Mohon tunggu...
Zabidi Mutiullah
Zabidi Mutiullah Mohon Tunggu... Wiraswasta - Concern pada soal etika sosial politik

Sebaik-baik manusia, adalah yang bermanfaat bagi orang lain

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Inkonsistensi PDIP Soal Capres dan Peluang Ganjar

18 Oktober 2022   08:14 Diperbarui: 18 Oktober 2022   08:29 636
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ganjar Pranowo Saat Acara di PDIP | Kompas/Hendra A. Setyawan

Ya namanya juga politisi. Ketika statement tentang satu perkembangan terkini, senantiasa disesuaikan kebutuhan. Hari ini bisa jadi "A". Besok berubah "B". Lusa balik lagi ke "A". Atau bahkan langsung loncat ke "X, Y. Z". Demikian seterusnya tak tentu mana yang hendak diputuskan. Dan memang beginilah realitias didunia politik. Tak rigid serta ngambang. Kecuali sudah terjalin komitmen saat pertarungan.

Begitu pula soal pernyataan Pak Sekjen Hasto Kristiyanto tentang kandidat capres cawapres yang akan diusung oleh PDIP. Setelah sebelumnya para petinggi lain utamanya Ketua Badan Pemenangan Pemilu Bambang Wuryanto kasih sinyal kuat ke Puan maharani, kini Hasto komentar agak belok dikit. Nampaknya, tak lagi paksakan Puan. Mungkin karena adanya fakta namanya tak pernah ngangkat, meski diupayakan demikian rupa.

Ini misalnya. Saat hadir pada acara Focus Group Discussion di Sekolah Partai PDIP, soal capres Hasto memberi garis. Bahwa partainya tak terpengaruh oleh elektabilitas tinggi. Contohnya adalah pilkada Gubernur DKI. Yang ketika Jokowi naik jadi calon pada 2012, elektabilitasnya dibawah Fauzi Bowo. Di Jawa Tengah tahun 2013 lalu, nama Ganjar Pranowo tak sepopuler Bibit Waluyo. Sementara elektabilitasnya, ada dibawah kader PDIP lain Rustriningsih.

Dilain situasi, masih soal capres, Hasto malah tak menyinggung figur seperti ketika hadir di acara Sekolah Partai. Sebaliknya, Pak Sekjen lebih menekankan pada konsep. 

Disarikan dari tayangan Kompas.com 10/10/2022, kata Hasto PDIP tak ingin terburu-buru. Baginya, lobi lebih penting dan negosiasi perlu dilakukan. Karena itu, sosok capres PDIP harus ditopang oleh kekuatan gabungan partai politik. Agar pemerintahan dapat berjalan efektif.

Benarkah masalah pencapresan PDIP memang tak tergantung pada elektabilitas, namun terhadap adanya dukungan gabungan partai sebagai penopang kekuatan seperti dimaksud Hasto Kristiyanto..? Ini layak dikemukakan. Untuk mengetahui fakta sebenarnya soal kriteria kandidat capres yang pernah diusung PDIP. Sekaligus juga sebagai pembanding dan bukti tentang konsistensi PDIP.

Anda masih ingat keputusan PDIP pada pilpres 2014..? Kalau masih, kelihatan bahwa apa yang dikemukakan Hasto diatas tak berjalan lurus dibanding fakta yang pernah terjadi. Dalam catatan saya, survei elektabilitas Jokowi sebagai calon pada 2014 dulu ada di angka 43.5 persen. Sementara rivalnya yaitu Pak Prabowo diurutan kedua 11.1 persen.

Bagaimana dengan parpol pengusung..? Pada 2014 para pengusung Jokowi ternyata bukan mayoritas. Kalah banyak dibanding punya Prabowo. Saat itu, Jokowi diusung dan didukung oleh parpol yang tergabung dalam koalisi Indonesia Hebat. Disingkat KIH. Aggotanya terdiri dari PDIP, PKB, Nasdem, Hanura dan PKP (yang terakhir ini tak lolos PT. parlemen).

