Mohon tunggu...
Zabidi Mutiullah
Zabidi Mutiullah Mohon Tunggu... Wiraswasta - Concern pada soal etika sosial politik

Sebaik-baik manusia, adalah yang bermanfaat bagi orang lain

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Lesti Cabut Laporan KDRT, Buruk bagi Perspektif Politik Gender

14 Oktober 2022   07:53 Diperbarui: 14 Oktober 2022   08:05 434
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebelum lanjut perlu saya pertegas, bahwa yang dimaksud perspektif politik gender bukan garis demarkasi berdasar jenis kelamin seorang politisi pria dan wanita. Tapi mengarah pada konsep yang menggambarkan peran dan relasi sosial politik oleh seorang politisi laki-laki maupun wanita. Seperti apa gambaran prosesnya hingga keluar sebuah keputusan politik..? Dilandasi oleh faktor emosional atau pemikiran akal yang rasional..?

Kebetulan, saat ini lagi ada kabar viral dan tranding dikalangan artis. Yaitu tentang gugatan KDRT yang dilayangkan oleh penyanyi dangdut Lesti Kejora terhadap suaminya Rizky Billar. Masalahnya, setelah pihak kepolisian bekerja cukup keras hingga Rizky ditetapkan sebagai tersangka, tiba-tiba Lesti mencabut laporan. Kalau endingnya nanti benar seakan-akan bagai tak terjadi apa-apa, patut disayangkan. Kerja polisi jadi sia-sia. Buang-buang waktu, tenaga dan tentu saja biaya.

Secara perspektif politik, tindakan Lesti mencabut laporan menarik untuk dibahas. Terutama pada point, kalau pada akhirnya mau berdamai mengapa harus repot-repot buat laporan KDRT. Seyogyanya Lesti ambil sikap musyawarah secara kekeluargaan dulu dengan Rizky. Kalau tak ditemukan kesepakatan, baru lapor polisi. Tidakkah pertimbangan demikian masuk dalam pemikiran Lesti..?

Banyak kesan negatif tindakan Lesti cabut laporan. Yang utama, dapat merubah kesan masyarakat. Terutama kelompok yang peduli dan ingin tindakan tegas terhadap seorang suami pelaku KDRT. Perubahan kesan tersebut dari yang awalnya simpati, menjadi antipati. Bisa jadi pula, masyarakat punya anggapan apa yang terjadi pada Lesti dan Rizky hanya settingan belaka, demi menaikkan popularitas.

Dampak negatif lain, Lesti Kejora telah merepotkan pihak kepolisian dengan sebuah pekerjaan yang pada akhirnya sia-sia. Andai tak ada laporan Lesti, tentu selama beberapa periode waktu kemarin Pak Polisi tenang-tenang saja di kantor. Atau sudah berhasil menangani banyak perkara lain yang sedang berjalan. Dengan adanya laporan Lesti, perkara-perkara tersebut jadi sedikit agak terlambat.

Selain itu, tindakan Lesti mencabut akan menjadi inspirasi bagi para suami bejat yang suka main pukul istri. Mereka seakan punya idola dan pembenar. Bahwa kekerasan yang dilakukan kepada istri tak menimbulkan dampak buruk hingga sampai dipenjara. Cukup istri “ditekan” cabut laporan, beres dah masalahnya.

Apa sebenarnya tujuan Lesti cabut laporan..? Jangan-jangan hanya sekedar ingin menyelamatkan kontrak sebagai pasangan suami istri dari rekanan, yang sudah kadung di tanda-tangani oleh Lesti bersama Rizky. Eman-eman. Ada kesepakatan duit milyard-tan rupiah. Kalau benar demikian, sungguh naif dan terlalu rendah. Kehormatan dan tindakan keji, ditukar hanya demi uang. Semoga saja bukan ini alasannya.

Lepas dari itu semua, saya dan juga mungkin para pembaca sekalian jadi bertanya-tanya. Apakah sebelum melayangkan gugatan sudah dipikir secara matang terlebih dahulu..? Pertimbangan demikian penting, mengingat Lesti adalah seorang publik figur. Dimana, segala macam tindakan yang dilakukan senantiasa menjadi sorotan atau bahkan panutan masyarakat.

Lesti Kejora, Foto Dok. Kompas.com
Lesti Kejora, Foto Dok. Kompas.com

Namun melihat pencabutan, rasanya gugatan KDRT oleh Lesti sepertinya dilakukan tanpa pemikiran matang. Mungkin karena didera tekanan secara psikis serta rasa sakit secara phisik akibat dinistakan dan dipukul oleh suami tercinta. Intinya, saat gugatan dilayangkan dasarnya semata karena faktor emosional. Bukan hasil pemikiran akal yang rasional. Apakah hal demikian memang sifat natural seorang wanita, yang ketika menghadapi masalah cenderung mengedepankan perasaan dibanding akal pikiran..?

Pada saat ini lagi ramai juga soal calon presiden. Kebetulan, salah satu yang digadang-gadang adalah Puan Maharani. Seorang politisi perempuan asal PDIP, putri mahkota  Ibu Megawati, yang menurut saya relatif sukses dibanding wanita lain. Karirnya dibidang politik dimulai sebagai pengurus partai, lalu jadi anggota DPR RI, menduduki posisi menteri dan sekarang Ketua pimpinan lembaga legislatif nasional.

Bisa ditebak, para pembaca langsung dapat menangkap apa yang sedang jadi pemikiran saya. Yaitu kaitan antara dugaan faktor emosional dilayangkannya gugatan KDRT oleh Lesti Kejora dengan posisi Puan sebagai calon presiden yang juga seorang wanita. Pertanyaan klasik yang sering dikemukakan adalah, mampukah seorang wanita macam Puan bersikap rasional dan tidak mengedepankan emosional ketika menghadapi masalah-masalah pelik kenegaraan.?

Dalam perspektif politik apalagi dilingkungan pemerintahan, mengedepankan perasaan dibanding akal pikiran ketika menghadapi masalah merupakan tindakan penuh resiko. Mengapa, karena solusi yang diputuskan akan keluar secara serampangan. Tanpa ada pemikiran atau pertimbangan matang tentang dampak yang mungkin ditimbulkan. Akibatnya, bukan penyelesaian yang didapat. Tapi justru dapat menambah masalah baru yang bisa jadi lebih pelik.

Namun demikian, apa yang saya sampaikan itu bukan dalam rangka diskriminasi terhadap calon presiden berdasar jenis kelamin. Bahwa semua perempuan misalnya, ketika menghadapi masalah pelik selalu tak bisa berpikir logis karena faktor mengedepankan perasaan. Bukan ini yang saya maksud. Saya hanya ingin menekankan, bahwa pencabutan gugatan KDRT oleh Listi Kejora menambah daftar faktual adanya seorang perempuan yang terlalu kesusu dan tidak matang dalam mengambil suatu keputusan. Lalu bagaimana jika tindakan kesusu dan tidak matang tersebut menimpa seorang presiden..? Pastinya negara akan menjadi rusak.

Dalam sejarah Indonesia, kita pernah punya presiden seorang perempuan. Tak lain tak bukan ibu dari Puan sendiri, yakni Megawati Soekarno Putri. Saya tak ingin mengomentari hasil kepemimpinan Mega selama jadi presiden. Silahkan para pembaca nilai sendiri. Cuma fakta menunjukkan, Ibu Mega jadi presiden hasil dari penggulingan Gus Dur. Dan saat nyalon kembali pada periode kedua, Megawati kalah lawan Pak SBY.

Apakah kondisi Megawati yang demikian rupa ketika dalam proses dan setelah jadi presiden menunjukkan kelemahan seorang wanita yang lebih mengedepankan perasaan dibanding akal pikiran..? Lepas dari faktor apapun, seorang pimpinan nasional memang dituntut untuk selalu menggunakan nalar saat menjalankan pemerintahan. Sikap “mendayu-dayu”, apalagi selalu mengeluh hendaknya dibuang jauh-jauh.

Secara pribadi, saya sebenarnya berharap gugatan KDRT Lesti Kejora tak dicabut. Apalagi, Islam sangat mengecam keras tindakan main pukul seorang suami kepada istri. Ini cukup beralasan. Mengingat dampak perbuatan bejat tersebut berpengaruh negatif bukan hanya kepada pasangan suami istri semata. Tetapi juga kepada lingkungan internal di rumah tangga yang bersangkutan.

Pengaruh negatif terutama pada kondisi mental anak-anak kedepan. Berhubung sifatnya sebagai peniru atau imitative, jika perlakuan kasar suami sering dilihat oleh anak laki-laki, kelak akan menjadi pilihan penyelesaian ketika menghadapi masalah rumah tangga dengan istri. Ia juga akan main pukul. Sebaliknya, kalau yang melihat anak perempuan, akan menimbulkan masalah traumatic berkepanjangan. Bisa-bisa, anak perempuan tak mau nikah karena takut diperlakukan kasar oleh suami.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun