Mohon tunggu...
Zabidi Mutiullah
Zabidi Mutiullah Mohon Tunggu... Wiraswasta - Concern pada soal etika sosial politik

Sebaik-baik manusia, adalah yang bermanfaat bagi orang lain

Selanjutnya

Tutup

Ramadan

Perbedaan Waktu Ramadhan dan Solat Tarawih

21 Maret 2023   08:21 Diperbarui: 29 Maret 2023   09:34 733
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Ramadhan, Sumber Foto Kompas.com

Memasuki bulan puasa ramadhan, bagi kita yang muslim ada baiknya alihkan konsentrasi sejenak. Fokuskan perhatian pada kegiatan menambah amalan-amalan baik. Kalau perlu, taruh di pinggir untuk sementara waktu beberapa urusan yang menimbulkan peluang adanya permusuhan. Termasuk soal-soal politik. Jika tak bisa menghentikan secara penuh, kurangi “rasan-rasan” terhadap lawan. Apalagi hingga mengumbar kekurangan dan aib. Buang jauh-jauh.

Fokus menambah amalan baik pada bulan ramadhan tidak berarti lalu stop melakukan kegiatan lain. Tidak. Bukan ini yang dimaksud. Terlebih yang memang sudah menjadi rutinitas sehari-hari dan ada hubungan dengan profesi. Macam kewajiban kerja di kantor bagi para pegawai. Atau jualan di pasar bagi para pedagang. Tambah amalan baik maksudnya adalah mengerjakan ibadah yang memang khusus di dianjurkan pada bulan Ramadhan.

Salah satunya adalah ibadah Tarawih. Yaitu solat sunnah yang dilakukan pada malam hari, dan sebaliknya tidak boleh pada siang hari. Terdapat banyak versi tentang jumlah rakaat solat sunnah ini. Di negara kita, umumnya menggunakan 11 dan 23 rakaat. Tapi menurut Imam Ibnu Hajar a-Asqalaniy, para ulama ada yang menetapkan 11, 13, 21, 23, 39, 41 dan 47.

Hendak pakai yang mana..? Ya terserah. Yang penting bisa khusuk. Saat sedang solat tarawih pikiran kita tidak melayang kemana-mana. Meski ambil yang 23, tapi pikiran kita masih terbayang sisa kolak buka puasa yang rencananya hendak dihabiskan pasca tarawih, ya tak bernilai apa-apa. Sebaliknya, meski cuma 11 tapi konsentrasi hanya tertuju pada Allah, insyaAllah tarawih kita bernilai “emas 24 karat”.

Soal berapa jumlah rakaat tarawih yang sebaiknya dipilih, mari kita ikuti kisah menarik antara Ketua Umum PP Muhammadiyah periode 1971-1990 KH. Abdur Rozak Fahkrudin atau Pak AR, dengan Ketum PBNU periode 1984-1990 KH. Abdurrahman Wahid atau Gus Dur. Kisah dua tokoh besar panutan ummat ini layak dijadikan inspirasi tentang keterbukaan dan keluasaan ilmu agama dari beliau berdua.

Suatu ketika di bulan Ramadhan, Pak AR di undang oleh Gus Dur hadir ke Pondok Pesantren Tebu Ireng. Dimaklumi, bahwa Ponpes Tebut Ireng merupakan kandang NU. Tempat dimana pendiri NU KH. Hasyim Asya’ri berasal. Karena merupakan kandangnya, maka mau tak mau, model ibadah yang dipilih ya yang sesuai dengan ajaran NU. Bukan yang biasa dilakukan oleh Muhammadiyah.

Saat masuk solat tarawih, sebagai penghormatan Pak AR diminta oleh Gus Dur menjadi Imam. Yang jadi makmum adalah ribuan santri pondok dan warga sekitar yang memang sudah biasa menjadi jamaah masjid. Karena yang minta Tuan Rumah, alhamdulilah Pak AR menyatakan siap sedia. Maka beranjaklah Pak AR dan Gus Dur masuk kedalam masjid yang lokasinya tidak terlalu jauh dari ruang pertemuan.

Sekedar info, warga Muhammdiyah seperti Pak AR terbiasa memilih tarawih 11 rakaat. Sementara NU ambil yang 23. Maka karena ada di kandang NU, sebelum mulai Pak AR tanya dulu kepada para jamaah. “Apakah ini tarawihnya mau pakai cara NU yang 23 atau model Muhammdiyah yang hanya 11 rakaat..”?. Mungkin karena ingin menunjukkan identitas, spontan para jamaah kompak menjawab “model NU-uuuuuuuuuu..”.

