan sebagai bentuk pelanggaran pemilu. Karenanya, pengawas kecamatan tidak dapat melakukan tindakan lebih lanjut dalam bentuk eksekusi. Misal menurunkan atau memindah Papan Nama dimaksud. Tapi sebagai pengadu, jika dirasa kurang puas saya masih di beri kesempatan untuk melangkah lebih jauh. Yaitu membawa soal Papan Nama itu ke tingkat Sengketa Pemilu.

Ketiga, anggota Pengawas Kecamatan juga menyampaikan, dalam hal memproses pengaduan saya, Lembaga Pengawas berpedoman pada dua hal. Yaitu etika dan peraturan. Etika didasarkan pada kemauan pribadi teradu. 

Sementara yang peraturan, didasarkan pada regulasi yang berlaku. Nah, berhubung tidak ada regulasinya, agar aduan saya sampai pada tingkat eksekusi, maka yang kompatibel digunakan sebagai parameter adalah unsur etika. Dalam hal ini, teradu mau secara suka rela menurunkan Papan Nama dimaksud.

Pada akhirnya, keberadaan Papan Nama tingkat kecamatan sebagaimana saya maksud di awal tulisan ini, hingga kini masih tetap berdiri. Meskipun ada di lingkungan pendidikan, dekat tempat ibadah dan Sekolah Dasar. Masalahnya kemudian, kalau problem Papan Nama yang demikian tidak dipikirkan solusinya, dalam arti tetap dalam status quo seperti sekarang ini, akan memunculkan fenomena serupa dikalangan partai-partai lain.

Dengan dalih sebagai persyaratan administratif yang wajib ada, parpol peserta pemilu 2024 lalu berbondong-bondong membuat dan mendirikan Papan Nama di lingkungan terlarang sebagaimana di atur dalam APK. Yang lebih jauh, bisa jadi ada satu atau dua parpol lalu memindahkan Papan Nama. 

Dari tempat yang sebelumnya sudah berdiri, ke tempat lain, misal di areal sebuah Universitas atau Pondok Pesantren. Karena tempat ini dinilai lebih menguntungkan dari segi kampanye, promosi dan brand politik.

Bisakah itu terjadi..? Ya bisa saja. Selain karena di biarkan oleh pengawas pemilu oleh sebab tidak ada regulasi yang mengatur, faktor mendapat ijin secara tertulis dari Si Pemilik lahan juga dapat dijadikan alasan. Jika demikian, maka jangan heran kalau suatu saat nanti, utamanya dekat-dekat pemilu, di berbagai tempat ibadah, sekolah, universitas, pondok pesantren dan lokasi strategis lain, bertebaran Papan Nama beberapa parpol. Wahai DPR RI, Pemerintah, KPU dan Bawaslu, bagaimana ini..?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun