Mohon tunggu...
Zabidi Mutiullah
Zabidi Mutiullah Mohon Tunggu... Wiraswasta - Concern pada soal etika sosial politik

Sebaik-baik manusia, adalah yang bermanfaat bagi orang lain

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Sebaiknya Reshuffle Menteri Nasdem Bukan Karena Pencapresan Anies

6 Januari 2023   08:38 Diperbarui: 6 Januari 2023   08:40 288
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Surya Paloh dan Anies Baswedan Saat HUT Nasdem, Sumber Foto Kompas.com

Makin kesini, wacana reshuffle kabinet tambah menguat. Diketahui, pertama kali di hembuskan oleh salah seorang Ketua DPP PDI Perjuangan Djarot Saiful Hidayat. Anggota Komisi IV DPR RI ini secara terang-terangan tembak dua Menteri asal Nasdem. Yaitu Syahrul Yasin Limpo dan Siti Nurbaya. Keduanya adalah mitra kerja Djarot. Selain Syahrul dan Siti, menteri dari Nasdem lainnya adalah Johnny G. Plate.

Menanggapi wacana Djarot, Sekretaris Jenderal PDIP Hasto Kristiyanto bersikap regulative. Berhubung soal pergantian Menteri merupakan hak prerogratif Presiden, Hasto menyerahkan sepenuhnya pada keputusan Jokowi. Dikutip dari Liputan6.com, 03/01/2023, kata Hasto reshuffle tak mungkin terjadi tanpa persetujuan kepala negara. Dan Presiden pasti memiliki kalkulasi matang.

Presiden mencopot menteri sah-sah saja. Mengapa, karena meski merupakan bos para pejabat structural yang notabenenya ASN, pengangkatan menteri tak lepas dari proses politik. Makanya, jabatan menteri tak “kekal abadi” macam PNS yang baru berhenti ketika masuk masa pensiun. Jabatan menteri tergantung kondisi. Hendak dipakai lima tahun, atau setahun saja, ya terserah Presiden.

Walau demikian, tak mudah mencopot seorang Menteri. Sebab jejaring yang melingkupinya agak rumit. Bukan hanya terhubung dengan lingkup kementerian di bawah lembaga kepresidenan. Tapi juga terkoneksi hingga ke gedung parlemen. Anda tahu, diantara para Menteri merupakan “titipan” beberapa parpol. Mencopot secara sembarangan, bisa ada pengaruh terhadap dukungan anggota Fraksi DPR RI.

Kalau benar para Menteri dari Nasdem hendak di copot, setidaknya ada tiga alasan yang mungkin dipakai oleh Jokowi. Pertama karena faktor potensial bergabung ke partai oposisi. Yaitu Demokrat dan PKS. Ini sebagaimana pendapat Direktur Eksekutif Charta Politika Yunarto Wijaya. Katanya, presiden sebaiknya melihat rencana Nasdem untuk berkoalisi dengan Demokrat dan PKS sebagai dasar merombak para menteri Nasdem (Kompas.com, 05/01/2023).

Terlebih, belakangan ada perubahan sikap Nasdem di parlemen. Kata Hasto Kristiyanto, disarikan dari Liputan6.com 03 Januari 2023, dirinya terima banyak laporan, utamanya dari Fraksi PDIP DPR RI. Tentang beberapa perubahan sikap Nasdem pasca pengumuman Anies Baswedan sebagai capres. Yang secara etika politik tentu tak dapat dibenarkan.

Kalau sudah begitu, pastinya dapat mengganggu terhadap perjalanan kebijakan Presiden. Yang fundamental ketika butuh persetujuan Fraksi di parlemen. Maunya Jokowi ke “Barat”. Tapi Nasdem menentang justru ke “Timur”. Padahal, anggota koalisi lain macam PDIP, Gerindra, Golkar, PKB, PPP dan PAN, justru “meng-amini” kemauan Jokowi. Jadinya bertolak belakang kan.

Dampak lain, dukungan anggota DPR RI jadi berkurang. Berdasar peta koalisi sebelumnya, jumlah anggota yang mendukung Jokowi total sebanyak 471 orang. Yang berasal dari PDIP 128, Golkar 85, Gerindra 78, Nasdem 59, PKB 58, PAN 44 dan PPP 19 kursi. Dengan beralihnya posisi Nasdem jadi oposisi, otomatis akan berkurang menjadi 412.

Kedua, karena alasan kinerja. Untuk yang ini, Jokowi bisa menggunakan hasil survei sebagai parameter. Akhir tahun lalu, Poltracking Indonesia pernah rilis tingkat kepuasan publik terhadap kinerja tiga orang menteri dari Partai Nasdem. Hasilnya, Siti Nurbaya mendapat 50,6 persen, Johnny G Plate 50,5 persen, dan Syahrul Yasin Limpo 50 persen.

Tapi, menggunakan ukuran kinerja berdasar hasil survei dalam mencopot para Menteri dari Nasdem, mengandung konsekwensi menyeluruh. Apa itu..? Semua Menteri, baik yang berasal dari parpol maupun kelompok professional, juga harus di evaluasi. Sebab kalau tidak, Jokowi bisa di anggap tak adil. Meng-anak emaskan satu golongan, hanya demi menyingkirkan kelompok lain.

Dalam konteks itu, sebagai pembanding perlu kita simak hasil survei kepuasan publik terhadap para Menteri dari PDIP. Lagi-lagi saya dasarkan pada data Poltracking Indonesia. Tri Rismaharini misalnya. Menteri Sosial pengganti Bu Khofifah yang “kadang” marah-marah ini, mendapat hasil sebanyak 54,70 persen. Lalu MenSesKab Pramono Anung 52,2 persen.

Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly 50,5 persen dan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak I Gusti Ayu Bintang 51 persen. Hanya Abdullah Azwar Anas yang ratingnya ada dibawah 50 persen. Menteri yang merupakan mantan Bupati Banyuwangi ini cuma dapat 47 persen. Mungkin karena masih baru menjabat. Jadi belum kelihatan sepak terjang Pak Anas.

Ketiga, Presiden mereshuffle Menteri dari Nasdem karena alasan putuskan Anies Baswedan sebagai capres pada pilpres 2024. Meski jalan ini bisa saja di pakai, tapi mengandung resiko cukup berat. Makanya, Yunarto Wijaya kasih saran. Agar Jokowi tak menjadikan deklarasi Anies untuk mencopot Syahrul Yasin Limpo, Siti Nurbaya dan Johnny G. Plate.

Saya sependapat dengan Yunarto. Mengapa, karena merupakan jalan lempang bagi Nasdem dan Anies untuk makin memperkuat dukungan. Saya pernah membahas hal ini pada tulisan sebelumnya. Bahwa kalau benar para menterinya dikeluarkan oleh Jokowi, Nasdem bisa memanfaatkan situasi itu jadi materi kampanye. Caranya, posisikan diri sebagai Partai yang di dholimi oleh Jokowi. Persis strategi SBY dulu saat nyapres di 2004.

Anies juga akan dapat keuntungan. Hal ini disampaikan oleh Pengamat politik dari lembaga survei Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC), Sirojuddin Abbas. Disarikan dari Kompas.com 05/01/2023, menurut Abbas simpati dan dukungan terhadap Anies Baswedan sebagai capres dari Nasdem akan tambah menguat. Apabila Syahrul Yasin Limpo, Siti Nurbaya dan Johnny G. Plate didepak oleh Presiden Joko Widodo.

Kita maklum, berdasar pengalaman yang sudah-sudah, publik dibawah nampaknya tak terbiasa menelusuri sebab. Tapi fokus pada akibat. Melihat para Menteri dari Nasdem dipecat oleh Jokowi, publik akan langsung punya asumsi gara-gara Nasdem mencapreskan Anies. Yang juga bisa diartikan, Jokowi bukan seorang negarawan. Karena tak mampu bersikap legowo.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun