Sebelum lanjut perlu saya pertegas, bahwa yang dimaksud perspektif politik gender bukan garis demarkasi berdasar jenis kelamin seorang politisi pria dan wanita. Tapi mengarah pada konsep yang menggambarkan peran dan relasi sosial politik oleh seorang politisi laki-laki maupun wanita. Seperti apa gambaran prosesnya hingga keluar sebuah keputusan politik..? Dilandasi oleh faktor emosional atau pemikiran akal yang rasional..?
Kebetulan, saat ini lagi ada kabar viral dan tranding dikalangan artis. Yaitu tentang gugatan KDRT yang dilayangkan oleh penyanyi dangdut Lesti Kejora terhadap suaminya Rizky Billar. Masalahnya, setelah pihak kepolisian bekerja cukup keras hingga Rizky ditetapkan sebagai tersangka, tiba-tiba Lesti mencabut laporan. Kalau endingnya nanti benar seakan-akan bagai tak terjadi apa-apa, patut disayangkan. Kerja polisi jadi sia-sia. Buang-buang waktu, tenaga dan tentu saja biaya.
Secara perspektif politik, tindakan Lesti mencabut laporan menarik untuk dibahas. Terutama pada point, kalau pada akhirnya mau berdamai mengapa harus repot-repot buat laporan KDRT. Seyogyanya Lesti ambil sikap musyawarah secara kekeluargaan dulu dengan Rizky. Kalau tak ditemukan kesepakatan, baru lapor polisi. Tidakkah pertimbangan demikian masuk dalam pemikiran Lesti..?
Banyak kesan negatif tindakan Lesti cabut laporan. Yang utama, dapat merubah kesan masyarakat. Terutama kelompok yang peduli dan ingin tindakan tegas terhadap seorang suami pelaku KDRT. Perubahan kesan tersebut dari yang awalnya simpati, menjadi antipati. Bisa jadi pula, masyarakat punya anggapan apa yang terjadi pada Lesti dan Rizky hanya settingan belaka, demi menaikkan popularitas.
Dampak negatif lain, Lesti Kejora telah merepotkan pihak kepolisian dengan sebuah pekerjaan yang pada akhirnya sia-sia. Andai tak ada laporan Lesti, tentu selama beberapa periode waktu kemarin Pak Polisi tenang-tenang saja di kantor. Atau sudah berhasil menangani banyak perkara lain yang sedang berjalan. Dengan adanya laporan Lesti, perkara-perkara tersebut jadi sedikit agak terlambat.
Selain itu, tindakan Lesti mencabut akan menjadi inspirasi bagi para suami bejat yang suka main pukul istri. Mereka seakan punya idola dan pembenar. Bahwa kekerasan yang dilakukan kepada istri tak menimbulkan dampak buruk hingga sampai dipenjara. Cukup istri “ditekan” cabut laporan, beres dah masalahnya.
Apa sebenarnya tujuan Lesti cabut laporan..? Jangan-jangan hanya sekedar ingin menyelamatkan kontrak sebagai pasangan suami istri dari rekanan, yang sudah kadung di tanda-tangani oleh Lesti bersama Rizky. Eman-eman. Ada kesepakatan duit milyard-tan rupiah. Kalau benar demikian, sungguh naif dan terlalu rendah. Kehormatan dan tindakan keji, ditukar hanya demi uang. Semoga saja bukan ini alasannya.
Lepas dari itu semua, saya dan juga mungkin para pembaca sekalian jadi bertanya-tanya. Apakah sebelum melayangkan gugatan sudah dipikir secara matang terlebih dahulu..? Pertimbangan demikian penting, mengingat Lesti adalah seorang publik figur. Dimana, segala macam tindakan yang dilakukan senantiasa menjadi sorotan atau bahkan panutan masyarakat.
Namun melihat pencabutan, rasanya gugatan KDRT oleh Lesti sepertinya dilakukan tanpa pemikiran matang. Mungkin karena didera tekanan secara psikis serta rasa sakit secara phisik akibat dinistakan dan dipukul oleh suami tercinta. Intinya, saat gugatan dilayangkan dasarnya semata karena faktor emosional. Bukan hasil pemikiran akal yang rasional. Apakah hal demikian memang sifat natural seorang wanita, yang ketika menghadapi masalah cenderung mengedepankan perasaan dibanding akal pikiran..?