Pak AR mengiyakan. Dan mulailah beliau memimpin solat tarawih. Rencananya sebanyak 23 rakaat sesuai permintaan jamaah. Namun siapa tahu. Ternyata gaya Pak AR jadi imam tidak seperti para imam lain. Beliau melakukannya secara pelan, kalem dan halus. Akibatnya, baru delapan rakaat saja, durasi waktunya sudah melebihi solat tarawih 23 rakaat model NU.

Para makmun yang tak terbiasa dengan situasi tersebut nampaknya mulai “celingak-celinguk”. Memahami kondisi yang sedang berkembang, di sela-sela tarawih Pak AR tengok jamaah ke belakang dan bertanya ulang. “Ini tarawihnya lanjut pilih yang 23 rakaat ala NU atau bagaimana..?”. Tak seperti menjawab pertanyaan yang pertama tadi, diselingi gelak tawa untuk kali ini para jamaah justru kompak menjawab “ambil yang ala Muhammadiyah sajaaaaaaaaaaaaaaa”.

Usai tarawih dan juga witirnya, Gus Dur memberi sambutan. Salah satu yang beliau sampaikan adalah soal perubahan jumlah rakaat. Dari yang awalnya sebanyak 23 ala NU, lalu pindah hanya 11 rakaat ala Muhammadiyah. Kata Gus Dur ketika itu,”Dalam sejarah baru kali ini terjadi, ada warga NU di-Muhammadiyah-kan secara massal hanya oleh seorang anggota Muhammadiyah..”. Pak AR dan para jamaah terkekeh mendengar komentar Gus Dur.

Begitulah sikap inklusif beliau berdua. Meski beda pandangan fiqh, tak membuat itu sebagai pertentangan secara diametral. Sebaliknya, malah dijadikan momen saling memperkaya. Ini semua tak lain karena kompetensi keilmuan yang memang sudah sampai pada maqam ‘allamah. Artinya, Pak AR dan Gus Dur sangat-sangat alim. Beliau bukan ulama karbitan yang belakangan ini marak bermunculan. Baru kenal agama saja, sudah berani kasih lebel bid’ah atau bahkan kafir kepada sesama muslim.

Menghadapi jatuhnya awal ramadhan yang bisa jadi juga berbeda antara Muhammdiyah dan NU, sikap terbaik adalah meniru Pak AR dan Gus Dur. Sebagaimana kita maklum, bahwa Muhammadiyah sudah ambil keputusan dimulainya puasa tahun ini jatuh pada tanggal 23 Maret 2023. Dengan demikian dapat dipastian, pada Kamis besok lusa warga Muhammdiyah sudah mengharamkan makan minum di siang hari.

Sementara NU belum mengeluarkan keputusan. Organisasi yang sebenarnya merupakan “adik’ dari Muhammdiyah sebab lahir belakangan dan para pendiri keduanya merupakan satu “saudara” karena berguru pada ulama yang sama yakni KH. Ahmad Kholil Bangkalan, biasanya masih menunggu keluarnya hilal. Yaitu bulan sabit muda yang sangat tipis dan muncul tiap awal bulan baru.

Lalu kapan kita umat muslim bisa memulai solat sunnah tarawih..? Ya tergantung ikut yang mana. Kalau anda kebetulan warga Muhammdiyah, solat tarawih akan dimulai pada hari rabu malam kamis mendatang ini. Tapi bagi anda yang warga NU, tentu harus tunggu keputusan lebih lanjut. Bisa sama atau beda dengan Muhammadiyah. Tergantung keluarnya hilal.

Saya sendiri oleh Allah dilahirkan dan dibesarkan dikalangan NU. Jadi saya tunggu keputusan PBNU. Meski NU tulen, tapi saya “ditaklukkan” oleh seorang warga Muhammadiyah. Siapa gerangan..? Tak lain istri saya. Ya benar. Jodoh saya oleh Allah dilahirkan dan dibesarkan di lingkungan Muhammadiyah. Lalu bagaimana..? Ya biasa saja. Seperti halnya Pak AR dan Gus Dur, kita jadikan perbedaan itu sebagai kekayaan intelektual. Bahkan disaat tertentu jadi guyonan. Heheeeeeeeee….

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ramadan Selengkapnya
Lihat Ramadan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun