Mohon tunggu...
Zabidi Mutiullah
Zabidi Mutiullah Mohon Tunggu... Wiraswasta - Concern pada soal etika sosial politik

Sebaik-baik manusia, adalah yang bermanfaat bagi orang lain

Selanjutnya

Tutup

Politik

Perang Hasil Survei Menuju Pileg dan Pilpres 2024

30 November 2022   07:51 Diperbarui: 30 November 2022   07:56 511
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Partai Politik, Sumber Foto Kompas.com

Makin dekat pilpres 2024, terjadi “perang” survei. Entah pesanan atau bukan, yang jelas beberapa lembaga mengeluarkan hasil berbeda. Kita tentu jadi bertanya-tanya, kok bisa tidak sama. Padahal, yang namanya pemenang dalam kontestasi rebutan vox pop didunia politik itu kan cuma satu. Tak mungkin dua, apalagi hingga tiga atau empat.

Tapi sudahlah. Tak perlu kita urus soal itu. Biar menjadi penelitian para ahli, sejauh mana validitas akurasi masing-masing. Kita yang hanya sebagai penonton, cukup melihatnya dari laporan media. Namun jangan kesusu tentukan sikap. Lakukan perbandingan informasi dan telisik kredibilitas lembaga survei. Baru kemudian ambil keputusan. Agar kita tak kecele. Apalagi cuma jadi obyek permainan para politisi.

Sebelumnya, Litbang Kompas pernah rilis hasil survei tentang tren pilihan partai politik. Diselenggarakan pada rentang waktu 24 September-7 Oktober 2022 secara tatap muka. Hasilnya, parpol papan atas ditempati secara rangking oleh PDIP, Gerindra, Golkar dan Demokrat. Sementara papan bawah berturut-turut ada PKB, PKS, Nasdem, PAN dan terakhir PPP.

Pada Senin 28/11/2022 kemarin, Indopol keluarkan hasil survei tentang tren serupa. Cuma ketika lihat posisi papan atas, hasilnya beda jauh. Partai Nasdem yang di Litbang Kompas ada di papan bawah urutan ke-7, loncat cukup tinggi ke rangking-3. Mengalahkan Golkar yang ada di ranking-4. Sementara pemenang pertama dan kedua tetap PDIP dan Gerindra.

Katanya sich, kenaikan signifikan yang dialami partai Nasdem karena efek ekor jas setelah Surya Paloh putuskan Anies Baswedan sebagai capres. Benar atau tidak, sekali lagi biarlah diteliti oleh para pakar. Juga dapat kita lihat hasilnya nanti ketika sudah terlaksana pemilu legislatif tahun 2024. Meskipun memang tetap jadi pertanyaan, selama belum ada bukti valid.

Kembali ke bahasan utama. Diolah dari berbagai sumber, tak mau kalah Median rilis survei tentang simulasi “adu banteng” capres-cawapres di pilpres 2024. Survei yang diadakan pada rentang waktu 9-17 November 2022, meskipun dihadapkan pada 5 skenario lawan, menempatkan pasangan Prabowo-Cak Imin sebagai pemenang. Rata-rata, hasil perolehan pasangan ini sebesar 29.25.

Beda lagi yang dihasilkan oleh Charta Politika. Walau tak pakai simulasi pasangan, namun saya kira cukup mewakili untuk dijadikan rujukan. Survei yang diadakan pada rentang waktu 4-12 November 2022, menempatkan Ganjar Pranowo sebagai pemenang. Gubernur Jateng ini nendapatkan angka 32,6%. Urut kedua Anies Baswedan 23.1%. Dan ketiga Prabowo Subianto 22%.

Selain Median dan Charta Politika, Indopol serta Litbang Son Po tak mau kalah merilis hasil survei tentang capres. Dari Indopol, yang diselenggarakan pada rentang waktu 8-14 November 2022, didapat data Anies Baswedan muncul sebagai pemenang. Dapat angka sebesar 25.09%. Lalu dibawah Anies ada Ganjar Pranowo 22.03% serta Prabowo Subianto 13.50%.

Sama waktunya dengan Indopol, Litbang Sin Po juga mengadakan survei pada rentang waktu tanggal 8-14 November 2022. Lembaga ini menggunakan enam simulasi capres. Namun tanpa cawapres. Dari ke enam-enamnya, Prabowo jadi raja. Hasil angkanya sangat tinggi. Hingga mencapai rata-rata 41.8%. Sementara Ganjar Pranowo, Anies Baswedan dan yang lain ada dibawah Prabowo.

Apakah kedepan bakal muncul lagi berbagai hasil survei..? Pasti. Mengapa..? Karena diakui atau tidak, hasil survei adalah alat mempengaruhi keputusan konstituen. Dengan kata lain, akan dijadikan bahan oleh para politisi atau kandidat. Yang pada akhirnya dirujuk oleh seorang pemilik suara dalam menentukan keputusan hendak pilih figur siapa.

Anda tahu, sebelum pemilik suara tentukan keputusan, pastilah melalui proses. Secara kualitas, proses dimaksud bertumpu pada setidaknya tiga hal. Kualitas paling rendah adalah menjatuhkan pilihan karena faktor perasaan. Ya benar. Saat hendak coblos kertas suara, yang jadi pertimbangan adalah like dislike. Senang atau benci. Tanpa perlu melihat kemampuan atau penunjang lain.

Kualitas menengah atau agak bagus adalah faktor mendengar. Pemilik suara yang masuk kategori ini, punya tahap sedikit lebih baik dibanding yang lewat perasaan. Mengapa, karena prosesnya masih menggunakan unsur logika. Meski kurang maksimal. Sebelum menjatuhkan pilihan, terlebih dahulu berupaya cari info keberbagai sumber. Begitu dapat serta dirasa cocok, barulah ambil keputusan.

Yang paling bagus dan punya kualitas ciamik adalah yang melalui proses maksimal. Disamping ada upaya mendengar dari berbagai sumber, juga diimbangi upaya untuk melihat fakta secara langsung. Pemilik suara model begini, biasanya tak cukup percaya kalau cuma sekedar dapat info. Untuk sampai pada tingkat meyakinkan, wajib melihat dengan mata kepala sendiri. Baru kemudian ambil keputusan.

Demi meyakinkan pemilih, para politisi atau kandidat seringkali menggunakan berbagai cara. Ya termasuk pakai lembaga survei tadi. Maka kita sebagai salah satu diantara jutaan konstituen, hendaklah bersikap jeli ketika menjumpai info atau fakta positif tentang seorang kadidat atau partai politik. Sebab bisa jadi, itu adalah salah satu isu yang memang sengaja disebar untuk kasih pengaruh.

Terlebih, yang namanya propaganda dan juga rekayasa sudah merupakan makanan sehari-hari didunia politik. Mengirim serangkaian pesan agar kita lebih “sayang”, bahkan dijadikan program khusus. Pakai dana besar juga. Soal benar atau salah, itu urusan nomor sekian. Gampang lagi. Cukup lakukan rekayasa. Yang benar dibuat salah. Dan yang salah buat jadi benar. Beres dah.

Anda tahu pencitraan..? Ya itulah yang saya maksud. Apapun, entah kegiatan pribadi lebih-lebih yang punya nuansa sosial, perlu di ekspose ke publik. Tak perlu lihat materi. Entah sejalan dengan bukti yang telah dilakukan atau malah sabaliknya, masa bodoh. Yang penting muncul dulu. Baru kemudian lihat tanggapan. Jika positif, teruskan. Kalau negatif, format ulang sesuai kebutuhan. Begitu seterusnya. Sampai kita sebagai pemilik suara sukses dibuat bodoh jadi pendukung setia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun