Pada saat ini lagi ramai juga soal calon presiden. Kebetulan, salah satu yang digadang-gadang adalah Puan Maharani. Seorang politisi perempuan asal PDIP, putri mahkota Ibu Megawati, yang menurut saya relatif sukses dibanding wanita lain. Karirnya dibidang politik dimulai sebagai pengurus partai, lalu jadi anggota DPR RI, menduduki posisi menteri dan sekarang Ketua pimpinan lembaga legislatif nasional.
Bisa ditebak, para pembaca langsung dapat menangkap apa yang sedang jadi pemikiran saya. Yaitu kaitan antara dugaan faktor emosional dilayangkannya gugatan KDRT oleh Lesti Kejora dengan posisi Puan sebagai calon presiden yang juga seorang wanita. Pertanyaan klasik yang sering dikemukakan adalah, mampukah seorang wanita macam Puan bersikap rasional dan tidak mengedepankan emosional ketika menghadapi masalah-masalah pelik kenegaraan.?
Dalam perspektif politik apalagi dilingkungan pemerintahan, mengedepankan perasaan dibanding akal pikiran ketika menghadapi masalah merupakan tindakan penuh resiko. Mengapa, karena solusi yang diputuskan akan keluar secara serampangan. Tanpa ada pemikiran atau pertimbangan matang tentang dampak yang mungkin ditimbulkan. Akibatnya, bukan penyelesaian yang didapat. Tapi justru dapat menambah masalah baru yang bisa jadi lebih pelik.
Namun demikian, apa yang saya sampaikan itu bukan dalam rangka diskriminasi terhadap calon presiden berdasar jenis kelamin. Bahwa semua perempuan misalnya, ketika menghadapi masalah pelik selalu tak bisa berpikir logis karena faktor mengedepankan perasaan. Bukan ini yang saya maksud. Saya hanya ingin menekankan, bahwa pencabutan gugatan KDRT oleh Listi Kejora menambah daftar faktual adanya seorang perempuan yang terlalu kesusu dan tidak matang dalam mengambil suatu keputusan. Lalu bagaimana jika tindakan kesusu dan tidak matang tersebut menimpa seorang presiden..? Pastinya negara akan menjadi rusak.
Dalam sejarah Indonesia, kita pernah punya presiden seorang perempuan. Tak lain tak bukan ibu dari Puan sendiri, yakni Megawati Soekarno Putri. Saya tak ingin mengomentari hasil kepemimpinan Mega selama jadi presiden. Silahkan para pembaca nilai sendiri. Cuma fakta menunjukkan, Ibu Mega jadi presiden hasil dari penggulingan Gus Dur. Dan saat nyalon kembali pada periode kedua, Megawati kalah lawan Pak SBY.
Apakah kondisi Megawati yang demikian rupa ketika dalam proses dan setelah jadi presiden menunjukkan kelemahan seorang wanita yang lebih mengedepankan perasaan dibanding akal pikiran..? Lepas dari faktor apapun, seorang pimpinan nasional memang dituntut untuk selalu menggunakan nalar saat menjalankan pemerintahan. Sikap “mendayu-dayu”, apalagi selalu mengeluh hendaknya dibuang jauh-jauh.
Secara pribadi, saya sebenarnya berharap gugatan KDRT Lesti Kejora tak dicabut. Apalagi, Islam sangat mengecam keras tindakan main pukul seorang suami kepada istri. Ini cukup beralasan. Mengingat dampak perbuatan bejat tersebut berpengaruh negatif bukan hanya kepada pasangan suami istri semata. Tetapi juga kepada lingkungan internal di rumah tangga yang bersangkutan.
Pengaruh negatif terutama pada kondisi mental anak-anak kedepan. Berhubung sifatnya sebagai peniru atau imitative, jika perlakuan kasar suami sering dilihat oleh anak laki-laki, kelak akan menjadi pilihan penyelesaian ketika menghadapi masalah rumah tangga dengan istri. Ia juga akan main pukul. Sebaliknya, kalau yang melihat anak perempuan, akan menimbulkan masalah traumatic berkepanjangan. Bisa-bisa, anak perempuan tak mau nikah karena takut diperlakukan kasar oleh suami.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H