Sementara itu, partai politik pengusung dan pendukung Prabowo di 2014 adalah Gerindra, PKS, PAN, PPP, Golkar dan PBB (parpol terakhir tak lolos PT. parlemen). Namanya Koalisi Merah Putih atau KMP. Anda tahu, jika dijumlah berdasar persentase, KMP punya suara lebih besar dibanding KIH. KMP ada di angka 59.12 persen. Sedang KIH hanya 40.88 persen.

Nampak sekali, bahwa jumlah persentase KIH kalah mayoritas dibanding KMP. Akibatnya, berpengaruh signifikan terhadap kekuatan suara di parlemen setelah Pak Jokowi menang pilpres. KIH kesulitan mengkondisikan kepentingan. Bahkan, posisi Ketua DPR RI yang jelas-jelas milik PDIP, tak mampu dipertahankan.

Ya benar. Setelah KIH kalah voting di sidang paripurna DPR tentang amandemen regulasi soal posisi ketua, yang awalnya berasal dari partai pemenang pileg dirubah menjadi suara terbanyak pilihan anggota, Ketua DPR RI periode 2014-2019 dipegang oleh Setya Novanto. Kader Golkar yang merupakan anggota KMP pendukung Prabowo. Demokrat yang ketika itu ada di posisi netral, juga bantu KMP menghabisi KIH.

Fakta diatas cukup sebagai petunjuk dan bukti. Bahwa apa yang disampaikan Hasto Kristiyanto soal capres hanyalah sebuah strategi diplomasi dalam politik. Maksudnya, ya tentu ingin ambil simpati dari konstituen dan parpol lain. Siapa tahu, kelak mampu diakomodir untuk diajak bareng mengumpulkan vox pop publik.

Bagi saya, juga sebagai isyarat adanya perubahan arah calon presiden yang akan ditarungkan pada pilpres 2024. Bahwa kedepan, PDIP tak akan lagi memaksakan satu figur untuk dijadikan kandidat. Baik figur tersebut karena faktor kader kesayangan macam putri mahkota. Maupun kader potensial macam Ganjar Pranowo. Intinya, capres dari PDIP diambangkan kembali. Terbuka bagi siapapun.

Mungkinkah PDIP mulai bersikap realistis setelah program branding Puan Maharani tak juga menunjukkan tanda-tanda berhasil..? Bisa jadi demikian. Ternyata, Putri Mahkota sulit dipaksakan. Didorong bagaimanapun, namanya tetap "tenggelam". Meski ada peningkatan, namun sangat minim. Tak cukup signifikan kalau hingga harus ikut bertarung lawan Prabowo atau Anies Baswedan.

Naah, pada konteks itu sebenarnya ada peluang terbuka bagi Ganjar Pranowo. Caranya, baik Ganjar sendiri maupun Tim-nya, mulai sekarang harus merubah strategi pendekatan. Dari yang semula fokus pada simpati masyarakat, rubah ke arah simpati partai. Ingat, potensi suara Ganjar sudah dapat. Tak perlu di genjot lagi.

Tinggal sekarang bagaimana menarik suara parpol, terutama PDIP. Agar Ganjar dapat kendaraan politik untuk daftar ke KPU. Terlebih, selama ini namanya memang disebut-sebut oleh beberapa parpol. Terakhir malah ada dua DPW PAN yang juga mengusulkan namanya sebagai capres potensial untuk ikut ditarungkan pada pilpes 2024.

Khusus Pak Ganjar pribadi, sebaiknya juga harus ada perubahan orientasi. Saya kira, mulai sekarang tak perlulah beliau terlalu idealis menganggap PDIP sebagai satu-satunya lahan perjuangan. Ingat, partai politik hanya sebuah sarana. Yang paling penting bagi politisi sebenarnya adalah menyambut vox pop publik. Suatu ketika, jika kehendak partai yang hanya sarana itu berbenturan dengan suara rakyat, sepatutnya Pak Ganjar mulai berpikir untuk mencari lain..

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun