Mohon tunggu...
Zabidi Mutiullah
Zabidi Mutiullah Mohon Tunggu... Wiraswasta - Concern pada soal etika sosial politik

Sebaik-baik manusia, adalah yang bermanfaat bagi orang lain

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Batas Kekuatan Magnet Anies dan Peluang Selain Capres

26 Januari 2023   08:22 Diperbarui: 26 Januari 2023   08:39 554
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Magnet Anies Baswedan Terlalu Kecil, Sumber Foto 99.co

Labuhan pencapresan Anies Baswedan, yakni Partai Nasdem hingga kini belum mampu meyakinkan partai politik calon teman koalisi. Terkini bahkan makin jauh. Adalah PKS dan terutama Demokrat yang membuat Nasdem kesulitan demikian. Nasdem sekarang terlihat mau putus asa. Hingga menyatakan rela tak meneruskan pencapresan Anies Baswedan.

Akibat itu, Anies jadi “korban”. Tak bisa meneruskan cita-cita menggantikan Jokowi sebagai presiden. Padahal, kemarin-kemarin sebelum di “caplok” oleh Nasdem, figur Anies berkibar cukup menjanjikan. Namanya bahkan disebut oleh hampir semua partai politik. Termasuk di wacanakan berpasangan dengan Ketua DPR RI Puan Maharani.

Kini, beberapa parpol yang dulu pernah menyebut Anies kelihatan sudah punya figur lain untuk ditarungkan pada pilpres 2024. Jadinya, mantan Gubernur DKI Jakarta itu terkunci ada di Nasdem. Menghadapi soal ruwetnya pencapresan Anies, partai “milik” Surya Paloh itu berusaha cari langkah solutif. Mungkin masih berharap bisa jalan terus untuk daftar ke KPU.

Wakil Ketua Umum Nasdem Ahmad Ali menyatakan, pihaknya menyiapkan alternatif koalisi lain. Guna melanjutkan pencapresan Anies Baswedan. Dikutip dari Kompas.com 25 Januari 2023, kata Ali, “Ketika kemudian (koalisi) ini terhambat dengan persyaratan yang tak mungkin kita penuhi, tentunya kita harus punya alternatif-alternatif”. Masalahnya sekarang, bagaimana dan seperti apa jenis alternatif tersebut..?

Jawab atas pertanyaan tadi tentu harus ada. Bukan hanya sekedar wacana. Apalagi cuma ucapan janji kosong dari pihak yang sebelumnya menggebu-gebu mengorbitkan nama Anies. Mengapa harus ada, ya agar langkah pencapresan Anies menemukan kepastian. Jadi atau tidak. Kalau jadi bersama partai apa. Dan kalau tidak, bagaimana sebaiknya kedepan.

Berharap sokongan dari parpol selain Demokrat-PKS saya kira butuh keajaiban. Golkar, PPP dan PAN yang ada di Koalisi Indonesia Bersatu punya slot figur capres cukup banyak. Anies sulit masuk. Mau menarik Gerindra PKB di “Kebangkitan Indonesia Raya” tak mungkin. Karena kedua partai sepakat mencapreskan Prabowo Subianto. Di PDIP apalagi. Bu Megawati telah mengunci akan ambil kader sendiri.

Bagaimana dengan kemungkinan menggaet partai tak lolos senayan..? Pada pileg 2019 partai-partai tersebut meliputi Perindo, Berkarya, PSI, Hanura, PBB, PKPI dan Garuda. Saya hitung, meski semua mampu di ambil oleh Nasdem, gabungan suaranya masih belum cukup syarat presidential threshold. Apalagi, mayoritas partai gurem itu kelihatan tak ada minat mengusung Anies.

Sebelumnya, Anies Baswedan dikenal sosok relatif cukup cerdas. Terutama di bidang akademik. Pengalamannya menempuh pendidikan hingga keluar negeri di lembaga bergengsi, ditambah pernah menjadi Rektor Universitas Paramadina, sanggup menjadi magnet dikalangan kelompok tertentu. Menarik minat mereka untuk menjagokan Anies eksis di bidang politik. Pada tahun 2017, upaya kelompok itu sukses menjadikan Anies Gubernur DKI Jakarta.

Masalahnya sekarang, sedotan magnet Anies bersifat parsial. Hanya efektif di area publik. Sebaliknya, tak mampu menembus rasa simpati kelompok partai. Padahal, pintu masuk meraih sukses menduduki jabatan sebagai kepala daerah dan presiden, ya hanya dengan cara dibawa oleh partai. Bukan oleh kelompok masyarakat yang eksistensinya tersebar di “luaran sana”.

Sekedar pengingat, regulasi yang berlaku dinegara kita dalam hal menduduki jabatan pemerintahan melalui rebutan vox pop, secara garis besar memberi amanat harus ada tahapan pencalonan dan pemilihan. Tahapan-tahapan ini wajib terpenuhi. Seorang kandidat yang bisanya cuma meraih salah satu, dipastikan hanya sekedar otopis. Alias mimpi di siang bolong.

Otoritas pencalonan ada di dalam kekuasaan partai politik. Sementara pada tahap pemilihan, kewenangan publiklah yang memainkan peran. Berhasil menembus kekuasaan partai dan sukses menyedot suara publik, dipastikan menang pertarungan. Tapi kalau tidak, silahkan para kandidat mempersiapkan diri untuk kecewa. Asal jangan stres hingga masuk rumah sakit jiwa.

Kekuatan magnet Anies Baswedan, yang dalam ilmu fisika di sebut medan gaya, ternyata sangat terbatas. Bisanya cuma mampu menarik Partai Nasdem. Sementara buat menjangkau ke Demokrat dan PKS, apalagi hingga ke Gerindra, PKB, Golkar, PPP, PAN dan terlebih PDIP, medan gayanya terlalu kecil. Mungkin tak cukup “dana” untuk beli magnet yang lebih besar.

Lha kalau sampainya cuma sebatas di Nasdem, bagaimana mau ikut pertarungan rebutan vox pop. Ya tidak bisa. Karena nama yang bersangkutan tak tercantum di kertas suara. Hendak bikin kertas suara sendiri, ya jelas mustahil. Sebab yang sampai ke tangan publik adalah yang dikeluarkan oleh KPU. Bukan kertas suara yang di cetak sendiri oleh Partai Nasdem.

Kelihatannya, medan gaya Anies Baswedan mirip-mirip Ketua Umum Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono atau AHY. Daya sedot magnet keduanya sama-sama terhenti di partai. Dan tak bisa diteruskan ikut pertarungan rebutan suara publik. Bedanya cuma di status. Kalau Anies “numpang” di Nasdem. Sementara AHY merupakan pemilik partai Demokrat.

Sekedar masukan. Jika Anies Baswedan masih berminat meneruskan karir di dunia politik, ada baiknya saat ini mencari langkah lain. Jangan hanya fokus pada kontestasi pilpres 2024. Dua alternatif yang bisa dipilih. Pertama, misal kembali mencalonkan diri pada perhelatan pilgub DKI Jakarta mendatang. Terlebih, selaku mantan Gubernur Anies tentu sudah punya modal. Baik suara maupun jaringan.

Atau pilih alternatif yang kedua. Yaitu ikut rebutan menjadi Ketua Umum Partai Politik. Ini jika Anies masih kukuh mengejar jabatan presiden. Dalam konteks pilpres, menjadi “pemilik” partai pasti sangat-sangat menguntungkan. Meski kalah survei, tapi punya power tinggi. 

Sebagaimana potensi yang dimiliki oleh Muhaimin Iskandar atau Cak Imin. Elektabilitas boleh kalah sama Anies. Tapi dalam hal mengajukan kandidat, Anies di “asapi” oleh Cak Imin.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun