Sebelumnya, pernah saya tulis tentang tiga PR yang wajib dituntaskan oleh Anies Baswedan selaku capres partai Nasdem. Jika tidak, Anies terancam tak bisa melanjutkan cita-cita sebagai pengganti Presiden Jokowi. Meski beda sudut pandang, kini muncul pendapat serupa. Adalah pengamat politik UIN Syarif Hidayatullah Adi Prayitno yang menyampaikannya.
Disarikan dari tayangan Kompas.com 17/12/2022, Mas Adi menilai moncernya elektabilitas Anies hanya sebuah eforia sesaat. Memang harus diakui. Pemilihan momentum sudah menggunakan desain yang luar biasa. Yakni tepat sebulan sebelum Anies lengser sebagai Gubernur DKI Jakarta. Tapi itu juga mengandung kelemahan. Lama-lama publik akan bosan dengan sendirinya.
Akibatnya, ke depan Anies bisa kehilangan power. Tak ada daya dan kemampuan untuk melangkah secara maksimal. Gerakannya bisa sulit, berat dan loyo. Macam kerupuk yang dibuka bungkusnya. Atau tak di taruh dalam toples tertutup rapat. Dibiarkan kena angin. Akhirnya, yang biasanya terasa renyah ketika di gigit, kini jadi melempem.
Saya lihat, power dimaksud meliputi dua hal. Pertama soal isu politik. Seperti kita maklum, kemana-mana yang dibawa Anies selalu tentang eksistensi dirinya selaku capres dan partai pengusung. Saat orasi di depan para pendukung, atau lebih tepatnya konstituen Partai Nasdem, yang di utarakan tak lain adalah pertanyaan : “Siapa Presidennya..” dan “Apa Partainya..”.
Meminjam kalimat Mas Adi, narasi yang disampaikan Anies dalam setiap safari politik itu-itu saja. Senada, menurut pandangan saya Anies dan Tim Kreatif belum memunculkan isu lain. Kehabisan ide atau memang sengaja sebagai strategi. Untuk kemudian di keluarkan nanti saat waktunya tiba...? Tak tahulah saya. Tapi kalau hal demikian dibiarkan berlanjut, prediksi di atas akan jadi kenyataan.
Kedua, posisi yang tak jelas kelaminnya. Lagi-lagi pinjam istilah Mas Adi. “Semuanya serba nanggung”. Mau tetap di kanan, rasanya risih. Hendak pindah ke kiri, tak enak. Mau geser ke tengah, tak bisa. Pendek kata, pasca deklarasi belum ada kejutan lain yang mampu di ekspose oleh Anies dan Partai Nasdem. Bisanya, ya cuma sekedar deklarasi itu.
Anda tahu posisi Demokrat dan PKS dihadapan pemerintahan saat ini..? Ya benar. Mereka berdua adalah oposisi. Sebaliknya Partai Nasdem. Dua kali perhelatan pilpres pada 2014 dan 2019, selalu bersama Jokowi sebagai koalisi. Juga rutin mendapat jatah menteri di kabinet. Saya lihat, cukup strategis juga jabatan yang diberikan oleh presiden kepada kader Nasdem.
Posisi Anies setali tiga uang dengan Demokrat dan PKS. Ada di seberang Jokowi. Bahkan kapan hari Zulfan Lindan kasi andai-andai. Bahwa Anies merupakan Antitesis Jokowi. Sekarang, Nasdem ada rencana kuat akan bersama Demokrat dan Nasdem. Dalam konteks kepentingan yang sama pula. Yakni usung Anies sebagai capres.
Jadinya membingungkan. Demokrat, PKS dan Anies oposisi. Sementara Nasdem rekan koalisi. Di saat bersamaan, menurut gambaran Mas Adi partai Nasdem selalu gembar-gembor akan meneruskan program yang di canangkan Jokowi. Pertanyaannya kemudian, bagaimana jika nanti Anies menang pilpres 2024..? Soal IKN Nusantara misalnya. Hendak dilanjutkan atau tetap di Jakarta..? Naahh lhooo.. Pusing kan..
Apa yang saya ungkap di atas merupakan gambaran awal tentang rentetan masalah. Bahwa pencapresan Anies oleh Nasdem yang rencananya diteruskan menarik Demokrat dan PKS sebagai rekan koalisi, senantiasa di buntuti oleh potensi munculnya problem lanjutan. Kalau benar Nasdem akan meneruskan program Jokowi, kelak pasti akan di tentang oleh Demokrat, PKS dan Anies.
Tapi kalau tidak, dalam arti akan ikut arus Demokrat PKS Anies, maka janji Nasdem melanjutkan program Jokowi hanya lips servis belaka. Mungkin sekedar ingin ngapus-ngapusi. Supaya Pak Presiden tak mengeluarkan para kadernya yang ada di Kabinet. Juga untuk tetap menarik simpati rekan partai sesama koalisi. Macam PDIP, Gerindra, PKB dan PAN. Agar tak marah kepada Nasdem.
Nampaknya, demi kepentingan membawa Anies Baswedan menang rebutan vox pop, lalu kemudian leading sampai pada momentum dilantik sebagai presiden nanti, tak cukup hanya sekedar deklarasi. Butuh langkah lain yang sifatnya inovatif dan kreatif. Agar eksistensi Anies sebagai capres tak lekang oleh waktu dan suasana. Terlebih, kesanggupan Demokrat dan terutama PKS untuk jadi bergabung, hingga kini juga tetap ngambang.
Padahal, bakal capres dari Gerindra Prabowo Subianto dan usungan rakyat Ganjar Pranowo, saya lihat masih tak berbuat apa-apa. Mengutip statemen Mas Adi tentang hal ini, para “kandidat capres lainnya sama sekali belum melakukan safari politik”. Sementara Anies, sudah aktif mengadakan sosialisasi ke berbagai tempat. Yang oleh sebagian pihak dianggap kampanye terselubung.
Ya benar, dalam konteks pencapresan Prabowo Subianto nampaknya tak terlalu berpikir tentang sosialisasi. Padahal eksistensinya tak jauh beda dengan Anies. Sama-sama sudah di deklarasikan. Prabowo oleh Gerindra. Sementara Anies oleh Nasdem. Saat ini, Prabowo nampak sibuk melakukan kegiatan membantu Presiden Jokowi. Dan ekspose aktivitas Prabowo di berbagai media, ya baru seputar tugas sebagai Menteri tersebut.
Ganjar Pranowo juga demikian. Capres yang hingga kini diambangkan oleh PDIP ini, sebagaimana dikatakan berkali-kali, konsisten dan serius melaksanakan tanggung jawab sebagai Gubernur Jawa Tengah. Sama sekali tak memperlihatkan pencapresan dirinya oleh rakyat, sebagaimana di tunjukkan Anies Baswedan. Ganjar taat aturan untuk menjaga otoritas Megawati. Serta menghormati regulasi soal kampanye oleh KPU.
Sekarang tinggal kita tunggu perkembangan berikutnya. Jika Nasdem, Anies dan Tim Kreatif-nya tetap hanya mengandalkan deklarasi, lalu istiqamah mengangkat isu dirinya sebagai capres dan Nasdem partai pilihan, serta tak sanggup mencari inovasi lain, maka eforia sebagaimana di maksud Mas Adi akan terbukti. Elektabilitas Anies akan melempem bagai kerupuk yang dibiarkan kena angin.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H