Pasca ada gugatan terhadap sistem proporsional terbuka ke Mahkamah Konstitusi atau MK yang dilayangkan oleh sekelompok masyarakat, wacana tentang model pemilu hingga kini masih jadi perdebatan. Tak kurang, berbagai elemen baik lembaga pemerintah, swasta maupun perorangan buka suara. Ada yang setuju gugatan dikabulkan. Tapi tak sedikit pula yang ingin tetap menggunakan proporsional terbuka.
Kalau yang kasih tanggapan memiliki benang merah, dalam arti ada kaitan dengan tekhnis pelaksanaan pemilu atau pakar yang punya kompetensi dibidang politik, malah bagus. Bisa jadi pertimbangan hakim MK dalam memutus perkara. Namun jika disampaikan oleh yang tak ada kaitan sama sekali, bisa dipersepsikan hendak intervensi. Alias ingin memberi pengaruh.
Ini seperti yang dilakukan oleh BPIP. Sebuah lembaga yang dibentuk sejak masa Presiden Jokowi memimpin Indonesia. Sekedar info ulang, BPIP adalah singkatan dari Badan Pembinaan Ideologi Pancasila. Secara kelembagaan ada dibawah presiden. Dan kepada presiden pula lembaga ini bertanggung jawab. Untuk masa jabatan 2022 s/d 2027, dilegalisasi berdasar Keputusan Presiden RI Nomor 56/P Tahun 2022.
BPIP memiliki dua susunan organisasi. Pertama ada yang namanya Pelaksana. Dipimpin oleh seorang Kepala. Saat ini dijabat oleh Yudian Wahyudi. Kedua, ada pula yang namanya Dewan Pengarah. Pimpinannya disebut Ketua. Saat ini, yang mendapat mandat dari Jokowi sebagai Ketua adalah Megawati Soekarno Putri. Yang juga merupakan Ketua Umum PDIP. Sebuah partai politik yang pastinya sangat-sangat berkepentingan terhadap sistem pemilu.
Aneh bin ajaib, untuk tidak mengatakan latah, BPIP ikut-ikutan pula bicara soal sistem pemilu proporsional terbuka yang sekarang lagi di gugat ke MK itu. Lebih jauh, bahkan ingin membentuk Tim. Guna dilakukan evaluasi terhadap UU Pemilu. Tujuannya, sebagaimana disampaikan oleh Yudian Wahyudi, “..supaya pemilu besok lebih pancasilais konstitusional” (DetikNews, 16/02.2923).
Sementara itu, partai-partai yang punya kursi di DPR RI macam Gerindra, Golkar, PKB, Demokrat, Nasdem, PKS, PAN dan PPP ingin pemilu 2024 tetap menggunakan sistem proporsional terbuka. Penentuan caleg jadi diputuskan berdasar suara terbanyak. Dan anda tahu, satu-satunya partai yang ingin proporsional tertutup, atau caleg jadi ditentukan oleh nomor urut yang disusun oleh parpol, hanya PDIP sendirian.
What.? Saya, dan mungkin anda-anda sekalian jadi bertanya-tanya. Ada apa ini..? Apakah karena Ketua Dewan Pengarah BPIP Megawati, seorang Ketua Umum partai bernama PDIP, yang jelas-jelas ingin merubah sistem pemilu dari terbuka jadi tertutup, lalu BPIP ada inisiatif membentuk Tim Kajian UU Pemilu..? Apakah punya tujuan mempengaruhi persepsi publik dan para hakim MK..?
Mencoba cari jawaban atas pertanyaan tersebut, saya inisiatif membuka ulang Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 07 tahun 2018, tentang BPIP. Saya pantengi dari awal hingga akhir. Untuk menemukan korelasi, atau hubungan antara tugas dan kewenangan BPIP yang terkait langsung dengan tekhnis pelaksanaan pemilu. Apa karena kurang jeli atau memang tidak ada, saya tak menemukan materi itu.
Yang saya dapat cuma satu hal. Yaitu, BPIP punya tugas dan fungsi yang khusus ada kaitan dengan prinsip-prinsip pembinaan ideologi pancasila. Yang meliputi koordinasi, sinkronisasi dan pengendalian secara menyeluruh serta berkelanjutan dalam hal melaksanakan standardisasi. Termasuk penyelenggaraan pendidikan atau pelatihan. Ada juga kalimat “memberikan rekomendasi berdasar hasil kajian terhadap kebijakan atau regulasi yang bertentangan dengan pancasila”.
Sekali lagi, saya tidak menemukan klausul yang jelas dan gamblang memberi tugas dan wewenang kepada BPIP membicarakan tentang tekhnis pemilu, macam sistem proporsional terbuka atau tertutup. Kalaupun toh mau dipaksakan untuk di gatuk-gatukkan, maksimal adalah memberi rekomendasi kepada pemerintah dan partai politik atau komponen masyarakat lain, jika BPIP melihat ada penyimpangan terhadap nilai-nilai pancasila saat pemilu.